Muhammadiyah Boarding School Bumiayu
Tuesday, 9 February 2016
Kala Soekarno Bertemu Kiai Dahlan
Kala Soekarno Bertemu Kiai Dahlan
Diposting di
1.7K
Shares
Komentar
Di tempat ini pula, pertama kali Soekarno mendapat pencerahan tentang agama dari Sang Pencerah KH Ahmad Dahlan. “Dalam suasana yang remang-remang itu datanglah Kiai Ahmad Dahlan di Surabaya dan memberi tabligh mengenai Islam. Bagi saya (pidato) itu berisi regeneration dan rejuvenation daripada Islam. Sebab, maklum, ibu meskipun beragama Islam (tapi) berasal dari agama lain, (beliau) orang Bali. Bapak meskipun agama Islam, beliau adalah beragama teosofi. Jadi (orangtua) tidak memberi pengajaran kepada saya tentang agama Islam.” Kata Soekarno di depan Muktamirin Muktamar Setengah Abad 1962 di Jakarta.
Lebih lanjut Soekarno menyatakan, “Nah, suasana yang demikian itulah, saudara-saudara, meliputi jiwa saya tatkala saya buat pertama kali bertemu dengan Kiai Haji Ahmad Dahlan. Datang Kiai Haji Ahmad Dahlan yang sebagai tadi saya katakan memberi pengertian yang lain tentang agama Islam. Malahan ia mengatakan, sebagai tadi dikatakan oleh salah seorang pembicara: ”Benar, umat Islam di Indonesia tertutup sama sekali oleh jumud, tertutup sama sekali oleh khurafat, tertutup sekali oleh bid’ah, tertutup sekali oleh takhayul-takhayul. Dikatakan oleh Kiai Dahlan, sebagai tadi dikatakan pula, padahal agama Islam itu agama yang sederhana, yang gampang, yang bersih, yang dapat dilakukan oleh semua manusia, agama yang tidak pentalitan, tanpa pentalit-pentalit, satu agama yang mudah sama sekali.”
Karena ketertarikannya dengan ajaran KHA Dahlan, tidak dilewatkannya kesempatan untuk mendengarkan tabligh dari Sang Pencerah. “Nah, dengan demikianlah makin kuatlah, saudara-saudara, keyakinan saya bahwa ada hubungannya erat antara pembangunan agama dan pembangunan tanah air, bangsa, negara, dan masyarakat. Maka oleh karena itu, saudara-saudara, kok makin lama makin saya cinta kepada Muhammadiyah. Tatkala umur 15 tahun, saya simpati kepada Kiyai Ahmad Dahlan, sehingga mengintil kepadanya.”
Namun ia menjadi anggota dan sekaligus pengurus Muhammadiyah baru 22 tahun kemudian setelah pertemuannya pertama dengan KHA Dahlan. Saat itu, ia sedang dibuang oleh Belanda ke Bengkulu. Soekarno resmi masuk menjadi anggota Muhammadiyah pada tahun 1938. Bersama Hasan Din, di Bengkulen Soekarno berpartisipasi aktif dalam kegiatan dakwah Muhammadiyah. Yang kemudian menjadi mertua beliau karena ayah dari Fatmawati, seorang perempuan yang dinikahi Soekarno.
Tahun 1946 meminta jangan dipecat dari Muhammadiyah. Ini karena perbedaan paham politik, orang Muhammadiyah umumnya berafiliasi kepada Masyumi sedangkan Soekarno adalah pendiri PNI (Partai Nasional Indonesia). Baginya sekali Muhammadiyah (dalam paham agama), tetap Muhammadiyah.
Kata-katanya mengenai kecintaannya pada Muhammadiyah patut kita simak: “Nah, dengan demikianlah makin kuatlah, saudara-saudara, keyakinan saya bahwa ada hubungannya erat antara pembangunan agama dan pembangunan tanah air, bangsa, negara dan masyarakat. Maka oleh karena itu, saudara-saudara, kok makin lama makin saya cinta kepada Muhammadiyah. Tatkala umur 15 tahun, saya simpati kepada Kiai Ahmad Dahlan, sehingga mengintil kepadanya, tahun ’38 saya resmi menjadi anggota Muhammadiyah, tahun ’46 saya minta jangan dicoret nama saya dari Muhammadiyah: tahun ’62 ini saya berkata, ”moga-moga saya diberi umur panjang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan jikalau saya meninggal, supaya saya dikubur dengan membawa nama Muhammadiyah atas kain kafan saja.”• (eff)
STRATEGI REKRUTMEN ANGGOTA DAN SIMPATISAN MUHAMMADIYAH
STRATEGI REKRUTMEN ANGGOTA DAN SIMPATISAN MUHAMMADIYAH
Pendahuluan
Secara kuantitas tidak dapat disangsikan lagi bahwa Muhammadiyah telah mampu memposisikan diri sebagai gerakan sosial keagamaan dan pendidikan yang terbesar di Indonesia bahkan di dunia[2]. Muhammadiyah terbilang memiliki aset amal usaha terbesar di Indonesia, mulai dari sekolah/perguruan tinggi, rumah sakit dan panti jompo. Ini menunjukkan kontribusi Muhammadiyah amat besar bagi perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, banyaknya aset amal usaha diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas untuk menunjang pengelolaan dan pemeliharaan serta meningkatkan ke arah yang lebih baik.
Pada konteks kekinian dan masa datang nampaknya Muhammadiyah yang begitu besarnya kadang agak mengabaikan atau menyepelekan persoalan pengkaderan. Banyaknya kegiatan atau program pengembangan lembaga yang mengarah pada peningkatan pengkaderan masih belum mampu menyentuh pembentukan karakter yang kuat pada individu masing-masing[3]. Prof. Dr. H. A. Mukti Ali pernah menyatakan “Baik-buruknya organisasi Muhammadiyah pada masa yang akan datang dapat dilihat dari baik-buruknya pendidikan kader yang sekarang ini dilakukan. Jika pendidikan kader Muhammadiyah sekarang ini baik, maka Muhammadiyah pada masa yang akan datang akan baik. Sebaliknya apabila jelek, maka Muhammadiyah pada masa yang akan datang juga jelek.”[4]
Berdasarkan penyataan di atas, Muhammadiyah yang telah dikenal besar dan diakui secara luas harus mawas diri dan menyadari akan keberadaannya saat ini. Jika Muhammadiyah hanya dijadikan kendaraan oleh segelintir orang atau kader yang menyimpang untuk keperluan dirinya sendiri dan hal ini terus didiamkan saja, maka yang terjadi kemudian lambat laun Muhammadiyah hanya tinggal jasadnya saja. Memang diakui bahwa tantangan saat ini lebih besar dan beragam. Kadang kita tidak mengenal mana lawan dan mana kawan.
Untuk itu, Muhammadiyah melalui gerakan sosial, agama dan pendidikannya mengharapkan kader-kader muda Muhammadiyah terus bermunculan dengan tingkat kualitas yang dicita-citakan sehingga kiprah Muhammadiyah tetap ada di mata bangsa Indonesia bahkan dunia. Untuk melihat lebih rinci lagi tentang strategi kaderisasi dalam rangka merekrut anggota dan simpatisan Muhammadiyah yang potensial, saya mencoba menuangkan sedikit ide dalam tulisan yang sederhana ini.
Kader dan Fungsi Kader
Kader[5] (Perancis: cadre) atau les cadres maksudnya adalah staf inti yang menjadi bagian terpilih, dalam lingkup dan lingkungan pimpinan serta mendampingi di sekitar kepemimpinan. Mereka tergolong orang-orang yang terbaik karena terlatih. Kader bisa berarti pula sebagai jantung suatu organisasi. Jika kader dalam suatu kepemimpinan lemah, maka seluruh kekuatan kepemimpinan juga akan lemah. Kader berarti pula pasukan inti. Daya juang pasukan inti ini sangat tergantung dari nilai kadernya yang merupakan tulang punggung, pusat semangat dan wawasan masa depannya. Jadi, jelas bahwa orang-orang yang berkualitas itulah yang terpilih dan berpengalaman dalam berorganisasi, taat asas dan berinisiatif, yang dapat disebut sebagai kader.
Fungsi dan kedudukan kader dalam suatu organisasi, termasuk di Persyarikatan, menjadi sangat penting karena kader dapat dikatakan sebagai inti pergerakan organisasi. Di samping itu, kader juga merupakan syarat penting bagi berlangsungnya regenerasi kepemimpinan. Bagi sebuah organisasi, regenerasi kepemimpinan akan sehat karena ditopang oleh keberadaan kader-kader yang berkualitas, selain akan menjadikan organisasi bergerak dinamis, juga formasi kepemimpinannya akan segar dan energik.
Muhammadiyah sebagai contoh merupakan organisasi masyarakat yang harus mampu menyiapkan kader yang dinamis, energik, dan yang lebih utama berakhlak mulia (akhlakul karimah) serta memiliki daya saing. Untuk mempersiapkan kader-kader yang diinginkan diperlukan sebuah wadah, yaitu semacam perkaderan. Di dalam Muhammadiyah dikenal istilah Sistem Perkaderan Muhammadiyah (SPM). SPM ini merupakan hasil revisi atau tinjauan ulang sistem perkaderan yang dimiliki Muhammadiyah sebelumnya tepatnya pada Muktamar ke 45 di Malang. Dalam Muktamar ke-46 mendatang di Yogyakarta, Muhammadiyah perlu kembali mengevaluasi efektivitas sistem perkaderan yang selama ini menjadi pedoman untuk menghasilkan kader-kader persyarikatan yang handal.
Peran Muhammadiyah dalam Pembentukan Kader
Muktamar Muhammadiyah ke-45 telah menghasilkan beberapa kebijakan organisasi dan program kerja dalam berbagai bidang, baik yang bertujuan jangka pendek maupun jangka panjang. Tujuan program jangka panjang Muhammadiyah (2005–2025) adalah “Tumbuhnya kondisi dan faktor pendukung bagi perwujudan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.” Sedangkan dalam konteks Program Nasional Bidang Kaderisasi dinyatakan rencana strategis untuk “Membangun kekuatan dan kualitas pelaku gerakan serta peran dan ideologi gerakan Muhammadiyah dengan mengoptimalkan sistem perkaderan yang menyeluruh dan berorientasi ke masa depan.”[6] Rencana strategis tersebut menggarisbawahi tiga kata kunci yang penting, yaitu: pelaku gerakan, ideologi gerakan Muhammadiyah, dan sistem perkaderan. Pelaku gerakan terdiri dari pemimpin, kader, dan anggota/warga Persyarikatan. Salah satu syarat yang harus dimiliki oleh pelaku gerakan yang berkualitas adalah terjaganya ideologi gerakan Muhammadiyah atau keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah. Ideologi gerakan Muhammadiyah ini termasuk materi induk dalam sistem kaderisasi atau perkaderan Muhammadiyah. Keterkaitan dan kesinambungan dari tiga kata kunci itu menjadi bagian yang strategis untuk kepentingan gerakan Muhammadiyah. Keberadaan kader dan perkaderan yang bermutu tidak bisa ditawar-tawar lagi bagi keberlanjutan gerak dan perjuangan Muhammadiyah sekarang dan di masa depan.
Perkaderan merupakan program dan kegiatan yang tidak akan pernah kunjung selesai (never ending job) dalam tubuh Persyarikatan. Di samping itu pula misi dan program kerja Persyarikatan, pelaksanaannya membutuhkan peran dan fungsi kader. Terkait dengan hal itu semua, maka kebutuhan terhadap sistem perkaderan yang tertata dengan baik dan feasibel tidak bisa ditunda-tunda lagi. Sistem perkaderan ini bukan saja mempertegas fungsi dan tujuan kaderisasi formal di Muhammadiyah, tetapi juga memuat format baru perkaderan yang tidak kalah pentingnya bagi kemajuan Muhammadiyah di masa akan datang.
Semua komponen Muhammadiyah harus mampu memformat bentuk perkaderan yang sifatnya lokal dan memahami aspek antropologis dan ekonomi masyarakat, dengan tetap berpedoman pada format pengkaderan secara nasional, serta nilai-nilai idiologis Muhammadiyah. Dialog generasi tua atau Muhammadiyah saat ini dengan para kader-kader muda perlu diintensifkan untuk memformulasi gerakan dakwah yang feasible di tengah-tengah masyarakat. Sekaligus, mampu hadir sebagai penjawab atas pelbagai kegagalan yang dilakukan pemerintah daerah dalam pembangunan. Gerakan mewujudkan keadilan sosial merupakan gerakan tepat, untuk menjawab tantangan dakwah di berbagai daerah.
Muktamar Muhammadiyah di Malang telah menetapkan Garis Besar Program Perkaderan, yang menjadi amanah untuk dikelola oleh Majelis Pendidikan Kader, yaitu :
- Meningkatkan kualitas perkaderan dalam segala aspek, meliputi: materi, pengelolaan, metode, strategi, dan orientasi perkaderan agar lebih relevan dan kompatibel dengan kepentingan dan kebutuhan para kader;
- Meningkatkan kompetensi kader yang meliputi kompetensi akademis dan intelektual, dan kompetensi sosial kemanusiaan guna menghadapi tantangan organisasi masa depan;
- Transformasi kader secara terarah dan kontinu guna memberi peluang bagi kader dalam mengaktualisasikan potensi dan kompetensinya di Muhammadiyah, serta memperluas akses ke berbagai bidang dan profesi di luar Persyarikatan;
- Pemberdayaan AMM yang terdiri dari tiga unsur, yaitu anggota organisasi-organisasi otonom Angkatan Muda Muhammadiyah, anggota keluarga warga Muhammadiyah dan pelajar/ mahasiswa serta lulusan lembaga pendidikan Muhammadiyah;
- Penguatan sekolah-sekolah kader Muhammadiyah seperti Madrasah Mu`allimin/Mu`allimat Muhammadiyah, Pondok Hj. Nuriyah Shabran, PUTM (Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah), Pondok Pesantren Darul Arqom Muhammadiyah, dan lain-lain dengan pengawasan yang intensif;
- Pemantapan dan peningkatan pembinaan ideologi gerakan di kalangan kader, pimpinan, dan anggota persyarikatan sebagai basis solidaritas dan kekuatan perjuangan dalam mewujudkan tujuan Muhammadiyah[7].
Peran Perguruan Tinggi Muhammadiyah dalam pengembangan kaderisasi
Pada tataran yang lebih sempit, kiprah Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) dapat dikatakan wadah perkaderan yang paling signifikan di mana pembentukan ke arah pendewasaan karakter pada setiap individu begitu besar. PTM di seluruh Indonesia tentunya memiliki komitmen yang sama untuk membesarkan bangsa melalui penyelenggaraan pendidikan di mana para mahasiswa (baca: intelektual muda) dikenalkan pemahaman-pemahaman Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, visi dan misi persyarikatan Muhammadiyah dan PTM itu sendiri serta kajian-kajian ilmu-ilmu akademik yang relevan. Pengenalan ini setidaknya mampu membentuk karakter dan kapasitas intelektual muda akan jiwa kepemimpinan dan Islami. Berikut ini beberapa strategi pengembangan yang dapat dilakukan PTM untuk tercapainya kader-kader yang memiliki visi, misi dan tujuan Muhammadiyah. Karena cakupannya PTM, maka kader-kader yang dimaksud adalah kader IMM.
Pertama, PTM perlu mendorong dan memberikan kebebasan akan perubahan pikiran, sikap, persepsi dan pencerahan bagi IMM agar para anggotanya menjadi kaum pemikir bebas yang tercerahkan dan senantiasa memiliki paradigma ilmiah dalam memandang persoalan-persoalan politik kebangsaan.
Kedua, PTM perlu memandang IMM sebagai salah satu gerakan yang telah berperan besar dalam perubahan politik bangsa Indonesia sehingga IMM tetap mampu memiliki agenda kebangsaan.
Ketiga, PTM harus menyadari sepenuhnya bahwa tantangan dunia global tidak bisa dihindarkan. Untuk itu, kampus sebagai tempat lahirnya kader-kader IMM harus memberikan ranah pemahaman akan segala hal yang terkait dengan pergesekan dan pergeseran arus globalisasi sehingga IMM dapat bersikap dan siap berkompetisi terhadap realitas global serta menjadi kader-kader yang berkualitas, di antaranya melalui pembangunan kemampuan dan kapabilitas (kompetensi) personal maupun kolektif.
Keempat, PTM perlu mendorong IMM dan kader-kadernya untuk terus meningkatkan keilmuannya untuk terhindar dari kejumudan sehingga di dalam tubuh IMM akan lahir paradigma baru bagi terciptanya masyarakat yang ilmiah.
Kelima, PTM dapat dijadikan tumpuan bagi IMM dalam penyelarasan ideologis dengan ketajaman analisis terhadap persoalan-persoalan bangsa yang terjadi saat ini.
Terakhir, PTM harus menjadi ujung tombak bagi tumbuh dan berkembangnya IMM di kalangan mahasiswa dengan melakukan proses pembudayaan tertib berorganisasi dan menimba ilmu yang diikuti dengan tertib beribadah.
Strategi Rekrutmen Anggota dan Simpatisan Muhammadiyah
Setelah melihat upaya yang dapat dilakukan Majelis Kader Muhammadiyah dan PTM di Indonesia untuk mengembangkan kader-kader Muhammadiyah, nampaknya masih perlu optimalisasi. Sebagian orang masih mengkhawatirkan, termasuk saya, dalam mengamati perkembangan perkaderan di tubuh Muhammadiyah. PTM merupakan ladang perekrutan kader yang paling berpotensi. Namun, kadang lemahnya jaringan antar PTM di Indonesia menyebabkan konsolidasi dan koordinasi menjadi terganggu sehingga berdampak pada lemahnya pembinaan kaderisasi.
Terkait dengan hal tersebut di atas, mandegnya proses kaderisasi akan berdampak pada lemahnya proses rekrutmen anggota dan simpatisan Muhammadiyah. Tidak dapat disangkal, masih banyak ditemukan mahasiswa di PTM yang secara otomatis menjadi anggota IMM dan seharusnya menjadi anggota Muhammadiyah yang belum memberikan kontribusi nyata dalam aktivitas yang dilakukan PTM, misalnya berbagai kegiatan yang dilakukan belum mampu menyentuh keterlibatan mahasiswa untuk berperan serta. Belum persoalan lainnya, di mana setelah mahasiswa lulus, label Muhammadiyah yang melekat selama menjadi mahasiswa tidak muncul lagi di tengah-tengah masyarakat. Dan masih banyak lagi. Berlatar masalah ini, saya mencoba menguraikan strategi rekrutmen anggota dan simpatisan Muhammadiyah sebagai bahan diskusi untuk menghasilkan pola perkaderan yang lebih baik ke depannya.
Saya mengawali dari persoalan yang sederhana yang dilakukan, Agus Sukaca[8], seorang Ketua PWM Kalimantan Timur, yang melakukan upaya pembinaan secara intensif dalam sebuah jama’ah dalam pengajian dan kursus-kursus dengan melibatkan seorang kader Muhammadiyah. Kader Muhammadiyah yang telah terlatih dan terpilih itu bertugas (1) memotivasi dan menjaga agar masing-masing anggota jamaahnya mengikuti pengajian rutin dan kursus-kursus yang diselenggarakan; (2) membimbing anggota jamaah mengamalkan ajaran Islam dengan sebaik-baiknya; (3) menjaga agar anggota jamaahnya senantiasa berada dalam jamaah, dan tidak keluar dari jamaah sampai akhir hayat, (4) Apabila anggota jamaahnya pindah tempat tinggal, ia menghubungkan dengan jamaah yang ada di tempat tinggalnya yang baru dan menyerahkannya kepada pemimpin jamaahnya untuk pembinaan lebih lanjut; dan (5) menduplikasikan kemampuannya memimpin jamaah kepada anggota-anggotanya dengan mensponsori mereka menjadi kader. Dengan dipimpin oleh pemimpin Jamaah (kader Muhammadiyah) inilah, anggota dan simpatisan Muhammadiyah diproses dalam sistem pembinaan melalui pengajian dan kursus.
Sangat menarik kita amati bagaimana kader Muhammadiyah memiliki tanggungjawab yang tinggi untuk membina jamaah, yang secara tidak langsung mampu merekrut menjadi anggota dan simpatisan Muhammadiyah.
Gambaran hal tersebut di atas, setidaknya melalui proses pengkajian dan tahapan yang cukup lama. Margaret A. Richardson[9] menyatakan bahwa agar perekrutan anggota menjadi berhasil, diperlukan beberapa proses, di antaranya: (1) pengembangan kebijakan rekrutmen dan sistem yang memberikan hidup untuk kebijakan; (2) penilaian kebutuhan untuk menentukan saat ini dan masa depan sumber daya manusia; (3) identifikasi di dalam dan di luar organisasi, berupa potensi sumber daya manusia dan persaingan kemungkinan untuk pengetahuan dan keterampilan di dalamnya; (4) melakukan analisis dan evaluasi untuk mengidentifikasi aspek-aspek individu di setiap tugas dan menghitung nilai relatif; (5) penilaian kualifikasi profil, yang diambil dari deskripsi pekerjaan yang mengidentifikasikan tanggung jawab dan keterampilan yang diperlukan, kemampuan, pengetahuan dan pengalaman; (6) menentukan kemampuan organisasi untuk memberikan kesejahteraan dalam periode tertentu; dan (7) melakukan identifikasi dan dokumentasi proses perekrutan dan seleksi untuk memastikan keadilan dan kepatuhan pada kesempatan yang sama dan hukum lainnya.
Mengacu dari apa yang dijelaskan di atas, Muhammadiyah perlu melakukan beberapa tahapan atau analisis terkait dengan proses rekrutmen agar pencapaian yang menjadi tujuan akhir dapat diwujudkan. Kajian model ini tentunya membutuhkan waktu yang cukup lama.
Setelah melakukan kajian analisis, strategi proses rekrutmen anggota dan simpatisan Muhammadiyah dapat dilakukan setidaknya dengan dua cara, di antaranya:
- Rekrutmen internal, yaitu melakukan pemantapan pemahaman ideologi Muhammadiyah di kalangan teman-teman, saudara, dan anggota keluarga sendiri
- Rekrutmen eksternal, yaitu melakukan perluasan-perluasan akses ke wilayah-wilayah yang dianggap memiliki potensi SDM. Khusus rekrutmen ini, rekrutmen dilakukan dengan keterbukaan, transparansi dan selektif.
Saya secara pribadi mendorong strategi rekrutmen anggota dan simpatisan secara internal. Pertimbangannya adalah bagaimana kita dapat menjaga dan memberdayakan yang sudah ada. Pemberdayaan atas teman-teman, saudara, dan anggota keluarga sendiri dimungkinkan melalui kegiatan diskusi, pengajian, bakti sosial, dan kegiatan-kegiatan tidak formal lainnya. Namun yang perlu diperhatikan, walaupun dilakukan secara internal, desain atau format rekrutmennya harus jelas mana anggota dan simpatisan yang dimaksud.
Muhammadiyah di usianya yang telah satu abad, perlu merevitalisasi atau melakukan bid’ah dalam strategi rekrutmen anggota dan simpatisan Muhammadiyah. Pola rekrutmen internal dan eksternal dapat dilakukan secara bersamaan. Untuk menunjang pola rekrutmen tersebut, tentunya perbaikan model perkaderan harus dilakukan terlebih dahulu dalam rangka mempersiapkan kader-kader yang handal yang dapat membina dan mengembangkan serta memperluas anggota dan simpatisan Muhammadiyah.
Penutup
Bagian akhir ini, saya mencoba simpulkan bahwa untuk merekrut anggota dan simpatisan Muhammadiyah diperlukan proses dan kerja keras. Langkah awal yang harus dilakukan adalah pelatihan kaderisasi untuk menghasilkan kader-kader terpilih. Langkah berikutnya, melakukan analisis proses rekrutmen agar capaiannya sesuai yang diharapkan. Terakhir, mengimplementasikan strategi rektrutmen anggota dan simpatisan secara internal dan eksternal.
Daftar Pustaka
Agus Sukaca. Mewujudkan Pribadi Muslim yang Sebenar-benarnya: Langkah Terpenting Dalam Mewujudkan Masyarakat Islam Yang Sebenar-Benarnya (http://suara-muhammadiyah.com/2009/?p=1197), diakses pada tanggal 8 Januari 2010
Berita Resmi Muhammadiyah No. 01/2005
Margaret A. Richardson. Recruitment Strategies Managing/Effecting the Recruitment Process. Sebuah Makalah yang dipublikasikan dalam website.
Muhammadiyah Dulu, Kini Dan Nanti. Dikirim oleh Dahnil Anzar Simanjuntak http://buetynasircentre.com/index.php?option=com_content&task=view&id=59&Itemid=83
Suyatno. Masa Depan Pendidikan dan Kaderisasi Muhammadiyah: Tantangan dan Harapan. Makalah ini disampaikan dalam Muktamar Pemikiran Islam oleh Pusat Studi Islam dan Filsafat Universitas Muhammadiyah Malang dan Al-Maun Institute Jakarta pada tanggal 12 Februari 2008 di Malang
Suyatno. Peran Kampus dalam Pengembangan IMM. Disampaikan dalam Pokok-pokok Pikiran dalam Muktamar IMM XIII di Bandar Lampung, 27-31 Mei 2008
Suyatno. Perkaderan dan Agenda Pembentukan Kader Politik Berakhlak Mulia di Pentas Nasional. Disampaikan dalam Pengkajian Ramadhan 1429 H Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang Muhammadiyah Membangun Etika Politik dan Peran Kebangsaan di Jakarta tanggal 10 September 2008.
Tanfidz Keputusan Rakerpim BPK PP Muhammadiy
[1] Prof. Dr. H. Suyatno, M.Pd. adalah Rektor UHAMKA dan Bendahara Dikdasmen PP Muhammadiyah [2] Saat ini Muhammadiyah dalam bidang pendidikan telah memiliki 3.979 Taman Kanak-kanak, 33 Taman Pendidikan Al-Qur’an, 6 Sekolah Luar Biasa, 940 Sekolah Dasar, 1.332 Madrasah Diniyah/Ibtidaiyyah, 2.143 Sekolah Lanjutan Pertama (SMP dan MTs), 979 SLTA (SMA, MA, SMK), 101 Sekolah Kejuruan, 13 Muallimin/Muallimat, 3 Sekolah Farmasi, serta 64 Pondok Pesantren. Dalam bidang pendidikan tinggi, Muhammadiyah memiliki 36 Universitas, 72 Sekolah Tinggi, 54 Akademi serta 4 buah Politeknik.
[3] Ada kader Muhammadiyah di sebagian wilayah tertentu ditengarai justeru tidak menunjukkan semangat dakwah menuju masyarakat yang berkeadilan sosial.
[4] Tanfidz Keputusan Rakerpim BPK PP Muhammadiyah tahun 1993 hlm. 48
[5] Dalam pengertian lain, kader (Latin: quadrum), berarti empat persegi panjang atau kerangka. Dengan demikian kader dapat didefinisikan sebagai kelompok manusia yang terbaik karena terpilih, yaitu merupakan inti dan tulang punggung (kerangka) dari kelompok yang lebih besar dan terorganisasi secara permanen.
[6] Berita Resmi Muhammadiyah No. 01/2005, hlm. 63
[7] Muhammadiyah Dulu, Kini Dan Nanti. Dikirim oleh Dahnil Anzar Simanjuntak http://buetynasircentre.com/index.php?option=com_content&task=view&id=59&Itemid=83
[8] Agus Sukaca. Mewujudkan Pribadi Muslim yang Sebenar-benarnya: Langkah Terpenting Dalam Mewujudkan Masyarakat Islam Yang Sebenar-Benarnya (http://suara-muhammadiyah.com/2009/?p=1197), diakses pada tanggal 8 Januari 2010
[9] Margaret A. Richardson. Recruitment Strategies Managing/Effecting the Recruitment Process. Sebuah Makalah yang dipublikasikan dalam website.
PENGEMBANGAN EMPAT PILAR PERKADERAN DI MUHAMMADIYAH
PENGEMBANGAN EMPAT PILAR PERKADERAN DI MUHAMMADIYAH
Oleh: Asep Purnama Bahtiar[1]
Secara implisit, judul makalah—sebagaimana yang dimintakan penyelenggara semiloka—ini paling tidak menyiratkan tiga hal. Pertama, pengakuan dan kesadaran bahwa empat pilar[1] perkaderan di Muhammadiyah tersebut selama ini tidak atau belum berkembang. Kedua, harapan dan sikap optimis bahwa empat pilar perkaderan itu masih bisa dikembangkan dan dioptimalkan fungsinya. Ketiga,
karena itu, pilar-pilar perkaderan tersebut diakui memiliki peran dan
fungsi strategis bagi dinamika dan keberlangsungan gerak Muhammadiyah.Biasanya di lingkungan Persyarikatan pilar perkaderan yang dikenal hanya ada tiga, yakni: keluarga, Ortom (AMM[2] [Angkatan Muda Muhammadiyah]) dan AUM di bidang pendidikan. Adanya tambahan Pimpinan Persyarikatan yang juga dipandang sebagai pilar perkaderan, hemat saya memiliki stressing point pada dua aspek: tanggung jawab moril dan materil pimpinan dalam pelaksanaan perkaderan; serta secara kelembagaan orang yang berada dalam struktur kepemimpinan pada dasarnya pula tengah menjalani proses pembelajaran dan perkaderan dengan melaksanakan amanah dan kewajibannya.
Dalam pola hubungan organisasi, semestinya terbangun interrelasi dan kebijakan yang pro-perkaderan di antara pimpinan Persyarikatan, Ortom AMM dan AUM. Pola relasi seperti ini sangat penting, karena berdasarkan pengalaman tanpa kebijakan yang responsif dan politik perkaderan yang kuat dari pimpinan Persyarikatan perkaderan tidak akan bisa berjalan secara sistemik, menyeluruh dan berkesinambungan.
Kemudian di lingkup AUM, kalau selama ini hanya bidang pendidikan yang dianggap bersenyawa dengan perkaderan, maka setidaknya pascamuktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang (2005) AUM di bidang kesehatan dan sebagainya juga dilibatkan dalam perkaderan. Dalam arti, AUM tersebut mengadakan perkaderan seperti Baitul Arqam, yang pengelolaannya dimintakan, umpamanya, kepada Majelis Pendidikan Kader Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Terkait dengan topik pengembangan empat pilar perkaderan di Muhammadiyah, makalah ini akan lebih fokus pada ikhtiar strategis untuk mengembangkan pilar perkaderan di kalangan Ortom[3] AMM. Untuk pilar keluarga lebih tepat dielaborasi oleh narasumber PP `Aisyiyah; sementara pilar pimpinan juga lebih pas dikemukan oleh narasumber dari PP Muhammadiyah.
KADER DAN MASA DEPAN PERSYARIKATAN
Rencana strategis program nasional bidang kaderisasi—Tanfidz Keputusan Muktamar ke-45—menyatakan: “Membangun kekuatan dan kualitas pelaku gerakan serta peran dan ideologi gerakan Muhammadiyah dengan mengoptimalkan sistem kaderisasi yang menyeluruh dan berorientasi ke masa depan.” Ada tiga kata kunci dalam rencana strategis tersebut: pelaku gerakan; ideologi gerakan Muhammadiyah; dan sistem kaderisasi. Khusus yang diistilahkan dengan ”pelaku gerakan” cakupan subjeknya terdiri dari: pemimpin, kader, dan anggota/warga Persyarikatan.
Dalam ruang lingkup dan dinamika gerakan Muhammadiyah, maka secara organisatoris ketiga subjek tersebut saling membutuhkan dan pengaruh-mempengaruhi. Misalnya, seorang pemimpin pasti membutuhkan anggota/warga, baik sebagai basis legitimasi kepemimpinan maupun untuk kepentingan pelibatan mereka dalam berbagai program dan agenda kerja yang sudah dirancang. Terlebih lagi posisi kader, maka keberadaannya juga lebih strategis dan menentukan bagi bagi kemajuan organisasi. Nilai lebih ini karena kader menempati posisi signifikan di antara pemimpin dan anggota: sebagai tenaga pendukung tugas pemimpin serta menjadi penggerak dan pendinamis aktivitas partisipatif anggota/warga.
Secara leksikal kader (bahasa Perancis: cadre) merupakan bagian inti, pusat atau bagian terpilih yang terlatih. Dalam bahasa Latin adalah quadrum, yang berarti empat persegi panjang, bujur sangkar atau kerangka yang kokoh. Dengan demikian kader merupakan kelompok elite strategis dan terlatih yang samapta dengan kecakapan, kualifikasi dan nilai-nilai lebih yang harus dimilikinya.[4]
Untuk menjadi kader seperti dalam pengertiannya tadi tentu tidak bisa terwujud secara instant dan begitu saja. Terbentuknya sosok kader seperti itu adalah melalui penempaan dalam latihan dan proses didik diri yang berkelanjutan di fora perkaderan, baik yang dikategorikan sebagai perkaderan utama maupun fungsional.[5]
Forum perkaderan sebagai wahana didik yang intensif, bisa dijadikan ajang untuk menyeleksi kader dalam kualitas dan kualifikasinya, termasuk untuk menilai potensi dan kapasitas kepemimpinannya. Dengan begitu, intensitas kaderisasi yang dilakukan oleh Persyarikatan dan Ortom AMM dalam berbagai jenis dan bentuknya yang berbobot menjadi investasi bagi masa depan Muhammadiyah.
Kader yang berkualitas dan proses kaderisasi yang mapan menjadi qonditio sine qua non bagi terlaksananya regenerasi dan alih estafeta kepemimpinan dalam sebuah organisasi. Sekaligus dengan upaya itu pula regenerasi yang bertumpu pada kaderisasi dapat menjamin kesinambungan dan pengembangan organisasi di masa depan secara dinamis, sesuai dengan ideologi dan identitasnya yang dikontekstualisasikan untuk menjawab tuntutan dan perubahan zaman.
Identitas dan keberadaan pemimpin serta kader merupakan komponen organisasi yang tidak boleh tidak mesti dirawat dan dikembangkan. Upaya ini menjadi tanggung jawab yang besar dan sekaligus berat terutama bagi pemimpin Persyarikatan, sementara pemimpin dan kepemimpinan itu sendiri merupakan bagian dari anasir yang terpenting dan fundamental dalam mengintensifkan gerakan dan mengembangkan dinamika Muhammadiyah ke depan.
Dengan kata lain, aktiva dan pasiva gerakan Muhammadiyah untuk membuktikan identitas tersebut akan ikut ditentukan oleh kualitas kader dan kinerja kepemimpinan yang dijalankan oleh seluruh jajaran dan fungsionarisnya di semua lini. Artinya, neraca gerakan Muhammadiyah dewasa ini–yang sudah memasuki abad kedua–dan kelanjutannya ke depan yang tetap mengusung identitas tadi, tidak bisa dimungkiri lagi bakal ikut diwarnai dan ditentukan oleh kompetensi kader dan para elite yang saat ini diamanahi dalam struktur kepemimpinan Persyarikatan.
Dengan demikian, para kader dan orang-orang yang dipercaya menjadi pemimpin di Muhammadiyah itu, sesuai dengan levelnya masing-masing, memiliki amanah yang berat dan tanggung jawab yang besar untuk memajukan Persyarikatan serta mengembangkan sumberdaya kader dan anggotanya. Dalam konteks ini, selain memiliki integritas dan kredibilitas, kader dan pemimpin juga harus mempunyai kapabilitas, visi kepemimpinan yang jelas, dan kemauan untuk selalu meningkatkan kualitas dengan perkaderan[6] atau memiliki tekad kuat untuk mau belajar dan berlatih guna memperbarui diri.
Kebutuhan akan sosok kader dan pemimpin yang amanah dan cakap serta model kepemimpinan yang responsif dan partisipatoris, bukan saja karena kebutuhan intern Muhammadiyah yang urgen, tetapi juga mengingat tantangan dan problem eksternal Persyarikatan di masa depan yang semakin tidak ringan. Tantangan ini juga tidak lepas dari konstelasi dinamis dalam skup nasional dan global, baik dalam dimensi sosial, budaya, ekonomi, politik, maupun keagamaan.
POTRET ORTOM AMM
Berkaitan dengan kayataan seperti itu patut diakui bahwa dalam sejarahnya Muhammadiyah sejak dini sudah memikirkan arti penting dan fungsi strategis kader bagi kemajuan dan kesinambungan gerakannya. Sejak awal KH Ahmad Dahlan telah mulai merintis pembinaan kader-kader Muhammadiyah melalui pengajian, pendidikan formal-informal, organisasi kepanduan (Hizbul Wathon), organisasi kepemudaan, dan sebagainya.
Perkembangan selanjutnya, tradisi perkaderan tetap dilanjutkan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah berikutnya. Kelahiran Nasyiatul `Aisyiyah (16 Mei 1931), Pemuda Muhammadiyah (2 Mei 1932), Ikatan Pelajar Muhammadiyah (18 Juli 1961) dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (14 Maret 1964) merupakan bukti dari keseriusan Muhammadiyah terhadap arti penting kader bagi Persyarikatan.
Kepentingan akan peran kader yang ada di AMM tersebut pada dasarnya tidak sekedar untuk mencukupi hajat kebutuhan sesaat saja, tetapi bersifat jangka panjang dalam estafeta regenerasi untuk menjamin masa depan Muhammadiyah. Oleh karena itu, upaya-upaya untuk menyegarkan dan memperbarui vitalitas kader AMM perlu selalu didesain dengan sebaik-baiknya.
Ikhtiar yang terencana by design itu tidak bisa ditawar-tawar lagi, terlebih bila kita melihat potret AMM akhir-akhir ini. Ada asumsi bahwa gerakan AMM yang kurang artikulatif sedikit banyak dibiaskan oleh nama besar dan prestasi sejarah Muhammadiyah. Masalah ini juga ikut dipengaruhi oleh sikap dan kebijakan (sebagian) Pimpinan Persyarikatan dalam menghadapi dinamika AMM.
Artikulasi gerakan dan aktivitas AMM–yang terdiri dari Pemuda Muhammadiyah (PM), Nasyiatul `Aisyiyah (NA), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), dan Tapak Suci Putera Muhammadiyah–dinilai banyak pihak masih lemah dan belum lantang bergema ke luar. Lemahnya artikulasi gerakan dan aktivitas ini mempengaruhi posisi strategis AMM sebagai basis dan wadah kader Muhammadiyah.
Tentu tida fair juga bila buramnya potret AMM ditimpakan kesalahannya kepada Muhammadiyah semata. Menilik lebih jauh kepada inti permasalahnnya, peran dan fungsi ideal AMM misalnya untuk menyuplai kader-kader terbaiknya bagi kepentingan Muhammadiyah, umat dan bangsa sering terdistorsikan di masing-masing tubuh organisasi AMM itu sendiri.
Ada beberapa persoalan mendasar yang berkaitan dengan problem kaderisasi di AMM dan artikulasi gerakannya. Pertama, lemahnya sistem dan mekanisme perkaderan AMM secara “ide konseptual” dan “praktek operasional”. Kedua, masih terbatasnya orientasi perkaderan hanya untuk mencukupi hajat kebutuhan intern masing-masing AMM, dan itu pun seringkali berjalan tidak lancar. Ketiga, tidak adanya koordinasi dan sinkronisasi model perkaderan yang komprehensif yang melibatkan seluruh jajaran AMM. Keempat, masih kuatnya ego sektoral di masing-masing AMM. Kelima, tuntutan untuk bekerja sesuai dengan usia rata-rata AMM yang tidak mudah diaktualisasikan sesuai keterbatasan lapangan pekerjaan. Keenam, keterpukauan AMM oleh panggung politik sehingga menganggap tidak afdol kalau tidak terjun ke arena politik praktis seperti melalui partai politik.
Di luar masalah internal AMM tadi, dalam hubungan organisatoris maupun personal masih banyak Pimpinan Persyarikatan atau orang Muhammadiyah yang memandang AMM melalui pola pendekatan antargenerasi dan antarangkatan. Pola pendekatan ini memiliki kecenderungan dan implikasi pemahaman terhadap AMM yang tidak utuh, parsial, dan fragmentaris. Dengan pola pendekatan seperi ini, AMM masih sering dianggap hanya sebagai unsur pelengkap dari organisasi besar Muhammadiyah dalam pola hubungan antara “anak” dan “bapak”.
Tampaknya pola pendekatan dan hubungan yang tidak kondusif tadi ada baiknya diubah dengan menggunakan pola pendekatan ekosferis–meminjam istilah HAR Tilaar. Pendekatan ekosferis merupakan pola yang memandang dunia anak-anak muda sebagai bagian yang dinamis dari wawasan kehidupan manusia dengan mempertimbangkan unsur-unsur lingkungan sebagai keseluruhan, dan unsur tujuan yang menjadi pengarah dinamika dalam lingkungannya itu.
Dengan pendekatan model seperti ini, Muhammadiyah tidak perlu lagi memandang AMM secara fragmentaris dan parsial. Tetapi Muhammadiyah melihat AMM secara utuh sebagai dunia tersendiri, dengan segala unsur dan dinamikannya yang khas sesuai dengan lingkungan dan wawasan kaum muda Muhammadiyah tanpa harus kehilangan nilai-nilai prinsipil Persyarikatan.
Lebih penting dari itu semua, hemat penulis, adalah upaya kreatif AMM sendiri dalam menentukan sikap dan gerak langkahnya. Misalnya penyelesaian masalah keorganisasian untuk memperkuat artikulasi gerakannya semestinya lebih ditentukan oleh kemandirian sikap dan keberanian AMM dalam mengambil keputusan dengan menanggung risikonya.
Sikap mandiri dan dinamis tersebut merupakan bagian dari identitas dan karakter kaum muda Muhammadiyah. Karena itu, bila langkah intensifikasi organisasi telah dijalankan dengan sungguh-sungguh, maka strategi gerakan tersebut harus ditindaklanjuti dengan upaya konstruktif AMM untuk membangun sejarahnya sendiri.
Membangun sejarah sendiri berarti AMM membebaskan diri dari bayang-bayang kebesaran Muhammadiyah dengan segala konsekuensinya; dan memerdekakan diri dari sindroma romantisisme historis tentang kejayaan sejarah milik orang lain. Karenanya, dinamika dan aktivitas AMM harus tetap berlandaskan pada kultur organisasi kepemudaan dengan semangat idealisme dan kemandiriannya dengan tetap loyal pada prinsip-prinsip Persyarikatan. Dengan keberanian seperti inilah AMM bisa membuat potret barunya, bukan saja agar bisa terlihat lebih cerah dan segar, tetapi juga mencerahkan dan menyegarkan. Bahkan, menjadi AMM yang bergerak dan menggerakkan.
REVITALISASI KADER DAN FORMAT PENGEMBANGAN
Sebagai basis dan wadah kader Muhammadiyah, AMM seharusnya juga bisa menghasilkan kelompok-kelompok elite kader yang bisa diandalkan. Karenanya, keberadaan AMM di samping untuk senantiasa berupaya dalam menjaga eksistensinya, juga mempunyai fungsi dan peran strategis untuk menyuplai kader-kader terbaiknya bagi kepentingan Muhammadiyah. Bahkan keistimewaan (yang berarti juga menjadi beban moral) AMM, sebagai basis kader ternyata tecakup dalam “spektrum kekaderan”: kader Persyarikatan, kader umat dan kader bangsa.
Spektrum kekaderan AMM tersebut menunjukkan peran dan fungsinya yang multidimensi dan inklusif bagi kepentingan hidup umat dan kejayaan bangsa. Sekaligus dengan spektrum kekaderan ini AMM membantah tuduhan dari sementara kalangan yang sering menyebutkan bahwa AMM hanya menjadi wadah kader bagi Muhammadiyah saja.
Seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman, maka kebutuhan standar kader untuk saat ini dan masa yang akan datang akan berbeda dengan masa yang lalu. Karena itu, untuk selalu menampikan sosok kader yang siap pakai sesuai dengan zamannya, perlu diadakan upaya “revitalisasi kader AMM”. Langkah ini merupakan bagian terpenting dalam membangun format pengembangan sumberdaya kader.
Revitalisasi kader ini merupakan sebuah proses yang berkelanjutan untuk meningkatkan vitalitas, daya juang, dan kualitas kader melalui berbagai macam pelatihan, pendidikan, dan perkaderan yang terarah dan terencana. Melalui revitalisasi kader ini, suplai kader tidak hanya berfungsi bagi pemenuhan kebutuhan internal organisasi saja, tetapi juga peran strategisnya akan terlihat dari kemampuannya dalam merespons dan menyikapi dinamika perkembangan zaman.
Pada sisi lain revitalisasi kader tersebut merupakan unsur terpenting dari upaya manajemen pengembangan sumberdaya kader dan anggota. Dalam sebuah organisasi, manajemen pengembangan sumberdaya kader ini merupakan program pokok yang strategis guna menghasilkan kader-kader yang berkualitas dan siap pakai untuk mendinamiskan gerakan organisasi.
Dalam praktiknya, manajemen pengembangan sumberdaya kader dan anggota ini tidak akan cukup diwujudkan dalam bentuk-bentuk training perkaderan dan pelatihan yang baku saja. Penyatalaksanaan manajemen ini harus sudah dimulai sejak perekrutan anggota dan selama aktif berkecimpung dalam organisasi.
Mutatis mutandis, revitalisasi kader AMM juga harus diterapkan dalam pelbagai bentuk kegiatan, pelatihan, dan institusi-institusi perkaderan baik yang termasuk jenis perkaderan utama maupun fungsional.[7] Satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa upaya revitalisasi kader AMM dengan mengintensifkan berbagai macam perkaderan tadi, jangan sampai hanya bersifat ideology oriented, hanya berorientasi semata untuk menanamkan nilai-nilai ideologis organisasi, tetapi tidak memperhatikan aspek-aspek lainnya yang dinamis dan juga penting.
Harus dipahami bahwa arti penting lain dari revitalisasi kader ini adalah agar supaya kader AMM memiliki link and match, baik ke dalam maupun ke luar. Maksudnya, ada keterkaitan dan keselarasan dengan tuntutan kebutuhan internal Persyarikatan, maupun kemestian bagi AMM untuk menguasai ilmu pengetahuan dan kecakapan agar mampu merespons perubahan sosial yang menyertai dinamika umat dan bangsa dalam percaturan global.
Berkaitan dengan revitalisasi tersebut, maka kualifikasi kader tidak sekedar dipahami pada kentalnya muatan ideologi, nilai identitas, dan teori-teori keorganisasian saja secara pro-forma. Muatan-muatan seperfi ini harus ditindaklanjuti dengan pemahaman kader terhadap realitas empirik di seputarnya secara pro-acsio, yang akan menjadi lahan untuk “membumikan” ideologi dan nilai-nilai identitasnya tadi. Dalam prosesnya, muatan dan pemahaman ini harus bisa sejalan secara dialektis, agar bisa melahirkan bentangan dialog antara nilai idealita dengan dunia realita.
Mengingat arti penting dan fungsi strategis kader dalam sebuah organisasi, maka sedari awal harus sudah digariskan rencana pengelolaan dan penanganan problemnya yang antisipatif dan berwawasan ke depan. Berkaitan dengan revitalisasi kader ini, setidaknya ada dua format pengembangan pilar perkaderan khususnya di kalangan Ortom AMM, yakni: transformasi kader dan diversifikasi kader.
Secara harfiah, transformasi[8] kader adalah pengubahan fungsi dan penggantian peran kader ke tahap yang lebih baik dan semakin berbobot. Sedangkan secara terminologi-konseptual transformasi kader merupakan sebuah proses dan mekanisme perkaderan yang sistematis, terarah, dan terencana untuk melakukan pengalihan fungsi dan peran seorang kader–berdasarkan pada standar kualifikasi, kompetisi, dan kapabilitas kecakapan dalam bidang keahlian khusus–untuk menempati posisi tertentu dalam sebuah organisasi.
Kongkretnya, transformasi kader ini bisa diterapkan antarsesama AMM, melalui promosi dan penokohan kader untuk beralih jenjang ke organisasi yang dipandang lebih sesuai daripada sebelumnya, umpamanya karena faktor umur dan tingkat pendidikan. Misalnya transformasi kader dari IPM ke IMM, atau ke PM dan ke NA. Ada kecenderungan kalau terlalu lama di salah satu Ortom, apalagi diwarnai dengan ego sektoral, bisa-bisa sang kader itu menghabiskan umurnya di Ortom tersebut dan bersikap sinis terhadap Ortom lain.
Adapun transformasi kader untuk Muhammadiyah, adalah dengan melakukan promosi dan penokohan kader yang sesuai dengan standarisasi dan kebutuhan, dari kalangan AMM untuk menempati pos-pos tertentu dalam Muhammadiyah. Untuk memperlancar mekanisme dan sistem transformasi kader ini, baik di kalangan AMM maupun Muhammadiyah, terlebih dahulu harus melakukan penjajagan dan pemantauan kader-kader potensial secara intensif, misalnya melalui berbagai jenis dan jenjang perkaderan serta penugasan yang terencana.
Format berikutnya adalah diversifikasi[9] kader. Secara formal-organisatoris, barangkali diversifikasi kader ini sudah terwakili dalam pengategorian AMM untuk kalangan pelajara (IPM), kalangan mahasiswa (IMM), serta kalangan pemuda dan pemudi (PM dan NA).
Namun demikian, pengertian dan konsepsi dari diversifikasi kader yang dimaksud menunjukkan sebuah sistem dan mekanisme perkaderan untuk menganekaragamkan dan mengembangkan kualitas kader AMM yang berdasarkan pada bakat, minat profesi keahlian, dan kompetensi masing-masing kader serta untuk merespons dinamika zaman. Diversifikasi ini menjadi semacam pengelompokan dan pengategorian kader AMM dalam sistem pembinaan dan pengembangan lebih lanjut yang berdasarkan pada bidang-bidang profesi dan disiplin keilmuan yang dikuasainya serta dengan mempertimbangkan potensi dan bakatnya.
Dalam diversifikasi kader ini juga bisa dilakukan pengorbitan dan penyebaran “kader lepas” yang secara struktural keorganisasian tidak terikat formal. “Kader lepas” tersebut diberi kesempatan dan dukungan untuk mengaktualisasikan dan mengembangkan potensi sumber dayanya di luar Persyarikatan dengan tetap membawa prinsip dan misi Muhammadiyah.
Terkait dengan diversifikasi kader, tampaknya dunia politik, dunia jurnalistik, dan dunia ekonomi serta profesi-profesi keahlian yang mengglobal masih belum diperhatikan oleh AMM dan Muhammadiyah secara serius dan terancang dengan sistemik. Sebagai contoh, kader Muhammadiyah yang terjun ke dunia politik nyaris tidak ada penyiapan, pembekalan dan perkaderannya yang khusus dan matang. Sehingga tidak terbangun jaringan komunikasi politik yang sinergis antara kader-kader politik itu dengan visi dan misi Persyarikatan. Hal ini terjadi baik di tingkat politik lokal maupun nasional.
PENUTUP
Perkadern yang berjalan secara sistemik, mapan dan berkesinambungan, tidak hanya untuk mendukung dinamika dan penguatan eksistensi organisasi saja, tetapi juga untuk mendorong gerakan dakwah Muhammadiyah dan peran kebangsaannya yang semakin membutuhkan kualitas sumberdaya kader dan anggota. Pembenahan problem kaderisasi dengan kesungguhan dalam pendanaannya yang tidak sedikit akan berperan besar dalam upaya pengembangan sumberdaya dimaksud.Melalui penerapan “transformasi kader” dan “diversifikasi kader” diharapkan akan lebih mempercepat proses pengembangan dan peningkatan kualitas kader AMM yang sesuai dengan kompetensi dan kapabilitasnya yang relevan dengan perkembangan zaman. Dengan kedua sistem tersebut, sedikit banyak akan bisa mengatasi problem kaderisasi dan menjadi ajang perkaderan yang kondusif untuk mempercepat “mobilitas vertikal” dan “mobilitas horizontal” kader AMM, baik dalam lingkup kepentingan internal Muhammadiyah maupun untuk merespons dinamika kebangsaan yang tidak bisa lepas dari percaturan globalisasi yang menggurita.[]
[1]Secara leksikal pilar berarti: 1. n. tiang penguat (dr batu, beton, dsb); 2. ki. Dasar (yg pokok); induk. (Lihat: Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989: 683). Dalam konteks topik semiloka ini pilar dimaksud adalah sumber dan sekaligus penopang perkaderan Muhammadiyah. [2]Secara substantif penulis menawarkan istilah KMM (Kaum Muda Muhammadiyah) karena, hemat penulis, KMM tidak dibatasi berdasarkan usia atau kesamaan generasi, tetapi lebih pada pemikrian yang segar, semangat kemajuan dan jiwa progresif kendati orangnya sudah termasuk tua. Sedangkan istilah “angkatan” dalam AMM sangat kuat dengan kesan generatif yang dibedakan berdasarkan kategori umur dan periode kesamaan era waktu lahir. Di samping itu juga muncul persepsi di sebagian warga Muhammadiyah atau pihak luar, bahwa AMM adalah nama salah satu Ortom atau bagian dari struktur Muhammadiyah, padahal bukan.
[3]Tentang Organisasi otonom (Ortom) dalam Qa`idah Organisasi Otonom Muhammadiyah (SK PP Muhammadiyah No. 92/KEP/I.O/B/2007) dinyatakan sebagai berikut: BAB II Pasal 2 Kedudukan Organisasi Otonom adalah satuan organisasi yang berkedudukan di bawah Persyarikatan. Pasal 3 Kategori (1) Organisasi Otonom dibedakan dalam dua kategori, yaitu Umum dan Khusus. a. Organisasi Otonom Umum adalah organisasi otonom yang anggotanya belum seluruhnya anggota Muhammadiyah. b. Organisasi Otonom Khusus adalah organisasi otonom yang seluruh anggotanya anggota Muhammadiyah, dan diberi wewenang menyelenggarakan amal usaha yang ditetapkan oleh Pimpinan Muhammadiyah dalam koordinasi Unsur Pembantu Pimpinan yang membidanginya sesuai dengan ketentuan yang berlaku tentang amal usaha tersebut. (2) a. Organisasi Otonom Umum yaitu Hizbul Wathan, Nasyiatul ’Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, dan Tapak Suci Putera Muhammadiyah. b. Organisasi Otonom Khusus yaitu ’Aisyiyah.
[4]Lihat Encarta Dictionary tentang kader (cadre): military military unit: a group of experienced professionals at the core of a military organization who are able to train new recruits and expand the operations of the unit; politics core of activists: a core group of political activists or revolutionaries; core group: a controlling or representative group at the center of an organization; small group of team-spirited people: a tightly knit, highly trained group of people; member of cadre: a member of a cadre. (Microsoft® Encarta® Reference Library 2004. © 1993-2003 Microsoft Corporation. All rights reserved.)
[5]Sebelumnya dalam Sistem Perkaderan Muhammadiyah (SPM) yang lama jenis perkaderan dikelompokan menjadi perkaderan formal, informal dan nonformal. Setelah mengalami revisi—sesuai amanat Muktamar Muhammadiyah ke-45–dalam SPM baru ini jenis perkaderan diganti menjadi perkaderan utama dan perkaderan fungsional (lihat: MPK PP Muhammadiyah. 2007. Sistem Perkaderan Muhammadiyah, hlm. 43-46).
[6]Perkaderan merupakan program yang terencana, terarah, terus-menerus, dan terangkai dalam satu kesatuan yang terpadu dalam mempersiapkan anggota dan pimpinan sebagai subjek dan pendukung gerak Muhammadiyah untuk mewujudkan tujuannya. (Sistem Perkaderan Muhammadiyah, 2007: 8).
[7] Perkaderan utama adalah kegiatan kaderisasi pokok yang dilaksanakan dalam bentuk pendidikan atau pelatihan untuk menyatukan visi dan pemahaman nilai ideologis serta aksi gerakan yang diselenggarakan oleh Pimpinan Persyarikatan atau MPK di setiap struktur pimpinan. Perkaderan ini dilaksanakan dengan standar kurikulum yang baku dan waktu penyelenggaraannya dalam satuan waktu tertentu yang telah ditetapkan. Kegiatan kaderisasi yang dilaksanakan dalam bentuk pendidikan, pelatihan, kursus atau kajian intensif yang terstruktur namun tidak ditetapkan standar kurikulumnya secara baku untuk mencukupi kebutuhan dan fungsi tertentu dari majelis atau lembaga.
Perkaderan fungsional dilaksanakan sebagai pendukung perkaderan utama dan guna pengembangan sumberdaya kader. Kurikulumnya dapat dikembangkan secara fleksibel sesuai jenis pelatihan serta kebutuhan dan kreativitas masing-masing penyelenggara. (Sistem Perkadern Muhammadiyh, 2007: 44-45).
[8]Transformation antara lain diartikan sebagai complete change: a complete change, usually into something with an improved appearance or usefulness. Microsoft® Encarta® Reference Library 2004. © 1993-2003 Microsoft Corporation. All rights reserved.
[9]Diversification antara lain berarti provision of variety: the provision or development of greater variety Microsoft® Encarta® Reference Library 2004. © 1993-2003 Microsoft Corporation. All rights reserved.
[1] H. Asep Purnama Bahtiar, S.Ag., M.Si., Sekretaris Majelis Pendidikan Kader Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2005-2010); Dosen FAI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
KONSEP DASAR PERKADERAN MUHAMMADIYAH
Disampaikan oleh Amir Hady[2]
Kader (Perancis:cadre) atau les cadres maksudnya
adalah anggota inti yang menjadi bagian terpilih, dalam lingkup dan
lingkungan pimpinan serta mendampingi di sekitar kepemimpinan. Kader
bisa berarti pula sebagai jantung suatu organisasi. Jika kader dalam
suatu kepemimpinan lemah,maka seluruh kekuatan kepemimpinan juga akan
lemah. Kader berarti pula pasukan inti. Daya juang pasukan inti ini
sangat tergantung dari nilai kadernya yang berkualitas, berwawasan,
militan, dan penuh semangat.
Dalam pengertian lain, kader (Latin:quadrum), berarti empat
persegi panjang atau kerangka. Dengan demikian kader dapat didefinisikan
sebagai kelompok manusia yang terbaik karena terpilih, yaitu merupakan
tulang punggung (kerangka) dari kelompok yang labih besar dan
terorganisasi secara permanen. Jadi, jelas bahwa orang-orang yang
berkualitas itulah yang terpilih dan berpengalaman dalam berorganisasi,
taat asas dan berinisiatif, yang dapat disenut sebagai kader.
Fungsi dan posisi kader dalam suatu organisasi, termasuk di
Persyarikatan, dengan demikian menjadi sangat penting karena kader dapat
dikatakan sebagai inti pergerakan organisasi. Di samping itu, kader
juga merupakan syarat penting bagi berlangsungnya regenerasi
kepemimpinan.
Bagi sebuah organisasi, regenerasi kepemimpinan yang sehat karena
ditopang oleh keberadaan kader-kader yang qualified, selain akan
menjadikan organisasi bergerak dinamis, juga formasi kepemimpinannya
akan segar dan enerjik. Keberadaan kader bagi Muhammadiyah-dengan
kualifikasi dan kompetensinya-seolah memanifestasikan sosok ciptaan
Allah yang terbaik (khairul bariyyah-QS.Al-Bayyinah/96:7); bagian dari umat yang terbaik (khairu ummah-QS.Ali Imran/3:110); serta semisal flora yang kokoh dan menawan, yang dalam QS.Al-Fath/48:29 diungkapkan;
“......Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas
itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan tegak
Lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya
karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan
kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan
pahala yang besar.”
Jika Persyarikatan tidak merancang dan menyiapkan para kadernya secara
sistematis dan organisatoris, maka dapat dipastikan bahwa Muhammadiyah
sebagai suatu organisasi akan lemah lunglai, loyo tidak berkembang,
tidak ada aktivitas dan tidak memiliki prospek masa depan. Karena itu
setiap organisasi haruslah memiliki konsep yang jelas, terencana dan
sistematis dalam menyiapkan dan mengembangkan suatu sistem yang menjamin
keberlangsungan transformasi dan diversifikasi kader serta regenerasi
kepemimpinan.
Ada dua kosakata yang perlu diklarifikasi terlebih dahulu untuk bisa
memahami Sistem Perkaderan Muhammadiyah (SPM), yaitu:sistem dan
perkaderan. Secara leksikal, sistem berarti seperangkat unsur yang
secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu kesatuan atau
totalitas (a set or arrangement of things so related or connected as to form a unity or organic whole).
Kemudian tentang perkaderan, pengucapan dan penulisannya sering
tertukar dengan pengaderan atau pengkaderan. Pengaderan adalah : proses,
cara, perbuatan mendidik atau membentuk seseorang menjadi kader. Namun
perlu diingat, dalam “pengaderan” ini, posisi kader atau orang yang ikut
ddalam training menjadi obyek dan pasif sebagai orang yang dididik atau dibentuk menjadi kader.
Sedangkan perkaderan, berasal dari kata dasar kader ditambah prefiks_nominal per dan sufiks an (perihal, yang berhubungan dengan, antara lain, kader). Dalam “perkaderan”, posisi kader atau orang yang ikut training menjadi subyek dan aktif. Jadi, yang pas dipergunakan dalam SPM adalah perkaderan.
Dengan demikian, pengertian Sistem Perkaderan Muhammadiyah
(SPM) adalah: “Seperangkat unsur dan keseluruhan komponen yang secara
teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas yang
berhubungan dengan kader dan kaderisasi di Muhammadiyah.”
Sebagai sebuah sistem, unsur-unsur yang terkandung dalam SPM berupa :
tujuan perkaderan Muhammadiyah; arah perkaderan Muhammadiyah; profil
kader Muhammadiyah; jenis dan bentuk perkaderan; struktur penjenjangan
kader; kurikulum perkaderan; dan pengorganisasian perkaderan. Dalam hal
ini, sistem perkaderan yang dimiliki olah ortom, juga merupakan bagian
dari SPM.
Sebagai sebuah sistem dan kesatuan yang utuh, maka SPM berlaku bagi
semua jajaran dan komponen Persyarikatan. Konsekkuensinya SPM juga
memuat atau mencakup seluruh bentuk dan jenis kaderisasi dan pelatihan
yang diterapkan di Muhammadiyah, baik secara vertikal maupun horizontal.
Yang dimaksud dengan vertikal adalah SPM berlaku bagi seluruh pimpinan
Mihammadiyah, mulai dari Pusat sampai dengan Ranting, sebagai acuan dan
pola dalam pelaksanaan kadersisari secara optimal sesuai dengan
tingkatan masing-masing. Sedangkan yang dimaksud dengan horizontal
adalah SPM berlaku dan mengikat seluruh Unsur Pembantu Pimpinan (majlis
dan lembaga), Ortom, dan Amal Usaha Muhammadiyah diseluruh jenjang
kepemimpinan Muhammadiyah untuk dilaksanakan sebagai acuan dan pola
kaderisasi.
Karena bersifat mengikat dan menyeluruh seperti itu, maka sistem
perkaderan yang dimiliki masing-maing ortom menjadi bagian dari SPM.
Maing-maing ortom melaksanakan program dan kegiatan perkaderanya
berdasarkan kekhasan masing-masing dengan tetap mengacu dan mengindahkan
konsep dasar, prinsip dan kurikulum dalam SPM secara konsisten.
Sedang pelatihan dan training yang ada dan dimiliki oleh majlis
dan/atau lembaga semuanya termasuk dalam SPM yang dikatagorikan sebagai
jenis perkaderan fungsional. Karena termasuk bagian SPM, maka dalam
perkaderan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh ortom dan majlis atau
lembaga tersebut harus mengandung muatan materi pokok dari kurikulum
SPM.
Kemudian, sebagai bagian dari SPM, maka untuk kegiatan pelatihan atau
training dalam program kegiatan yang diselenggarakan oleh unsur pembantu
pimpinan, masing-masing cukup menyusun panduan pelatihan atau pedoman
pelaksanaan saja. Jadi tidak perlu membuat sistem perkaderan sendiri,
untuk menghindari kesalahpahaman ada lebih dari satu sistem perkaderan
Muhammadiyah.
Dalam kesatuan sistem, maka pelksanaan perkaderan, baik di lingkungan
Unsur pembantu pimpinan, ortom, maupun AUM harus selalu dalam koordinasi
dengan Mejlis Pendidikan Kader (MPK) di masing-masing tingkatan
pimpinan persyarikatan. Untuk efektivitas perencanaan dan pelaksanaan
perkaderan, pimpinan AUM (bersama majlis/lembaga yang membawahinya)
berkoordinasi langsung dengan MPK. Sesuai dengan fungsi, tugas dan
wewenang yang diamanahkan kepada MPK, maka hal ini menjadi bagian dari
fungsi MPK dalam perkaderan.
Terbentuknya kader Muhammadiyah yang memiliki ruh (spirit) serta
mempunyai integritas dan kompetensi untuk berperan di Persyarikatan,
dalam kehidupan umat dan dinamika bangsa serta konteks global.
Perkaderan pada hakekatnya merupakan pembinaan personel anggota dan
pimpinan secara terprogram dengan tujuan tertentu bagi Persyarikatan.
Dalam Muhammadiyah perkaderan dititikberatkan pada pembinaan idiologi;
pembinaan kepemimpinan; membangun kekuatan dan kualitas pelaku gerakan,
idiologi gerakan dan mengoptimalkan sistem kaderisasi yang menyeluruh
dan berorientasi ke masa depan.
Denngan demikian, perkaderan Muhammadiyah menjadi upaya penanaman
nilai, sikap dan cara berpikir, serta peningkatan kompetensi dan
integritas terutama dalam aspek idiologi, kualitas kepemimpinan, ilmu
pengetahuan dan wawasan bagi segenap pipmpinan, kader dan anggota/warga
Muhammadiyah. Dengan kata lain, dalam perkaderan harus terjadi
penyadaran, peneguhan dan mengayaan. Upaya ini bisa dipahami dalam
rincian berikut.
1. Pembinaan Keislaman
a. Penanaman nilai-nilai Islam sesuai dengan pandangan Muhammadiyah
b. Pembinaan aqidah
c. Pembinaan ibadah
d. Pembinaan akhlaq
e. Pembinaan mu’amalah duniawiyah
2. Pembinaan Jiwa Persyarikatan
a. Pemahaman sejarah dan dinamika garakan pembaharuan dan
pemikiran Islam dalam konteks memahami Muhammadiyah sebagai gerakan
Islam
b. Meneguhkan ideologi gerakan Muhammadiyah
c. Penguatan etika dan kultur bermuhammadiyah
d. Penguasaan strategi perjuangan Muhammadiyah
3. Pembinaan Keilmuan dan Wawasan
a. Pengembangan penguasaan metodologi keilmuan dan berpikir ilmiah
b. Penguasaan disiplin ilmu dan aplikasi teknologi sesuai bidang keahlian masing-masing.
c. Pengembangan wawasan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan
d. Pemahaman dinamika dan peta perjuangan umat Islam
4. Pembinaan Kepemimpinan dan Menajemen
a. Kemampuan leadership
b. Pemahaman kemampuan manajeman organisasi
c. Penguasaan manajeman gerakan, manajemen ide, kemampuan advokasi dan kemampuan pengambilan keputusan/kebijakan
d. Kemampuan manajemen pengembangan masyarakat
e. Pemahaman program Muhammadiyah
5. Pembinaan Penguasaan Keterampilan, Informasi dan Keilmuan
a. Pengembangan potensi diri kader sesuai minat dan bakatnya
b. Pengembangan kecakapan/keahlian dan profesi tertentu seperti
kemampuan analisis kebijakan publik, tehnik rekayasa sosial,
tehnik-tehnik advokasi dan strategi dakwah
c. Pengembangan kemampuan penguasaan dan pemanfaatan teknologi
informasi, jaringan media, internet dan komputer dalam kajian dari
situasi agama serta analisis data untuk keperluan dakwah Islam
Melalui kurikulam, metode, strategi dan proses yang ditentukan, maka
dengan penekanan pada pembinaan keempat aspek tersebut diharapkan bahwa
perkaderan Muhammadiyah dapat mencapai tujuannya, yakni terbentuknya
kader Muhammadiyah yang cakap dan kompeten untuk berperan di
Persyarikatan, dalam kehidupan umat dan dinamika bangsa serta konteks
global.
Di bagian awal telah dijelaskan bahwa kader berarti elite, yakni bagian
terpilih dan terbaik karena terlatih. Bararti pula jantung suatu
organisasi. Kader juga berarti inti tetap dari suatu resimen. Daya juang
resimen ini sangat tergantung dari nilai kadernya yang merupakan tulang
punggung, pusat semangat dari inti gerakan suatu organisasi. Karena itu
hanya orang-orang yang bermutu itulah, yang terpilih dan berpengalaman
dalam berbagai medan perjuangan, yang taat dan berinisiatif, yang dapat
disebut kader.
Kader Muhammadiyah sebagai hasil dari proses perkaderan adalah anggota
inti yang diorganisir secara permanen dan berkemampuan dalam menjalankan
tugas serta misi di lingkungan Persyarikatan, umat dan bangsa guna
mencapai tujuan Muhammadiyah. Karena itu hakekat kader Muhammadiyah
bersifat tunggal, dalam arti hanya ada satu profil kader Muhammadiyah.
Sedangkan fungsi dan tugasnya bersifat majemuk dan berdimensi luas,
yakni sebagai kader Persyarikatan, kader umat dan kader bangsa.
Sesuai dengan materi pembinaan dalam perkaderan, maka kader
Muhammadiyah tersebut harus memiliki kriteria tertentu dalam aspek
ideologi, ilmu pengetahuan, wawasan, dan kepemimpinan, sehingga kualitas
Iman, Islam dan Ihsan terpadu pada dirinya dalam menjalankan tugas
Persyarikatan. Profil kader Muhammadiyah harus mampu menunjukkan
integritas dan kompetensi akademis dan intelektual, kompetensi
keberagamaan dan kompetensi sosial-kemanusiaan guna menghadapi tantangan
organisasi di masa depan.
Integritas dan kompetensi kader Muhammadiyah dalam tiga aspek ini dapat
dipahami dalam nilai-nilai dan indikatornya sebagai berikut:
1. Kompetensi keberagamaan, dicirikan dengan nilai-nilai:
a. Kemurnian aqidah (keyakinan berbasis tauhid yang bersumber pada ajaran Al Qur’an dan Sunnah Nabi yang sahih/maqbullah)
b. Ketekunan beribadah (senantiasa menjalankan ibadah mahdhah,
baik yang wajib maupun yang sunnat tathawwu’ sesuai tuntunan Rasullah)
c. Keikhlasan (melakukan sesuatu semata-mata karena Allah SWT)
d. Shidiq (jujur dan dapat dipercaya)
e. Amanah (komitmen dan tanggung jawab moral yang tinggi dalam mengemban tugas)
f. Berjiwa gerakan (semangat untuk aktif dalam Muhammadiyah sebagai panggilan jihad di jalan Allah)
2. Kompetensi akademis dan intelektual, dicirikan dengan nilai-nilai :
a. Fathonah (kecerdasan pikiran sebagai Ulul Albab)
b. Tajdid (pembaruan dan berpikiran maju dalam mengembangkan kehidupan sesuai ajaran Islam)
c. Istiqomah (konsisten dalam pikiran dan tindakan)
d. Etos belajar (semangat dan kemauan keras untuk selalu belajar)
e. Moderat (arif dan mengambil posisi di tengah)
3. Kompetensi sosial kemanusiaan, dicirikan dengan nilai-nilai :
a. Kesalehan (kepribadian yang baik dan utama)
b. Kepedulian sosial (keterpanggilan dalam meringankan beban hidup orang lain)
c. Suka beramal (gemar melaksanakan amal saleh untuk kemaslahatan hidup)
d. Tabligh (menyampaikan kebaikan kepada orang lain, komunikatif dan terampil membangun jaringan)
Dalam menjalankan tugas yang diembannya di manapun dan dalam suasana
apapun, dengan tiga jenis kompetensi itu setiap kader Muhammadiyah
hendaknya mempunyai cara berpikir, sikap mental, dan kesadaran
berorganisasi, serta keikhlasan dalam bingkai khas Persyarikatan:
1. Memahami hakikat Islam secara menyeluruh yang mencakup aspek
aqidah, ibadah, akhlaq dan mu’amalah duniawiyah, bersumberkan Al Qur’an
dan As Sunnah Al Maqbullah.
2. Melandasi segala sesuatu dengan niat ikhlas mencari ridha Allah semata-mata.
3. Mengamalkan ajaran Islam secara menyeluruh dalam segenap aspek
kehidupannya, dan berusaha untuk menegakkan Islam dalam kehidupan
pribadi, kehidupan keluarga dan kehidupan bermasyarakat, sehingga
terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
4. Memiliki semangat jihad untukmemperjuangkan Islam
5. Memiliki kemauan dan kesediaan untuk berkorban demi Islam, baik korban waktu, harta, tenaga, bahkan nyawa sekalipun.
6. Mempunyai keteguhan hati dalam mengamalkan, menegakkan dan
memperjuangkan Islam, dengan arti kata tidak mundur karena ancaman dan
tidak terbujuk dengan rayuan dan selalu istiqomah dalam kebenaran
7. Mematuhi pimpinan dalam hal-hal yang disuai dan tidak disukai selama berada dalam kebenaran
8. Mengamalkan ukhuwah Islamiyah dalam kehidupan bermasyarakat
9. Aktif dalam dakwah Islam (Muhammadiyah) secara murni dan penuh.
10. Bisa dipercaya dan mempercayai orang lain dalam organisasi.
Sumber : Sistem Perkaderan Muhammadiyah (SPM), MPK PP Muhammadiyah, 2007
Berkata KHA.Dahlan:
(Sumber: Ajaran KHA.Dahlan dengan 17 Kelompok Ayat-Ayat Al Qur’an, p.28;KRH.Hadjid)
1. Carilah harta benda dengan jalan halal dengan segala kekuatan
tenaga dan jangan malas, sehingga mendapatkan harta benda dengan
sebaik-baiknya.
2. Setelah mendapat, pakailah untuk keperluan dirimu, anak
istrimu dengan secukupnya, jangan terlalu mewah, jangan mementingkan
kemewahan-kemewahan yang melampaui batas.
3. Kemudian kelebihannya hendaklah didermakan pada jalan Allah.
Rasulullah SAW bersabda :”Sesungguhnya orang yang kaya itu adalah
orang yang hatinya tidak membutuhkan harta, dan orang fakir itu adalah
orang yang hatinya sangat suka kepada harta”.(Sumber: Ajaran KHA.Dahlan dengan 17 Kelompok Ayat-Ayat Al Qur’an, p.28;KRH.Hadjid)
Saturday, 16 January 2016
PEMIKIRAN K.H AHMAD DAHLAN
PEMIKIRAN K.H AHMAD DAHLAN
A.
Latar Belakang
Ahmad Dahlan terlahir dengan nama Muhammad Darwisy
pada tahun 1868 dari kedua orang tuanya yaitu Kiai Haji Abubakar bin Kiai H
Sulaiman dan Nyai Abubakar. Kedua orang tua Ahmad Dahlan dikaruniai oleh tujuh
orang anak, lima perempuan dan dua laki-laki. Ahmad Dahlan sendiri adalah anak
lelaki pertama yang ketiga kakaknya adalah perempuan.
Dilihat dari silsilahnya, Muhammad Darwisy terlahir
dari keluarga yang mengerti agama. Muhammad Darwisy dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil yang
mengajarinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. Ia menunaikan ibadah haji
ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan
bahasa arab di Makkah selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan
pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh,
al-Afghani, Rasyid Ridha, dan ibn Taimiyah.
Pada usia 20
tahun (1888), ia kembali ke kampungnya, dan berganti nama Ahmad Dahlan.
Sepulangnya dari Makkah ini, iapun diangkat menjadi khatib amin di lingkungan
Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902-1904, ia menunaikan ibadah haji untuk
kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa
guru di Makkah.[1]
Setelah pulang dari Mekkah, kemudian Dahlan menikah
dengan Siti Walidah dan dikaruniai enam orang anak. Disamping itu, Dahlan juga
pernah pula beristrikan dengan Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik
Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari
perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang
bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman
Yogyakarta. [2]
Dahlan mengajar agama pada anak-anak di sekolah
negeri, misalnya Kweekschool di Jetis Yogya, sekolah Pamong Praja (OSVIA)
dimagelang dan lain-lain. Dia mengajarkan agama Islam kepada banyak orang, terutama
kepada calon-calon yang akan memegang jabatan penting dan berkedududkan tinggi.
Dengan mendidik para calon
pamongpraja tersebut diharapkan akan dengan segera memperluas gagasannya
tersebut, karena mereka akan menjadi orang yang mempunyai pengaruh luas di
tengah masyarakat. Demikian juga dengan mendidik para calon guru yang
diharapkan akan segera mempercepat proses transformasi ide tentang gerakan
dakwah Muhammadiyah, karena mereka akan mempunyai murid yang banyak. Oleh
karena itu, Dahlan juga mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal dengan
Madrasah Mu’allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu’allimat
(Kweekschool Istri Muhammadiyah). Sering juga dia berziarah atau singgah dalam menambah ukhuwah
serta mengekalkan silaturahmi kepada kiai-kiai dan ulama-ulama.
Untuk menambah pengalamannya dalam organisasi
pergerakan, Dahlan memasuki beberapa organisasi yaitu Boedi Oetomo Kring
Kauman, Syarikat Islam, Jam’iyah Khairiyah Jakarta, serta Anggota Panitia
Tentara Pembela Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w.[3]
Di organisasi tersebut beliau juga mengajarkan agama Islam bagi
anggota-anggotanya.
Dengan cita-citanya yang luhur dan didorong oleh
kawan-kawan seperjuangannya, Dahlan akhirnya mendirikan Muhammadiyah.
Persjarikatan Muhammadiyah didirikan pada tanggal 18 November bertepatan dengan
tanggal 8 Dzulhijah 1330 H. Dengan berdirinya Muhammadiyah ini membuat beliau
semakin bersemangat dalam menyebarkan agama Islam dimana-mana. Mulai
bermunculan cabang-cabang Muhammadiyah di daerah-daerah terutama di luar Pulau
Jawa. Kemudian Beliau mendirikan sekolah sekolah untuk pribumi. Hal ini
dilakukan untuk mengimbangi sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda.
Gagasan
pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan pertentangan,
baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan,
tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. Ia dituduh hendak mendirikan
agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena
sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain.
Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan
tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan
cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan
tersebut.
Pemerintah
Hindia Belanda khawatir akan perkembangan organisasi ini. Kegiatan Muhammadiyah
dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, dan Imogiri dan
lain-lain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan
dengan keinginan pemerintah Hindia
Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan mensiasatinya dengan
menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain.
Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di
Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah
Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan
dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama’ah dan perkumpulan
untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam.
Perkumpulan-perkumpulan dan Jama’ah-jama’ah ini mendapat bimbingan dari
Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya
Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub,
Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf bima kan,u wal-Fajri, Wal-Ashri,
Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.[4]
Hingga di
akhir hayatnya, beliau masih memperjuangkan Islam. Bahkan dalam keadaan sakit
pun beliau masih harus menempuh perjalanan jauh ke Batavia untuk menyampaikan
ajaran-ajaran Islam. Akhirnya beliau wafat pada hari Jumat malam Sabtu tanggal
7 Rajab tahun 1334 H.[5]
B.
Konsep Pemikiran Ahmad
Dahlan
1.
Pemikiran Ahmad Dahlan
Menurut Ramayulis dan Samsul
Nizar dalam buku Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan
Islam di Dunia Islam dan Indonesia, hampir seluruh pemikiran Dahlan berangkat
dari keprihatinannya terhadap situasi dan kondisi global umat Islam waktu itu
yang tenggelam dalam kejumudan (stagnasi), kebodohan, serta keterbelakangan. [6]
Kondisi ini sangat merugikan bangsa Indonesia. Latar belakang situasi dan
kondisi tersebut telah mengilhami munculnya ide pembaharuan Dahlan. Ide ini
sesungguhnya telah muncul sejak kunjungannya pertama ke Mekkah. Kemudian ide
itu lebih dimantapkan setelah kunjungannya yang kedua.
KH Ahmad Dahlan pergi ke Mekah dua kali, pertama
selama 8 bulan (setelah menikah dengan Siti Walidah binti Haji Fadhil), dan
yang kedua pada tahun 1903 dengan
anaknya, Muhammad Siraj Dahlan.
Yang kedua ini ia bermukim selama satu tahun. Sepulangnya ia dirikan asrama untuk mengajar,
murid-muridnya berdatangan dari Yogya maupun luar Yogya (antara lain
Pekalongan, Batang, Magelang, Semarang, Solo).
Ada perbedaan menarik mengenai cara mengajarnya,
ketika belum berangkat ke Mekah yang kedua, KH Ahmad Dahlan masih mengajarkan
kitab-kitab kalangan “ahlussunah wal jamaah” berupa kitab aqaid, fikih dalam
mahzab Syafi’i dan tasawuf dari Imam al-Ghazali. Namun, setelah berangkat yang kedua kali ke
Mekah, kitab-kitab yang dibaca adalah kitab-kitab berisi pembaharuan
keagamaan. Diantara kitab-kitab yang
sering dibaca antara lain; Risalat at-Tauhid (Muhammad Abduh), Tafsir Juz Amma
(sama), Dariat al Marif (Farid Wajdi), Al Tasawul wa al Wasilah (Ibnu
Taimiyyah), dll.[7]
Dapat dikatakan disinilah mulai munculnya pergeseran
pemikiran. Pergeseran ini memiliki
beberapa faktor-faktor penyebab tentunya, selain buku-buku yang dia bawa
tersebut.
Secara umum, ide-ide pembaharuan
Ahmad Dahlan menurut Ramayulis dan Samsul Nizar dapat diklasifikasikan kepada
dua dimensi, yaitu; Pertama, berupaya memurnikan (purifikasi) ajaran Islam dari
khurafat, tahayul, dan bid’ah yang selama ini telah bercampur dalam akidah dan
ibadah umat Islam. Kedua, mengajak umat Islam untuk keluar dari jaring
pemikiran tradisional melalui reinterpretasi terhadap doktrin Islam dalam
rumusan dan penjelasan yang dapat diterima oleh rasio.
Ide-ide pembaharuan tersebut
hanya dapat dilaksanakan melalui pendidikan. Menurut Ahmad Dahlan pendidikan
juga merupakan upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola
berpikir yang statis menuju pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan.[8]
Jadi berarti pola pemikiran
Ahmad Dahlan hampir sama dengan pola pemikiran Mohammad Abduh. Menurut Abduh bahwa revolusi dalam bidang
politik tidak akan ada artinya, sebelum ada perubahan mental secara
besar-besaran dan dilalui secara berangsur-angsur atau secara evolusi. Tegasnya
bagi Muhammad Abduh dalam rangka memperjuangakn terwujudnya ’izzul Isalam wal
muslimin di samping umat Islam harus berani merebut kekuasaan politik
kenegaraan, maka terlebih dahulu yang perlu dibenahi adalah memperberbaharui
sember-sumber para mujaddin dan ulama. Lewat sumber-sumber inilah akan lahir
kader-kader pembaharu yang akan menyebar ke seluruh dunia. Mengenai pelaksanaan
pendidikan ---menurut Dahlan-- hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh
yaitu Al-Qur an dan Sunnah.[9]
Landasan ini merupakan
kerangka filosofis bagi memrumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam,
baik secara vertikal (khaliq) maupun horizontal (makhluk).
Seperti yang diketahui,
semangat besar gerakan pemurnian Islam yang dibawa oleh tokoh-tokoh seperti
Wahabbi dan Abduh adalah kembali kepada kitab dan sunnah. Ahmad Dahlan terpengaruh banyak oleh
pemikiran mereka dan teman-temannya seperti Rasyid Ridha atau Ibnu Tamimiyah.
Bagi KH. Ahmad Dahlan, fokus
paling penting dalam pemikirannya adalah pendidikan. Maka itu Muhammadiyah pertamanya dirintis
dari sekolah yang ia dirikan, dan hingga kini banyak sekali sekolah
Muhammadiyah yang terdapat di Indonesia.
Untuk mewujudkan ide
pembaharuannya di bidang pendidikan, maka Dahlan merasa perlu mendirikan
lembaga pendidikan yang berorientasi pada pendidikan modern, yaitu dengan
menggunakan sistem klasikal. Apa yang dilakukannya merupakan sesuatu yang masih
cukup langka dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam pada waktu itu. Di sini,
ia menggabungkan sistem pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan tradisonal
secara integral.
Ada satu hal yang cocok untuk mencari sebab mengapa
KH. Ahmad dahlan tergelitik untuk melakukan pembaharuan pemikiran, dalam hal
ini dikaitkan dengan hal yg lebih spesifik, yakni masalah sosial. Menurut keterangan yg diperoloh dr
biografinya, KH Ahmad Dahlan sangat gemar membaca, termasuk majalah-majalah
berbahasa arab seperti majalah Al Manar dan Al Urwatul Wutsqa yg diperoleh dr
hasil selundupan dari pelabuhan Tuban, Jawa Timur.[10]
Dia tidak memiliki peribadi pemberontak dan cenderung
lurus-lurus saja semasa mudanya tapi dikenal sebagai pribadi yang cerdas dan
terampil. Dan mempertimbangkan usianya
yang baru 36 tahun, mungkin mempengaruhi pula pemikirannya yang masih mudah
menerima unsur-unsur baru. Pemikirannya
terpengaruh banyak oleh reformis Timur Tengah.
Malahan ada keterangan bahwa KH Ahmad Dahlan sempat bertemu langsung
pada Sayid Rasyid Ridha tatkala di Mekah dan sejak itu ia membaca karya2 Abduh,
Ridha, Ibnu, dll.[11] Jika KH Ahmad Dahlan tidak mengambil seluruh
substansinya, maka setidaknya ia telah mengambil spiritnya.
Mempertimbangkan keadaan di ambang awal abad 20 itu,
hampir semua kelompok agama berada dalam keadaan yang stagnan. Belum majubya pendidikan dan tekanan dari
pihak Belanda melatarbelakangi hal tersebut.
KH Ahmad Dahlan mengalami kegelisahan, yang cenderung tidak muncul
dikalnagan umat yang lain.
Disebut kegelisahan karena tindakannya yang mengarah
pada hal-hal sosial yang peduli umat dan tampak pula dalam renungannya tentang
kematian.
Setelah ditelusuri secara seksama, setidaknya terdapat
tiga faktor minor KH Ahmad Dahlan terinspirasi.
Ketiga faktor tersebut adalah; renungan tentang kematian sebagai
pendorong beramal saleh, beragama harus menyapa kehidupan, dan tauhid sebagai
semangat dalam menerjemahkan kehidupan.[12] KH Ahmad Dahlan merasakan dan menuliskan
renungan mengenai keadaan setelah mati dan kegelisahan serta kekhawatiran yang
ia rasakan.
Sedangkan untuk yang kedua, ia menuliskan pemikirannya
tentang peran agama dalam kehidupan.
Menurutnya agama seharusnya bukan hanya sekadar menjadi ritual tapi
benar-benar dipahami sebagai pegangan hidup.
“Agama
itu pada mulanya bercahaya berkilauan, akan tetapi semakin lama semakin suram.
Namun yang suram itu bukan agmanya melankan manusianya” KH Ahmad Dahlan[13]
Kutipan perkataan KH Ahmad Dahlan itu menunjukkan
agama dianggap suram karena tidak dipahami dengan baik. Ia memulai pemaknaan lebih kepada agama Islam
dalam keseharian, diantaranya dengan membaca tafsir. Ia tidak menyukai keadaan umat yang sering
melakukan pengajian yang hanya mengaji dalam bahasa arabnya, tanpa mengerti
artinya. Menurutnya, umat haruslah
mengerti arti dari Al Qur’an.
Dan yang terakhir, arti tauhid menurut KH Ahmad Dahlan
adalah persaudaraan berdasar ketunggalan akidah dan syariah dan persaudaraan
kemanusiaan.[14] Yang
pertama berarti memegang teguh akidah ketuhanan yang maha esa, tapi menjaga
ukhuwah islamiyah. Disini berarti
menghormati yang lain. Terdapat tataran
yang berbeda dalam syariah bukanlah suatu yang besar dan bermasalah dalam
kelompok-kelompok dalam umat. Selama
akidah ketuhanan tidak bisa lain, hanya menyembah Allah swt. Sedangkan untuk
arti dari persaudaraan kemanusiaan, lebih kepada nilai sosial, yang berarti
menunjukkan keinginan untuk menghadirkan kesejateraan bersama bagi umat.
C.
Anggaran
Dasar Muhammadiyah
Anggaran dasar dari Muhammadiyah
yang pertama kali dibuat terdiri dari 12 pasal. Pasal-pasal pada anggaran dasar
Muhammadiyah semula berbahasa Belanda, anggaran dasar ini pun telah mendapat
persetujuan dari Pemerintah Hindia Belanda pada masa itu. Berikut ini adalah
beberapa pasal anggaran dasar dari Muhammadiyah (Sumber: Kumpulan artikel yang
berjudul Muhammadiyah Digugat, karya
Nur Achmad & Pramono U. Tanthowi):
Pasal
1.
Perserikatan ini ditentukan untuk jangka waktu
29 tahun mulai 18 November 1912. Namanya adalah “Mohammadiah” dan tempat
kedudukan di Yogyakarta.
Pasal
2.
Persatuan ini bertujuan untuk: A.
Menyebarluaskan ajaran agama Muhammad di kalangan penduduk bumiputera di
Karesidenan Yogyakarta; B. Memajukan kehidupan beragama di antara para
anggotanya.
Pasal
3.
Perserikatan ini berusaha sungguh-sungguh untuk
mencapai tujuannya dengan: A. Mendirikan dan memelihara serta membantu lembaga
pendidikan di mana di samping mata pelajaran biasa juga diberikan asas-asas
ajaran agama Islam; B. Mengadakan pertemuan antara sesama agamanya dan orang
lain yang mau datang di mana dibicarakan mengenai agama Islam; C. Mendirikan
dan memelihara rumah-rumah suci; D. Menerbitkan dan membantu penerbitan
buku-buku, surat-surat, selebaran, brosur, dan koran yang berisi soal-soal
agama, kesusilaan dan akidah, sebagai alat untuk mencapai tujuannya, tetapi
tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan negara, keamanan, dan
ketertiban umum.
Pasal
4.
Anggota perserikatan terdiri atas anggota biasa,
kehormatan dan donatur. Anggota biasa hanya orang Islam di Karesidenan
Yogyakarta. Keanggotaan diperoleh dengan mengajukan permintaan kepada pengurus.
Seseorang kehilangan keanggotaannya dari perserikatan berdasarkan permintaannya
atau berdasarkan keputusan rapat umum anggota, menurut suara terbanyak. Anggota
kehormatan ditetapkan oleh rapat umum berdasar usul dari pengurus, berhubung
dia telah memberikan jasa yang istimewa kepada perserikatan. Donatur tidak
dibedakan agama atau bangsanya dan dapat diangkat kalau dia telah menyatakan
akan membantu perserikatan setiap tahun f 2,5 atau pemberian sekaligus
sekurang-kurangnya f 25.
Dari anggaran dasar diatas, dapat
dilihat mengenai kegiatan organisasi, tepatnya pada pasal 3. Konsentrasi
Muhammadiyah sangat jelas merujuk pada tujuan awal seorang K.H.Ahmad Dahlan
yang menginginkan melakukan perubahan terhadap tatanan Islam di Indonesia
dengan jalur pendidikan. Konsentrasi pendidikan ini yang salah satunya akan
menjadi faktor pendukung atas kebesaran Muhammadiyah.
Kemudian pada anggaran dasar pasal
4, mencerminkan toleransi serta pengakuan ke-prural-an beragama oleh
Muhammadiyah. Terdapat pada kalimat “Donatur
tidak dibedakan agama atau bangsanya dan dapat diangkat kalau dia telah
menyatakan akan membantu perserikatan setiap tahun f 2,5 atau pemberian
sekaligus sekurang-kurangnya f 25”, hal ini menandakan bahwa Muhammadiyah
sebagai organisasi Islam tidak serta-merta menutup diri terhadap bantuan
golongan atau umat agama selain Islam. Disinilah salah satu letak kemodernan
Muhammadiyah serta bentuk nyata dari penolakan pemikiran tradisionalis Islam
yang cenderung menutup diri atas interaksi dengan kaum atau golongan non-Islam.
D.
Muhammadiyah
dan Perkembangan Zaman
Muhammadiyah memiliki dasar
pemikiran organisasi yang berlandaskan Al-Qur’an dan Al-Hadist. Seperti
kebanyakan organisasi ke-Islaman yang lain, aspek-aspek inti ajaran Islam pada
Muhammadiyah adalah akidah, ibadah, akhlak dan mu’amalat dunyawiyyat (kemasyarakatan).[15]
Dalam menghadapi perkembangan
zaman, Muhammadiyah menyeimbangkan antara aspek-aspek inti diatas dengan
menggunakan akal pikiran (ijtihad) demi menjaga kemashlahatan perkembangan
Islam. Namun, penggunaan akal dalam mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan
aspek tersebut sebisa mungkin tetap pada jalur yang sekiranya tidak melenceng
terlampau jauh dari kaidah Islam.
Pada era 1990-an, Muhammadiyah
mengalami kehilangan jati dirinya sebagai organisasi pembaharu. Muhammadiyah
terlihat lesu, seolah-olah Muhammadiyah menjadi organisasi yang tradisionalis
bukan sebagai organisasi pembaharu. Ketika Nahdlatul Ulama (NU) memajukan diri
dengan memunculkan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Nusumma yang bekerjasama
dengan Summa Group, Muhammadiyah masih berkutat dengan persoalan-persoalan yang
lebih tradisionalis seperti bunga bank.[16]
Muhammadiyah menyadari
keberlangsungan modernisasi yang akan dihadapi umat Islam di Indonesia, yang
kemudian dibahas pada muktamar ke-42 di Yogyakarta pada tanggal 15-19 Desember
1990 dilakukan pembahasan mengenai modernisasi yang akan terus berlangsung di
Indonesia. Hal ini berkaitan dengan organisasi Muhammadiyah sebagai organisasi
yang membawa pembaharuan, sebagaimana wujud Muhammadiyah pada tahun-tahun awal
berdirinya.
Pendirian organisasi Muhammadiyah
sangat dipengaruhi oleh pembaharuan-pembaharuan Islam yang berada di Timur
Tengah seperti misalnya pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad Abduh.
Sebenarnya, inti daripada modernisme Islam yang paling mendasar terletak pada
bidang pendidikan. Apabila Muhammadiyah berkenan untuk melakukan modernisasi
Islam yang tidak melenceng dari Al-Qur’an dan Al-Hadist tentunya Muhammadiyah
harus mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang berlandaskan tata cara modern
Barat. Hal inilah yang kemudian memajukan image
Muhammadiyah sebagai organisasi pembaharuan, dengan mendirikan lembaga pendidikan
dengan sistem Barat. Namun, sangat disayangkan modernisasi yang dilakukan oleh
Muhammadiyah hanya berbatas kepada sesuatu yang praksis saja (seperti pendirian
sekolah, rumah sakit, dll), tidak berlanjut kepada hal-hal yang bersifat
ideologis, dengan kata lain pembaharuan yang dilakukan Muhammadiyah sedikit
melupakan penggunaan metode ijtihad yang menekankan pada akal kontekstual dan
rasional. Muhammadiyah yang berkembang pada era 80-90an “melupakan” reformasi
ijtihad, dan terlalu sibuk dengan masalah “rutinitas” organisasi.
Terhitung sejak tahun 1985 sampai
pada muktamar Muhammadiyah ke-42 1990, terdapat berbagai perbincangan mengenai
pembaharuan Muhammadiyah yang dinilai sudah tidak sesuai lagi untuk menjawab
tantangan zaman. Semangat organisasi pembaharu untuk melakukan pembaharuan
sangat kuat pada muktamar Muhammadiyah
ke-42. Setelah penyelenggaraan muktamar Muhammadiyah ke-42, terlihat
adanya perubahan dalam tubuh Muhammadiyah, seperti pergeseran figur-figur kepemimpinan
dari ulama dan wiraswasta menjadi figur guru dan birokrat atau pegawai negeri.[17]
Perubahan figur pada tubuh
Muhammadiyah ini tentunya merupakan salah satu jawaban Muhammadiyah terhadap
perkembangan zaman, para birokrat dan guru yang agamis ini digunakan sebagai
penjalin antara perkembangan dengan rasionalitas. Perkembangan yang digunakan
dua macam figur pemimpin ini tentunya diperlukan untuk keberlangsungan kekuatan
organisasi yang mau tidak mau nantinya akan berhadapan dengan rakyat dan
pemerintahan yang mengikuti perkembangan zaman, sehingga ke-“konservatifan”
Muhammadiyah dapat diatasi dari dalam dan dari luar organisasi.
Daftar Pustaka:
Achmad, Nur dan Pramono U.
Tanthowi, Muhammadiyah Digugat, Jakarta:
Penerbit Harian Kompas. 2000
Damami, Mohammad. Akar Gerakan Muhammadiyah. Yogyakarta: Penerbit
Fajar Pustaka Baru. 2000.
Salam, Junus. K.H Ahmad Dahlan: Amal dan Perjuangannya.
Banten: Al Wasat Publishing House. 2009
Suja, Kyai. Islam Berkemajuan:Kisah Perjuangan K.H Ahmad
Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal. Banten: Al Wasat. 2009
Suryanegara, Ahmad Mansur. Api Sejarah: Buku yang Akan Mengubah Drastis
Pndangan Anda tentang Sejarah Indonesia. Bandung: Salamadahi Pustaka Semesta.
2010
Syaifullah.Gerak politik Muhammadiyah dalam Masyumi. Jakarta:
1997
Tebba, Sudirman. Islam Orde Baru : perubahan politik dan keagamaan.
Yogyakarta:1993
------, Kyai Ahmad Dahlan. Didownload dari www.muhammadiyah.com pada hari selasa, 8 Maret pukul 19.00 WIB 2011
[1] ---, Kyai Ahmad Dahlan. Didownload
dari www.muhammadiyah.com pada hari selasa, 8 Maret pukul 19.00
[2] Junus Salam, K.H Ahmad Dahlan: Amal
dan Perjuangannya. (Banten: Al Wasat Publishing House) Hlm. 61
[4] Ahmad Mansur Suryanegara. Api
Sejarah: Buku yang Akan Mengubah Drastis Pndangan Anda tentang Sejarah
Indonesia. (Bandung: Salamadahi Pustaka Semesta) Halm. 440
[5] Kyai Suja. Islam Berkemajuan:Kisah
Perjuangan K.H Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal. (Banten: Al Wasat)
Halm. 190-191
[10] Op.cit, hal
83
[11] Ibid
[12] Ibid hal 86
[13] Ibid hal 90
[14] Ibid Hal 97
[15] Nur Achmad
& Pramono U. Tanthowi, Muhammadiyah
Digugat, (Jakarta: Penerbit Harian Kompas, 2000), hal. 9.
[16] Ibid. hal. 21.
[17] Ibid. hal. 69.
Subscribe to:
Posts (Atom)