PEMIKIRAN K.H AHMAD DAHLAN
A.
Latar Belakang
Ahmad Dahlan terlahir dengan nama Muhammad Darwisy
pada tahun 1868 dari kedua orang tuanya yaitu Kiai Haji Abubakar bin Kiai H
Sulaiman dan Nyai Abubakar. Kedua orang tua Ahmad Dahlan dikaruniai oleh tujuh
orang anak, lima perempuan dan dua laki-laki. Ahmad Dahlan sendiri adalah anak
lelaki pertama yang ketiga kakaknya adalah perempuan.
Dilihat dari silsilahnya, Muhammad Darwisy terlahir
dari keluarga yang mengerti agama. Muhammad Darwisy dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil yang
mengajarinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. Ia menunaikan ibadah haji
ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan
bahasa arab di Makkah selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan
pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh,
al-Afghani, Rasyid Ridha, dan ibn Taimiyah.
Pada usia 20
tahun (1888), ia kembali ke kampungnya, dan berganti nama Ahmad Dahlan.
Sepulangnya dari Makkah ini, iapun diangkat menjadi khatib amin di lingkungan
Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902-1904, ia menunaikan ibadah haji untuk
kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa
guru di Makkah.[1]
Setelah pulang dari Mekkah, kemudian Dahlan menikah
dengan Siti Walidah dan dikaruniai enam orang anak. Disamping itu, Dahlan juga
pernah pula beristrikan dengan Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik
Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari
perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang
bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman
Yogyakarta. [2]
Dahlan mengajar agama pada anak-anak di sekolah
negeri, misalnya Kweekschool di Jetis Yogya, sekolah Pamong Praja (OSVIA)
dimagelang dan lain-lain. Dia mengajarkan agama Islam kepada banyak orang, terutama
kepada calon-calon yang akan memegang jabatan penting dan berkedududkan tinggi.
Dengan mendidik para calon
pamongpraja tersebut diharapkan akan dengan segera memperluas gagasannya
tersebut, karena mereka akan menjadi orang yang mempunyai pengaruh luas di
tengah masyarakat. Demikian juga dengan mendidik para calon guru yang
diharapkan akan segera mempercepat proses transformasi ide tentang gerakan
dakwah Muhammadiyah, karena mereka akan mempunyai murid yang banyak. Oleh
karena itu, Dahlan juga mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal dengan
Madrasah Mu’allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu’allimat
(Kweekschool Istri Muhammadiyah). Sering juga dia berziarah atau singgah dalam menambah ukhuwah
serta mengekalkan silaturahmi kepada kiai-kiai dan ulama-ulama.
Untuk menambah pengalamannya dalam organisasi
pergerakan, Dahlan memasuki beberapa organisasi yaitu Boedi Oetomo Kring
Kauman, Syarikat Islam, Jam’iyah Khairiyah Jakarta, serta Anggota Panitia
Tentara Pembela Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w.[3]
Di organisasi tersebut beliau juga mengajarkan agama Islam bagi
anggota-anggotanya.
Dengan cita-citanya yang luhur dan didorong oleh
kawan-kawan seperjuangannya, Dahlan akhirnya mendirikan Muhammadiyah.
Persjarikatan Muhammadiyah didirikan pada tanggal 18 November bertepatan dengan
tanggal 8 Dzulhijah 1330 H. Dengan berdirinya Muhammadiyah ini membuat beliau
semakin bersemangat dalam menyebarkan agama Islam dimana-mana. Mulai
bermunculan cabang-cabang Muhammadiyah di daerah-daerah terutama di luar Pulau
Jawa. Kemudian Beliau mendirikan sekolah sekolah untuk pribumi. Hal ini
dilakukan untuk mengimbangi sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda.
Gagasan
pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan pertentangan,
baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan,
tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. Ia dituduh hendak mendirikan
agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena
sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain.
Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan
tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan
cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan
tersebut.
Pemerintah
Hindia Belanda khawatir akan perkembangan organisasi ini. Kegiatan Muhammadiyah
dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, dan Imogiri dan
lain-lain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan
dengan keinginan pemerintah Hindia
Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan mensiasatinya dengan
menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain.
Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di
Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah
Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan
dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama’ah dan perkumpulan
untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam.
Perkumpulan-perkumpulan dan Jama’ah-jama’ah ini mendapat bimbingan dari
Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya
Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub,
Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf bima kan,u wal-Fajri, Wal-Ashri,
Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.[4]
Hingga di
akhir hayatnya, beliau masih memperjuangkan Islam. Bahkan dalam keadaan sakit
pun beliau masih harus menempuh perjalanan jauh ke Batavia untuk menyampaikan
ajaran-ajaran Islam. Akhirnya beliau wafat pada hari Jumat malam Sabtu tanggal
7 Rajab tahun 1334 H.[5]
B.
Konsep Pemikiran Ahmad
Dahlan
1.
Pemikiran Ahmad Dahlan
Menurut Ramayulis dan Samsul
Nizar dalam buku Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan
Islam di Dunia Islam dan Indonesia, hampir seluruh pemikiran Dahlan berangkat
dari keprihatinannya terhadap situasi dan kondisi global umat Islam waktu itu
yang tenggelam dalam kejumudan (stagnasi), kebodohan, serta keterbelakangan. [6]
Kondisi ini sangat merugikan bangsa Indonesia. Latar belakang situasi dan
kondisi tersebut telah mengilhami munculnya ide pembaharuan Dahlan. Ide ini
sesungguhnya telah muncul sejak kunjungannya pertama ke Mekkah. Kemudian ide
itu lebih dimantapkan setelah kunjungannya yang kedua.
KH Ahmad Dahlan pergi ke Mekah dua kali, pertama
selama 8 bulan (setelah menikah dengan Siti Walidah binti Haji Fadhil), dan
yang kedua pada tahun 1903 dengan
anaknya, Muhammad Siraj Dahlan.
Yang kedua ini ia bermukim selama satu tahun. Sepulangnya ia dirikan asrama untuk mengajar,
murid-muridnya berdatangan dari Yogya maupun luar Yogya (antara lain
Pekalongan, Batang, Magelang, Semarang, Solo).
Ada perbedaan menarik mengenai cara mengajarnya,
ketika belum berangkat ke Mekah yang kedua, KH Ahmad Dahlan masih mengajarkan
kitab-kitab kalangan “ahlussunah wal jamaah” berupa kitab aqaid, fikih dalam
mahzab Syafi’i dan tasawuf dari Imam al-Ghazali. Namun, setelah berangkat yang kedua kali ke
Mekah, kitab-kitab yang dibaca adalah kitab-kitab berisi pembaharuan
keagamaan. Diantara kitab-kitab yang
sering dibaca antara lain; Risalat at-Tauhid (Muhammad Abduh), Tafsir Juz Amma
(sama), Dariat al Marif (Farid Wajdi), Al Tasawul wa al Wasilah (Ibnu
Taimiyyah), dll.[7]
Dapat dikatakan disinilah mulai munculnya pergeseran
pemikiran. Pergeseran ini memiliki
beberapa faktor-faktor penyebab tentunya, selain buku-buku yang dia bawa
tersebut.
Secara umum, ide-ide pembaharuan
Ahmad Dahlan menurut Ramayulis dan Samsul Nizar dapat diklasifikasikan kepada
dua dimensi, yaitu; Pertama, berupaya memurnikan (purifikasi) ajaran Islam dari
khurafat, tahayul, dan bid’ah yang selama ini telah bercampur dalam akidah dan
ibadah umat Islam. Kedua, mengajak umat Islam untuk keluar dari jaring
pemikiran tradisional melalui reinterpretasi terhadap doktrin Islam dalam
rumusan dan penjelasan yang dapat diterima oleh rasio.
Ide-ide pembaharuan tersebut
hanya dapat dilaksanakan melalui pendidikan. Menurut Ahmad Dahlan pendidikan
juga merupakan upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola
berpikir yang statis menuju pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan.[8]
Jadi berarti pola pemikiran
Ahmad Dahlan hampir sama dengan pola pemikiran Mohammad Abduh. Menurut Abduh bahwa revolusi dalam bidang
politik tidak akan ada artinya, sebelum ada perubahan mental secara
besar-besaran dan dilalui secara berangsur-angsur atau secara evolusi. Tegasnya
bagi Muhammad Abduh dalam rangka memperjuangakn terwujudnya ’izzul Isalam wal
muslimin di samping umat Islam harus berani merebut kekuasaan politik
kenegaraan, maka terlebih dahulu yang perlu dibenahi adalah memperberbaharui
sember-sumber para mujaddin dan ulama. Lewat sumber-sumber inilah akan lahir
kader-kader pembaharu yang akan menyebar ke seluruh dunia. Mengenai pelaksanaan
pendidikan ---menurut Dahlan-- hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh
yaitu Al-Qur an dan Sunnah.[9]
Landasan ini merupakan
kerangka filosofis bagi memrumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam,
baik secara vertikal (khaliq) maupun horizontal (makhluk).
Seperti yang diketahui,
semangat besar gerakan pemurnian Islam yang dibawa oleh tokoh-tokoh seperti
Wahabbi dan Abduh adalah kembali kepada kitab dan sunnah. Ahmad Dahlan terpengaruh banyak oleh
pemikiran mereka dan teman-temannya seperti Rasyid Ridha atau Ibnu Tamimiyah.
Bagi KH. Ahmad Dahlan, fokus
paling penting dalam pemikirannya adalah pendidikan. Maka itu Muhammadiyah pertamanya dirintis
dari sekolah yang ia dirikan, dan hingga kini banyak sekali sekolah
Muhammadiyah yang terdapat di Indonesia.
Untuk mewujudkan ide
pembaharuannya di bidang pendidikan, maka Dahlan merasa perlu mendirikan
lembaga pendidikan yang berorientasi pada pendidikan modern, yaitu dengan
menggunakan sistem klasikal. Apa yang dilakukannya merupakan sesuatu yang masih
cukup langka dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam pada waktu itu. Di sini,
ia menggabungkan sistem pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan tradisonal
secara integral.
Ada satu hal yang cocok untuk mencari sebab mengapa
KH. Ahmad dahlan tergelitik untuk melakukan pembaharuan pemikiran, dalam hal
ini dikaitkan dengan hal yg lebih spesifik, yakni masalah sosial. Menurut keterangan yg diperoloh dr
biografinya, KH Ahmad Dahlan sangat gemar membaca, termasuk majalah-majalah
berbahasa arab seperti majalah Al Manar dan Al Urwatul Wutsqa yg diperoleh dr
hasil selundupan dari pelabuhan Tuban, Jawa Timur.[10]
Dia tidak memiliki peribadi pemberontak dan cenderung
lurus-lurus saja semasa mudanya tapi dikenal sebagai pribadi yang cerdas dan
terampil. Dan mempertimbangkan usianya
yang baru 36 tahun, mungkin mempengaruhi pula pemikirannya yang masih mudah
menerima unsur-unsur baru. Pemikirannya
terpengaruh banyak oleh reformis Timur Tengah.
Malahan ada keterangan bahwa KH Ahmad Dahlan sempat bertemu langsung
pada Sayid Rasyid Ridha tatkala di Mekah dan sejak itu ia membaca karya2 Abduh,
Ridha, Ibnu, dll.[11] Jika KH Ahmad Dahlan tidak mengambil seluruh
substansinya, maka setidaknya ia telah mengambil spiritnya.
Mempertimbangkan keadaan di ambang awal abad 20 itu,
hampir semua kelompok agama berada dalam keadaan yang stagnan. Belum majubya pendidikan dan tekanan dari
pihak Belanda melatarbelakangi hal tersebut.
KH Ahmad Dahlan mengalami kegelisahan, yang cenderung tidak muncul
dikalnagan umat yang lain.
Disebut kegelisahan karena tindakannya yang mengarah
pada hal-hal sosial yang peduli umat dan tampak pula dalam renungannya tentang
kematian.
Setelah ditelusuri secara seksama, setidaknya terdapat
tiga faktor minor KH Ahmad Dahlan terinspirasi.
Ketiga faktor tersebut adalah; renungan tentang kematian sebagai
pendorong beramal saleh, beragama harus menyapa kehidupan, dan tauhid sebagai
semangat dalam menerjemahkan kehidupan.[12] KH Ahmad Dahlan merasakan dan menuliskan
renungan mengenai keadaan setelah mati dan kegelisahan serta kekhawatiran yang
ia rasakan.
Sedangkan untuk yang kedua, ia menuliskan pemikirannya
tentang peran agama dalam kehidupan.
Menurutnya agama seharusnya bukan hanya sekadar menjadi ritual tapi
benar-benar dipahami sebagai pegangan hidup.
“Agama
itu pada mulanya bercahaya berkilauan, akan tetapi semakin lama semakin suram.
Namun yang suram itu bukan agmanya melankan manusianya” KH Ahmad Dahlan[13]
Kutipan perkataan KH Ahmad Dahlan itu menunjukkan
agama dianggap suram karena tidak dipahami dengan baik. Ia memulai pemaknaan lebih kepada agama Islam
dalam keseharian, diantaranya dengan membaca tafsir. Ia tidak menyukai keadaan umat yang sering
melakukan pengajian yang hanya mengaji dalam bahasa arabnya, tanpa mengerti
artinya. Menurutnya, umat haruslah
mengerti arti dari Al Qur’an.
Dan yang terakhir, arti tauhid menurut KH Ahmad Dahlan
adalah persaudaraan berdasar ketunggalan akidah dan syariah dan persaudaraan
kemanusiaan.[14] Yang
pertama berarti memegang teguh akidah ketuhanan yang maha esa, tapi menjaga
ukhuwah islamiyah. Disini berarti
menghormati yang lain. Terdapat tataran
yang berbeda dalam syariah bukanlah suatu yang besar dan bermasalah dalam
kelompok-kelompok dalam umat. Selama
akidah ketuhanan tidak bisa lain, hanya menyembah Allah swt. Sedangkan untuk
arti dari persaudaraan kemanusiaan, lebih kepada nilai sosial, yang berarti
menunjukkan keinginan untuk menghadirkan kesejateraan bersama bagi umat.
C.
Anggaran
Dasar Muhammadiyah
Anggaran dasar dari Muhammadiyah
yang pertama kali dibuat terdiri dari 12 pasal. Pasal-pasal pada anggaran dasar
Muhammadiyah semula berbahasa Belanda, anggaran dasar ini pun telah mendapat
persetujuan dari Pemerintah Hindia Belanda pada masa itu. Berikut ini adalah
beberapa pasal anggaran dasar dari Muhammadiyah (Sumber: Kumpulan artikel yang
berjudul Muhammadiyah Digugat, karya
Nur Achmad & Pramono U. Tanthowi):
Pasal
1.
Perserikatan ini ditentukan untuk jangka waktu
29 tahun mulai 18 November 1912. Namanya adalah “Mohammadiah” dan tempat
kedudukan di Yogyakarta.
Pasal
2.
Persatuan ini bertujuan untuk: A.
Menyebarluaskan ajaran agama Muhammad di kalangan penduduk bumiputera di
Karesidenan Yogyakarta; B. Memajukan kehidupan beragama di antara para
anggotanya.
Pasal
3.
Perserikatan ini berusaha sungguh-sungguh untuk
mencapai tujuannya dengan: A. Mendirikan dan memelihara serta membantu lembaga
pendidikan di mana di samping mata pelajaran biasa juga diberikan asas-asas
ajaran agama Islam; B. Mengadakan pertemuan antara sesama agamanya dan orang
lain yang mau datang di mana dibicarakan mengenai agama Islam; C. Mendirikan
dan memelihara rumah-rumah suci; D. Menerbitkan dan membantu penerbitan
buku-buku, surat-surat, selebaran, brosur, dan koran yang berisi soal-soal
agama, kesusilaan dan akidah, sebagai alat untuk mencapai tujuannya, tetapi
tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan negara, keamanan, dan
ketertiban umum.
Pasal
4.
Anggota perserikatan terdiri atas anggota biasa,
kehormatan dan donatur. Anggota biasa hanya orang Islam di Karesidenan
Yogyakarta. Keanggotaan diperoleh dengan mengajukan permintaan kepada pengurus.
Seseorang kehilangan keanggotaannya dari perserikatan berdasarkan permintaannya
atau berdasarkan keputusan rapat umum anggota, menurut suara terbanyak. Anggota
kehormatan ditetapkan oleh rapat umum berdasar usul dari pengurus, berhubung
dia telah memberikan jasa yang istimewa kepada perserikatan. Donatur tidak
dibedakan agama atau bangsanya dan dapat diangkat kalau dia telah menyatakan
akan membantu perserikatan setiap tahun f 2,5 atau pemberian sekaligus
sekurang-kurangnya f 25.
Dari anggaran dasar diatas, dapat
dilihat mengenai kegiatan organisasi, tepatnya pada pasal 3. Konsentrasi
Muhammadiyah sangat jelas merujuk pada tujuan awal seorang K.H.Ahmad Dahlan
yang menginginkan melakukan perubahan terhadap tatanan Islam di Indonesia
dengan jalur pendidikan. Konsentrasi pendidikan ini yang salah satunya akan
menjadi faktor pendukung atas kebesaran Muhammadiyah.
Kemudian pada anggaran dasar pasal
4, mencerminkan toleransi serta pengakuan ke-prural-an beragama oleh
Muhammadiyah. Terdapat pada kalimat “Donatur
tidak dibedakan agama atau bangsanya dan dapat diangkat kalau dia telah
menyatakan akan membantu perserikatan setiap tahun f 2,5 atau pemberian
sekaligus sekurang-kurangnya f 25”, hal ini menandakan bahwa Muhammadiyah
sebagai organisasi Islam tidak serta-merta menutup diri terhadap bantuan
golongan atau umat agama selain Islam. Disinilah salah satu letak kemodernan
Muhammadiyah serta bentuk nyata dari penolakan pemikiran tradisionalis Islam
yang cenderung menutup diri atas interaksi dengan kaum atau golongan non-Islam.
D.
Muhammadiyah
dan Perkembangan Zaman
Muhammadiyah memiliki dasar
pemikiran organisasi yang berlandaskan Al-Qur’an dan Al-Hadist. Seperti
kebanyakan organisasi ke-Islaman yang lain, aspek-aspek inti ajaran Islam pada
Muhammadiyah adalah akidah, ibadah, akhlak dan mu’amalat dunyawiyyat (kemasyarakatan).[15]
Dalam menghadapi perkembangan
zaman, Muhammadiyah menyeimbangkan antara aspek-aspek inti diatas dengan
menggunakan akal pikiran (ijtihad) demi menjaga kemashlahatan perkembangan
Islam. Namun, penggunaan akal dalam mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan
aspek tersebut sebisa mungkin tetap pada jalur yang sekiranya tidak melenceng
terlampau jauh dari kaidah Islam.
Pada era 1990-an, Muhammadiyah
mengalami kehilangan jati dirinya sebagai organisasi pembaharu. Muhammadiyah
terlihat lesu, seolah-olah Muhammadiyah menjadi organisasi yang tradisionalis
bukan sebagai organisasi pembaharu. Ketika Nahdlatul Ulama (NU) memajukan diri
dengan memunculkan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Nusumma yang bekerjasama
dengan Summa Group, Muhammadiyah masih berkutat dengan persoalan-persoalan yang
lebih tradisionalis seperti bunga bank.[16]
Muhammadiyah menyadari
keberlangsungan modernisasi yang akan dihadapi umat Islam di Indonesia, yang
kemudian dibahas pada muktamar ke-42 di Yogyakarta pada tanggal 15-19 Desember
1990 dilakukan pembahasan mengenai modernisasi yang akan terus berlangsung di
Indonesia. Hal ini berkaitan dengan organisasi Muhammadiyah sebagai organisasi
yang membawa pembaharuan, sebagaimana wujud Muhammadiyah pada tahun-tahun awal
berdirinya.
Pendirian organisasi Muhammadiyah
sangat dipengaruhi oleh pembaharuan-pembaharuan Islam yang berada di Timur
Tengah seperti misalnya pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad Abduh.
Sebenarnya, inti daripada modernisme Islam yang paling mendasar terletak pada
bidang pendidikan. Apabila Muhammadiyah berkenan untuk melakukan modernisasi
Islam yang tidak melenceng dari Al-Qur’an dan Al-Hadist tentunya Muhammadiyah
harus mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang berlandaskan tata cara modern
Barat. Hal inilah yang kemudian memajukan image
Muhammadiyah sebagai organisasi pembaharuan, dengan mendirikan lembaga pendidikan
dengan sistem Barat. Namun, sangat disayangkan modernisasi yang dilakukan oleh
Muhammadiyah hanya berbatas kepada sesuatu yang praksis saja (seperti pendirian
sekolah, rumah sakit, dll), tidak berlanjut kepada hal-hal yang bersifat
ideologis, dengan kata lain pembaharuan yang dilakukan Muhammadiyah sedikit
melupakan penggunaan metode ijtihad yang menekankan pada akal kontekstual dan
rasional. Muhammadiyah yang berkembang pada era 80-90an “melupakan” reformasi
ijtihad, dan terlalu sibuk dengan masalah “rutinitas” organisasi.
Terhitung sejak tahun 1985 sampai
pada muktamar Muhammadiyah ke-42 1990, terdapat berbagai perbincangan mengenai
pembaharuan Muhammadiyah yang dinilai sudah tidak sesuai lagi untuk menjawab
tantangan zaman. Semangat organisasi pembaharu untuk melakukan pembaharuan
sangat kuat pada muktamar Muhammadiyah
ke-42. Setelah penyelenggaraan muktamar Muhammadiyah ke-42, terlihat
adanya perubahan dalam tubuh Muhammadiyah, seperti pergeseran figur-figur kepemimpinan
dari ulama dan wiraswasta menjadi figur guru dan birokrat atau pegawai negeri.[17]
Perubahan figur pada tubuh
Muhammadiyah ini tentunya merupakan salah satu jawaban Muhammadiyah terhadap
perkembangan zaman, para birokrat dan guru yang agamis ini digunakan sebagai
penjalin antara perkembangan dengan rasionalitas. Perkembangan yang digunakan
dua macam figur pemimpin ini tentunya diperlukan untuk keberlangsungan kekuatan
organisasi yang mau tidak mau nantinya akan berhadapan dengan rakyat dan
pemerintahan yang mengikuti perkembangan zaman, sehingga ke-“konservatifan”
Muhammadiyah dapat diatasi dari dalam dan dari luar organisasi.
Daftar Pustaka:
Achmad, Nur dan Pramono U.
Tanthowi, Muhammadiyah Digugat, Jakarta:
Penerbit Harian Kompas. 2000
Damami, Mohammad. Akar Gerakan Muhammadiyah. Yogyakarta: Penerbit
Fajar Pustaka Baru. 2000.
Salam, Junus. K.H Ahmad Dahlan: Amal dan Perjuangannya.
Banten: Al Wasat Publishing House. 2009
Suja, Kyai. Islam Berkemajuan:Kisah Perjuangan K.H Ahmad
Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal. Banten: Al Wasat. 2009
Suryanegara, Ahmad Mansur. Api Sejarah: Buku yang Akan Mengubah Drastis
Pndangan Anda tentang Sejarah Indonesia. Bandung: Salamadahi Pustaka Semesta.
2010
Syaifullah.Gerak politik Muhammadiyah dalam Masyumi. Jakarta:
1997
Tebba, Sudirman. Islam Orde Baru : perubahan politik dan keagamaan.
Yogyakarta:1993
------, Kyai Ahmad Dahlan. Didownload dari www.muhammadiyah.com pada hari selasa, 8 Maret pukul 19.00 WIB 2011
[1] ---, Kyai Ahmad Dahlan. Didownload
dari www.muhammadiyah.com pada hari selasa, 8 Maret pukul 19.00
[2] Junus Salam, K.H Ahmad Dahlan: Amal
dan Perjuangannya. (Banten: Al Wasat Publishing House) Hlm. 61
[4] Ahmad Mansur Suryanegara. Api
Sejarah: Buku yang Akan Mengubah Drastis Pndangan Anda tentang Sejarah
Indonesia. (Bandung: Salamadahi Pustaka Semesta) Halm. 440
[5] Kyai Suja. Islam Berkemajuan:Kisah
Perjuangan K.H Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal. (Banten: Al Wasat)
Halm. 190-191
[10] Op.cit, hal
83
[11] Ibid
[12] Ibid hal 86
[13] Ibid hal 90
[14] Ibid Hal 97
[15] Nur Achmad
& Pramono U. Tanthowi, Muhammadiyah
Digugat, (Jakarta: Penerbit Harian Kompas, 2000), hal. 9.
[16] Ibid. hal. 21.
[17] Ibid. hal. 69.
No comments:
Post a Comment