Muhammadiyah Boarding School Bumiayu

Pondok Pesantren Modern Muhammadiyah Boarding School (MBS) Bumiayu Menerima Santri Baru Tahun Pelajaran 2016/2017

Thursday, 6 June 2013

TITIK LEMAH PERKADERAN PERSYARIKATAN MUHAMMADIYAH

 

Titik Lemah Perkaderan Persyarikatan Muhammadiyah

Oleh : Tarqum Aziz

Pengantar

Muhammadiyah telah memasuki usianya yang ke seratus satu. Selama itu,  Muhammadiyah telah mematerikan namanya sebagai gerakan Islam modernis yang dikenal luas, baik pada tingkat nasional mapun global, tak kenal lelah dalam berkhidmat menjalankan misi dakwah dan tajdid untuk kemajuan umat, bangsa dan kemanusiaan. Kita boleh bergembira dan sudah sepantasnya kita bersyukur ke hadirat Allah atas karunia dan nikmatNya, karena dengan usia itu, Persyarikatan Muhammadiyah telah berhasil menabur amal salih di berbagai bidang kehidupan, baik itu dalam hal dakwah Islam, sosial, kesehatan, pendidikan, ekonomi, maupun kebudayaan.

Hal di atas ini sering membuat orang (luar) menganggap Persyarikatan Muhammadiyah bagaikan bangunan yang kokoh kuat; tak lapuk kena hujan tak lekang kena panas. Muhammadiyah sendiri menapaki abad keduanya dengan optimisme dan percaya diri: melintasi zaman, dakwah dan tajdid menuju peradaban utama. Tak ada yang salah dengan optimisme tersebut, namun semua itu tidak boleh membuat warga Persyarikatan, terutama kader dan pimpinannya menjadi lupa diri, terbuai kekuatan yang dimiliki, melupakan kelemahan yang ada dan ancaman yang mengintai setiap saat.

Di tengah perkembangan yang menjajikan di bidang organisasi dan amal usahanya,  ternyata Muhammadiyah tak dapat mengimbanginya dengan pasokan jumlah dan mutu kader yang dihasilkannya. Penanganan amal usaha yang menuntut keahlian profesional dan pragmatisme gerakan, sering menggiring Muhammadiyah untuk menengok kepada ”tenaga profesional” dan mengesampingkan kader-kader yang dihasilkan oleh sistemnya sendiri. Disamping itu budaya global yang membawa virus materialisme, hedonisme dan pragmatisme telah menggerus nilai keihlasan sehingga mengubah perilaku warga Muhammadiyah yang pada gilirannya bermuara pada konflik  internal berkepanjangan yang amat melelahkan.

Banyak pemikiran, kaya ide dan suka beramal itulah Muhammadiyah. Tetapi menurut hemat kami, sekarang ini Muhammadiyah miskin dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang akan mengartikulasikan pemikiran dan gagasan tadi. Bagaimana jadinya bila sebuah cita-cita yang sarat dengan nilai dan ide diartikulasikan oleh orang yang tidak memahaminya? Maka menjadi tidak mengherankan manakala didapati praktek- amaliah ”warga” Muhammadiyah yang jauh dari ruh dakwah dan tajdid. Disinilah pentingnya peran kader yang diharapkan dapat berfungsi menjaga eksistensi organisasi, menjaga kemurnian ide dan berusaha menghindarkan Muhammadiyah dari distorsi ideologi dan jebakan pragmatisme. Dengan kata lain kader Muhammadiyah bukanlah cuma sebatas calon pemimpin. Kader adalah tulang punggung organisasi, pewaris keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah sebagai pelopor, pelangsung dan penyempurna amal usahanya di tengah-tengah arus perubahan zaman.

Optimisme vs Pesimisme

Dalam melihat Muhammadiyah setidaknya ada dua sudut pandang yang dapat dikedepankan. Pertama, melihat Muhammmadiyah dalam perspektif organisasi. Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang khas dengan kepribadian, kerangka ideologis, dan pedoman-pedoman organisasi sebagai landasan gerak. Kedua, melihat Muhammadiyah sebagai cara berpikir atau state of mind. Keterikatan seseorang terhadap Muhammadiyah diukur dari seberapa jauh cara berpikir seorang tersebut relatif sejalan dengan alam pemikiran Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, baik akidah, ibadah dan muamalahnya. Kedua sudut pandang ini tidak boleh diinterpretasikan secara sempit, kaku, apriori bahkan dikotomis. Namun dengan memadukan ke dua cara pandang ini, yakni melihat Muhammadiyah sebagi organisasi sekaligus sebagai alam pemikiran, memungkinkan kita dapat melihat, menyikapi dan memperlakukan Muhammadiyah secara tepat dengan mengedepankan kuwajiban dirinya apakah ia sebagai kader, pemimpin organisasi ataukah sebagai simpatisan. Dengan panduan dan perpaduan ke dua cara pandang ini juga kita dapat memilah ”warga ” Muhammadiyah menjadi kader, pemimpin organisasi dan simpatisan dengan kriteria daya dukung dan loyalitasnya pada Persyarikatan.

Sebagai sebuah gerakan Islam yang sudah berusia satu abad tentu Muhammadiyah mengandung potensi-potensi dinamis yang merupakan daya dorong untuk maju kedepan mengarungi ombak tantangan zaman dan peradaban, namun diakui didalamnya juga mulai mengidap berbagai ”penyakit” yang berpotensi menggerogoti keperkasaannya. Hal ini kalau tidak diwaspadai dapat melemahkan atau bahkan dapat membunuhnya. Bagi yang optimistik, percaya pada masa depan Muhammadiyah, maka mereka percaya akan reputasi Muhammadiyah dengan menyodorkan fakta-fakta bagaimana perkembangan kuantitatif Persyarikatan. Pertumbuhan pesat jumlah Cabang dan Ranting, pertambahan amal usaha yang bermunculan setiap saat terutama bidang kesehatan (meskipun ada pula yang redup dan mati), serta mulai berkembangnya AUM di bidang ekonomi-perbankan. Semua itu pastilah  merupakan aset sumber daya yang sangat berharga bagi Persyarikatan.

Kepercayaan masyarakat yang merupakan modal sosial dan modal moral muncul dalam bentuk wakaf tanah untuk masjid, rumah sakit, sekolah. Kepercayaan ini pada dasarnya adalah muara dari simpati masyarakat karena sifat moderasi Muhammadiyah dan ketinggian ahlak kadernya sehingga menyebabkan mereka tertarik masuk menjadi warga Muhammadiyah dan berjuang di dalamnya. Di samping itu juga banyak kalangan berharap dengan statemen optimistik bahwa Muhammadiyah dapat mengatasi masalah kemerosotan moral masyarakat. Bagi yang bersikap pesimistik maka mereka melihat Muhammadiyah sudah tidak punya harapan kedepan karena kronisnya kelemahan-kelemahan yang diidapnya. Mereka menyodorkan fakta bahwa sebagai organisasi, Muhammadiyah telah berubah menjadi birokratis, lamban dalam merespon perkembangan dan dinamika masyarakat, konservatif dalam pemikiran dan kehilangan elan vitalnya sebagai organisasi tajdid. Banyak warga bahkan ”kader” Muhammadiyah yang lari akibat kekecewaan mereka terhadap Muhammadiyah, merasa terdholimi ketika bergumul di dalamnya. Tidak kurang pula jumlahnya mereka yang berada dalam Muhammadiyah kurang merasa nyaman karena suasana spiritual yang dianggap gersang. Iklim organisasi yang kering akibat dominasi ”fikir” dan ”perbuatan” dalam gerakan Muhammadiyah dianggap tidak memberi suasana keteduhan jiwa dalam olah spiritual. Di samping itu juga ada kader-kader Muhammadiyah tidak nyaman di Muhammadiyah karena menganggap Muhammadiyah terlalu liberal, ataupun kurang radikal sehingga mereka bergabung atau mendirikan organisasi lain yang dapat menyalurkan selera dakwahnya.

What next ?

Dengan mencermati kecenderungan tersebut, maka tidak berlebihan bila kita nyatakan bahwa titik lemah yang ada dalam Muhammadiyah terletak pada sistem perkaderannya. Hal ini dapat kita lihat berdasarkan tolok ukur dari kinerja sistem perkaderan yang ada dalam Muhammmadiyah:

PENGAJIAN

Tolok ukur pertama dalam melihat perkaderan di Muhammadiyah adalah subur atau gersangnya pengajian-pengajian Muhammadiyah. Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah secara embrional berasal dari pengajian Fathul Asrar Miftahus Sa’adah yang dipimpin sendiri oleh K.H. Ahmad Dahlan. Dalam perkembangannya kemudian banyak kelompok pengajian yang bergabung dalam Persyarikatan Muhammmadiyah seperti Ihwanul Muslimin, Ta’awanu ’alal Birri, Priyo Utomo dan Hayatul Qulub di Yogyakarta, Siddiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) di Solo, Jami’atul Rahmah di Kisaran, Muhibbul Islam di Bengkulu, Nurul Islam di Pekalongan dan sebagainya. Dengan melihat sejarah perkembangan itu, wajarlah kalau tolok ukur yang kita pakai untuk melihat keberhasilan sistem perkaderan dalam Muhammadiyah adalah kesuburan pengajiannnya. Jika pengajian-pengajian tumbuh subur ngrembaka di Ranting dan Cabang serta Amal Usaha Muhammadiyah (AUM), kita boleh bernafas lega. Akan tetapi bila yang terjadi sebaliknya, kita harus prihatin dan gelisah. Di samping itu, terkait erat dengan pengajian tersebut adalah menyangkut mubaligh Muhammadiyah. Apakah jumlah dan kualitas mereka bertambah? Apakah mereka mengadakan kajian rutin keagamaan atau munadharah yang akan membekali mereka dalam bertabligh? Apakah Persyarikatan memiliki cukup perpustakaan tempat para mubaligh Muhamadiyah dapat menambah wawasannya? Apakah Muhammadiyah menyediakan hotspot area untuk mengakses berbagai informasi mutakhir bagi para mubalighnya?

Melihat pengajian dan tabligh Muhammadiyah sekarang ini, kita sadar bahwa era informasi dengan perkembangan teknologinya telah mengubah banyak hal yang menyangkut modus tabligh dan pilihan media. Muhammadiyah tengah berhadapan dengan raksasa  media massa yang mengusung nilai-nilai yang sering berlawanan dengan nilai-nilai Islam. Di media cetak kita tidak punya penerbit yang berwibawa untuk menerbitkan buku-buku Islam dalam paradigma Muhammadiyah. Kita memang tak pernah serius menggarap lahan ini, sehingga kita menjadi konsumen yang tak bisa memilih buku ataupun terbitan yang ada. Bahkan kita kalah dengan para ”mubaligh” pendatang baru dengan buku, majalah ataupun koran yang dapat diramu menurut pilihan strategi dakwahnya. Belum lagi menyangkut penguasaan media elektronik seperti radio, TV ataupun internet. Sebagai organisasi dakwah modern dengan cap ”pembaharu” maka penguasaan media massa atau paling tidak memanfaatkan teknologi informasi untuk kegiatan tabligh merupakan keniscayaan yang harus kita upayakan. Jika kuantitas Mubaligh yang berwibawa menurun, profesionalismenya tidak meningkat serta piliham modus dan media pengajian Muhammadiyah sama dengan situasi 50 tahun yang lalu, sesungguhnya lampu merah, setidak-tidaknya lampu kuning telah menyala bagi Muhammadiyah.

PELATIHAN

Tolok ukur kedua adalah pelatihan. Berbeda dengan pengajian yang sifatnya elastis dan luwes, pelatihan di Muhammadiyah memang telah memiliki pedoman baku yang berisi kurikulum, silabi dan materi. Disamping itu pedoman perkaderan dirancang berjenjang – berkelanjutan. Yang belum jelas benar ialah kepada siapa sebuah pelatihan seperti Darul Arqam diberlakukan dan diperuntukkan. Sosialisasi yang kurang, ketidakpedulian pimpinan Persyarikatan di berbagai level, tiadanya instruktur sebagai operator perkaderan dan ketiadaan dana menimbulkan kesan bahwa perkaderan yang ada selama ini ya suka-suka. Artinya Darul Arqam tidak mengikat kepada siapapun dan lembaga apapun di Muhammadiyah ini. Ke depan, ketidakjelasan seperti ini harus diakhiri. Darul Arqam tidak lagi bersifat optional tetapi bersifat compulsory, wajib diikuti oleh Pimpinan Persyarikatan dan AUM setiap pergantian periode. Kemudian setiap semester atau tahun diselenggarakan refreshing Pimpinan agar spirit bermuhammadiyah tetap segar dan terjaga. Ada baiknya ditekankan kepada setiap AUM untuk mengalokasikan anggaran untuk pelatihan dalam menyusun APB-AUM tahunan. Dengan demikian tidak ada lagi alasan (yang dicari-cari) untuk tidak melaksanakan pelatihan seperti Darul Arqam, Baitul Arqam ataupun bentuk-bentuk pelatihan Fungsional yang lain.

KADERISASI ORTOM

Tolok ukur ketiga, ialah kaderisasi lewat Ortom. Perkaderan di Ortom Muhammadiyah dapat dikatakan berjalan relatif efektif walaupun seringkali terkendala dana. Meskipun perkaderan antar Ortom, dan Ortom dengan Persyarikatan belum sonkron dan sinergis, pasokan kader Ortom ke Persyarikatan cukup besar sehingga sedikit melegakan. Banyak pimpinan Persyarikatan yang berasal dari IPM, IMM, NA dan Pemuda Muhammadiyah. Namun banyak pula mantan aktivis Ortom yang tidak terlibat dalam Muhammadiyah. Banyaknya kader muda yang berasal dari Ortom dan tidak masuk dalam struktur Muhammadiyah disebabkan oleh banyak hal. Diantaranya adalah pandangan bahwa perkaderan dalam tubuh AMM lebih merupakan fungsi dan tugas pokoknya. Atau dengan kata lain merupakan kuajiban institusional bagi AMM untuk mendidik dan mengembangkan diri dari pada hak untuk mendapatkan porsi dalam Persyarikatan. Padahal perkaderan dalam Ortom ini ini memiliki keunggulan dalam hal ideologi dan beragamnya potensi profesionalismenya dilihat dari latar belakang pendidikannya. Hal ini sebetulnya dapat dimanfaatkan untuk mengisi kekuarangan kader di AUM dan Majelis-majelis di Persyartikatan. Karena tidak dapat masuk struktur Persyarikatan, mereka aktif di organisasi, pergerakan atau korporasi lain yang dapat menyalurkan potensi atau menggajinya lebih tinggi di banding dengan Muhammmadiyah. Banyak kalangan menyayangkan kasus semacam ini karena Persyarikatan kehilangan kader potensial.

SEKOLAH KADER

Tolok ukur ke empat adalah keberhasilan kaderisasi yang berasal dari sekolah kader yang dimilikinya. Di level Sekolah Menengah. Muallimin Muhammadiyah Yogya masih menjadi tumpuan di samping Pondok Pesantren Garut dan lainnya. Sedangkan di tingkat Perguruan Tinggi ada PUTM di Yogya, Pondok Nuriyah Shobron di Surakarta dan lain-lain. Sekolah Kader Muhammadiyah pada umumnya berkutat pada ”ilmu agama” sehingga tidak akan memproduksi ahli bidang lain seperti teknik, kedokteran, fisika, farmasi atau ekonomi. Namun perkaderan ini sangat berguna untuk memasok kelangkaan ulama yang sering disebut-sebut dalam Muhammadiyah. Kenyataan di lapangan sekolah-sekolah kader ini semakin berkurang peminatnya karena didera masalah manajemen dan harapan masa depan dalam memperoleh pekerjaan.

PERKADERAN di AUM

Tolok ukur ke lima menyangkut perkaderan di Amal Usaha Muhammadiyah. Telah menjadi rahasia umum bahwa karena potensi ekonominya maka karyawan-karyawan di amal usaha lebih beragam ideologinya dibanding fungsionaris pada struktur Persyarikatan. Kita bisa menemukan karyawan yang hanya sekedar mencari nafkah, abangan, sekular, liberalis sampai radikal fundamentalis. Bila dilacak lebih lanjut persoalan ini berasal dari proses rekrutmen awal yang didasarkan pada kepentingan sesaat dan pragmatisme semata. Dalam perkembangan berikutnya ada amal usaha Muhammadiyah namun dikuasai oleh orang-orang non Muhammmadiyah sehingga menjadi benih konflik dengan kader-kader Muhammadiyah yang dibesarkan oleh Persyarikatan sejak awal. Bagaimanapun menjadi kuwajiban Muhammadiyah untuk dapat ”menguasai” kembali amal usaha tersebut dan menjadikannnya sebagai lahan dan media dakwah bagi Persyarikatan. Perkaderan di amal usaha semacam ini memang membutuhkan penanganan yang lebih cerdas, tidak cukup dengan melaksanakan sistem perkaderan yang ada, meliputi Perkaderan Utama (Darul Arqam dan Baitul Arqam) maupun perkaderan Fungsional. Pelaksanaan perkaderan yang lebih bersifat compulsory dan syarat-syarat yang lebih ketat berkenaan dengan rekrutmen Pimpinan adalah opsi yang barangkali patut diperhatikan Namun hal semacam itu mungkin tidak dapat dilaksanakan pada amal usaha yang masih lemah dan berskala kecil karena keketatan semacam itu justru akan membunuh amal usaha tersebut.

Selain hal-hal di atas, perlu memperoleh catatan khusus ialah perkaderan di Amal Usaha Muhammadiyah seperti sekolah, panti asuhan, rumah sakit, dan lainnya. Dari sektor ini kita tidak bisa berharap banyak meskipun ada satu-dua yang kemudian menjadi simpatisan dan aktivis Muhammadiyah. Sekolah Muhammadiyah agaknya memang tidak dimaksudkan sebagai lembaga pendidikan kader. Hal itu dapat dilihat dari kenyataan bahwa banyak alumni sekolah masih saja berediologi bawaan setelah  bersekolah atau kuliah di Perguruan Muhammadiyah selama bertahun-tahun. Demikian juga mereka yang Kristen, Katolik atau Budha tetap memeluk agama mereka. Persoalan menjadi semakin pelik, membingungkan ketika ada seorang ”tokoh” Muhammadiyah berteriak dengan bangga ”Dakwah Muhammadiyah lewat sekolahan memang tidak untuk mengislamkan siswanya apalagi memuhammadiyahkan mereka”. Berbagai tanggapan muncul dan orang kemudian bertanya, benarkah pernyataan tadi atau hanya sebuah retorika untuk menutupi sebuah ketidakberdayaan karena sesungguhnya yang namanya dakwah Islam pastilah sebuah kesengajaan untuk mengajak orang kepada Islam tanpa paksaan atau kekerasan.

TRANSFORMASI KADER

Transformasi kader merupakan masalah yang sering menimbulkan ketegangan akibat rekrutmen yang dilakukakan tidak sesuai dengan slogan bahwa Angkatan Muda Muhammadiyah adalah pelopor, pelangsung dan penyempurna amal usaha Muhammadiyah. Hal ini disebabkan kader merasa sebagai pewaris Muhammadiyah, dilain pihak pimpinan Persyarikatan sering mengabaikan mereka atau bahkan menoleh pada personal lain karena pertimbangan pragmatis sesaat. Untuk itu barangkali dibutuhkan semacam lembaga atau menambahkan tugas pada Majlis Pendidikan Kader untuk berfungsi dalam pelaksanaan prinsip multi entry kader yang berupa inventarisasi kader, talent scouting dan penyaluran kader pada tempat yang sesuai di Persyarikatan. Di samping itu kebutuhan kader beragam-bidang di Muhammadiyah barangkali bisa diatasi dengan memberikan (mencarikan) beasiswa untuk studi lanjut bagi kader-kadernya yang berprestasi. Akan lebih afdhal lagi bila Muhammadiyah berani memasang target. Misal Muhammadiyah akan memberikan beasiswa S-2 sebanyak 500 orang dan S-3 sebanyak 200 orang setiap tahunnya. Target itu perlu untuk menunjukkan kesungguhan dan sekaligus menunjukkan sebuah perencanaan sehingga lebih mudah mengevaluasinya.

Khotimah

Dari paparan di atas cukup jelas sudah persoalan yang dihadapi Muhammadiyah ke depan. Jika Muhammadiyah menginginkan kader penerus cita-cita dan perjuangannya willy-nilly harus dimulai dengan menyemai, menanam, memupuk, menyirami sebelum memetik hasilnya. Abai akan pentingnya kaderisasi dapat membuat kapal besar Muhammadiyah ini berlayar seolah tanpa tujuan, terombang-ambing di tengah samodra dengan penumpang yang tidak jelas pula karena tanpa identitas. Perilaku mereka aneh-aneh karena mereka tidak memahami Muhammadiyah dan tidak merasa tidak ada ikatan apapun dengannya.
Walllahu a’lam bish shawab

KEPRIBADIAN MUHAMMADIAYAH

Kepribadian Muhammadiyah

Oleh : Tarqum Aziz

A. Latar Belakang
 
            Muhammadiyah adalah persyarikatan yang merupakan Gerakan Islam. Maksud gerakanya ialah Dakwah Islam dan Amar Ma’ruf nahi Munkar yang ditujukan kepada dua bidang yaitu perseorangan dan masyarakat. Dakwah dan Amar Ma’ruf nahi Munkar pada bidang pertama terbagi kepada dua golongan. Pertama, kepada yang telah Islam bersifat pembaharuan (tajdid), yaitu mengembalikan kepada ajaran Islam yang asli dan murni; dan yang kedua kepada yang belum Islam, bersifat seruan dan ajakan untuk memeluk agama Islam.
            Adapun da’wah Islam dan Amar Ma’ruf nahi Munkar bidang kedua, ialah kepada masyarakat, bersifat kebaikan dan bimbingan serta peringatan. Kesemuanya itu dilaksanakan dengan dasar taqwa dan mengharap keridlaan Allah semata-mata.
            Dengan melaksanakan dakwah Islam dan amar ma’ruf nahi munkar dengan caranya masing-masing yang sesuai, Muhammadiyah menggerakkan masyarakat menuju tujuannya, ialah “Terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”.
B. Rumusan Masalah
            1. Seberapa pentingkah kepribadian islami itu ?
            2. Apa saja sifat – sifat dasar muhammadiyah itu ?
            3. Mengapa kita harus memahami konsep kepribadian muhammadiyah ?
C. Tujuan
            1. Mengerti betapa pentingnya berkpribadian muhammadiyah.
            2. Menjadi acuan atau pedoman untuk menjadi lebih baik kedepannya.
            3. Menjadi manusia yang lebih baik di berbagai aspek kehidupan.
A. Sejarah Dirumuskannya Kepribadian Muhammadiyah
 
          “Kepribadian Muhammadiyah” ini timbul pada waktu Muhammadiyah dipimpin oleh Bapak Kolonel H.M. Yunus Anis, ialah pada periode 1959-1962.
 
          “Kepribadian Muhammadiyah” ini semula berasal dari uraian Bapak H. Faqih Usman, sewaktu beliau memberikan uraian dalam suatu latihan yang diadakan Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Pada saat itu almarhum KH. Faqih Usman menjelaskan bahasan yang berjudul: “Apa sih Muhammadiyah itu?”
 
          Kemudian oleh Pimpinan Pusat dimusyawarahkan bersama-sama Pimpinan Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur (HM. Saleh Ibrahim), Jawa Tengah (R. Darsono), dan Jawa Barat (H. Adang Afandi). Sesudah itu disempurnakan oleh suatu Tim yang antara lain, terdiri dari: KH. Moh.Wardan, Prof. KH. Farid Ma’ruf, M. Djarnawi Hadikusuma, M. Djindar Tamimy; kemudian turut membahas pula Prof.H. Kasman Singodimejo SH. di samping pembawa prakarsa sendiri KH. Faqih Usman.
 
          Setelah urusan itu sudah agak sempurna, maka diketengahkan dalam Sidang Tanwir menjelang Muktamar ke 35 di Jakarta (Muktamar Setengah Abad). Dan di Muktamar ke-35 itulah “Kepribadian Muhammadiyah” disahkan setelah mengalami usul-usul penyempurnaan. Dengan demikian maka rumusan “Kepribadian Muhammadiyah” ini adalah merupakan hasil yang telah disempurnakan dalam Muktamar ke-35 setengah abad -pada tahun 1962, akhir periode pimpinan HM. Yunus Anis.
B. Kepribadian Muhammadiyah
 
            Sesungguhnya kepribadian Muhammadiyah itu merupakan ungkapan dari kepribadian yang memang sudah ada pada Muhammadiyah sejak lama berdiri. KH. Faqih Usman pada saat itu hanyalah mengkonstantir -meng-idhar-kan apa yang telah ada; jadi bukan merupakan hal-hal yang baru dalam Muhammadiyah. Adapun mereka yang menganggap bahwa Kepribadian Muhammadiyah sebagai perkara yang baru, hanyalah karena mereka mendapati Muhammmadiyah sudah tidak dalam keadaan yang sebenarnya.
 
          K.H. Faqih Usman sebagai seorang yang telah sejak lama berkecimpung dalam Muhammadiyah, sudah benar-benar memahami apa sesungguhnya sifat-sifat khusus (ciri-ciri khas) Muhammadiyah itu. Karena itu kepada mereka yang berlaku tidak sewajarnya dalam Muhammadiyah, beliaupun dapat memahami dengan jelas.
 
          Yang benar-benar dirasakan oleh almarhum ialah bahwa Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, berdasar Islam, menuju terwujudnya masayarakat utama, adil dan makmur yang diridhai Allah Subhanahu wata’ala, bukan dengan jalan politik, bukan dengan jalan ketatanegaraan, melainkan dengan melalui pembentukan masyarakat, tanpa memperdilikan bagamana struktur politik yang manguasainya; sejak zaman Belanda, zaman militerisme Jepang, dan samapai zaman kemerdekaan Republik Indonesia.
 
            Muhammadiyah tidak buta politik, tidak takut politik, tetapi Muhammadiyah bukan organisasi politik. Muhammadiyah tidak mencampuri soal-soal politik , tetapi apabila soal-soal politik masuk dalam Muhammadiyah, ataupun soal-soal politik mendesak-desak urusan Agama Islam, maka Muhammadiyah akan bertindak menurut kemampuan, cara dan irama Muhammadiyah sendiri.
 
          Sejak partai politik Islam Masyumi dibubarkan oleh presiden Sukarno, maka warga Muhammadiyah yang selama ini berjuang dalam medan politik praktis, mereka masuk kembali dalam Muhammadiyah. Namun karena sudah terbiasa dengan perjuangan cara politik, maka dalam mereka berjuang dana beramal dalam Muhammadiyah pun masih membawa cara dana nada politik cara partai.
 
          Oleh almarhum K.H. Faqih Usman dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada saat itu, cara-cara demikian dirasakan sebagai cara yang dapat merusak nada dan irama MuhammadiyahMuhammadiyah telah mempunyai cara perjuangan yang khas. Muhammadiyah bergerak bukan untuk “Muhammadiyah’ sebagai golongan.
 
          Muhammadiyah bergerak dan berjuang untuk tegaknya Islam, untuk kemenangan kalimah Allah, untuk terwujudnya masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu wata’ala. Hanya saja Islam yang digerakkan oleh Muhammadiyah adalah Islam yang sajadah, Islam yang lugas (apa adanya), Islam yang menurut Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw; dana menjalankannya dengan menggunakan akal pikirannya yang sesuai dengan ruh Islam.
 
            Secara leksikal, ‘kepribadian’ berasal dari kata ‘pribadi’ yang berarti manusia sebagai perseorangan. ‘Kepribadian’ (dengan imbuhan ke-an) berarti sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang atau suatu bangsa yang membedakan dirinya dengan orang lain atau bangsa lain. Dengan demikian, yang dimaksud dengan kepribadian Muhammadiyah ialah rumusan yang menggambarkan hakekat Muhammadiyah, serta apa yang menjadi dasar dan pedoman amal usaha dan perjuangannya, serta sifat-sifat yang dimilikinya. Narasi berikut ini menjelaskan kepribadian Muhammadiyah yang diharapkan dapat menjadi munthalaq (start pont), pedoman dan pijakan utama dalam merumuskan kepribadian seorang muballigh Muhammadiyah, termasuk Muballigh di kalangan mahasiswa.
 
        Muhammadiyah adalah sebagai Gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar, beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah. Secara fungsional Muhammadiyah merupakan alat untuk berjuang dan mencapai cita-cita mulia, terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur yang diridhoi Allah s.w.t. untuk melaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi, sebagaimana firman Allah s.w.t. :
                                                                                                                     بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ 
            “Sebuah negeri yang indah, bersih, suci dan makmur di bawah perlindungan Rabb Yang Maha Pengampun.” (Saba’ : 15) 
 
            Untuk mencapai tujuan itulah Muhammadiyah didirikan dengan bersendikan dua pilar gerakan utama; amar ma’ruf dan nahi munkar,berdasarkan :
          وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
        
Adakanlah dari kamu sekalian, golongan yang mengajak kepada keIslaman, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah daripada keburukan. Mereka itulah golongan yang beruntung berbahagia.” (Ali Imran : 104)
 
            Dalam perjuangan melaksanakan usahanya menuju terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, Muhammadiyah merumuskan prinsip-prinsip dasar segala gerak dan amal usaha yang tersimpul dalam Muqaddimah Anggaran Dasar berikut ini :
 
1.        Hidup manusia harus berdasar tauhid, ‘ibadah dan ta’at kepada Allah s.w.t.
2.        Hidup manusia bermasyarakat.
3.        Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam dengan keyakinan bahwa ajaran Islam itu satu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk kebahagiaan dunia akhirat.
4.        Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat adalah kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan ikhsan kepada kemanusiaan.
5.        Ittiba’ kepada langkah perjuangan Nabi Muhammad saw.
6.        Melancarkan amal usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi.
          Dengan prinsip-prinsip dasar tersebut maka, apapun yang diusahakan termasuk cara-cara atau sistem perjuangannya, Muhammadiyah berpedoman : “Berpegang teguh akan ajaran Allah dan Rasul-Nya, bergerak membangun di segala bidang dan lapangan dengan menggunakan cara serta menempuh jalan yang diridlai Allah.”
            Kesemua rumusan tertera di atas mengantarkan kita kepada sepuluh sifat-sifat dasar Muhammadiyah yang wajib dipelihara dan diamalkan :
1.        Beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan.
2.        Memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah
3.        Lapang dada, luas pandangan dengan memegang teguh ajaran Islam.
4.        Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan.
5.        Mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan serta dasar dan falsafah negara yang sah.
6.        Amar ma’ruf nahi munkar dalam segala lapangan serta menjadi contoh teladan yang baik
7.        Aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud ishlah dan pembangunan sesuai dengan ajaran Islam.
8.        Kerjasama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan agama Islam serta membela kepentingannya.
9.        Membantu pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain dalam memelihara dan membangun negara untuk mencapai masyarakat adil dan makmur yang diridlai Allah s.w.t.
10.   Bersifat adil serta korektif ke dalam dan ke luar dengan bijaksana.
C. Memahami Kepribadian Muhammadiyah
 
     Memahami Kepribadian Muhammadiyah berarti:
1.  Memahami apa sebenarnya Muhammadiyah.
2.  Karena Muhammadiyah ini sebagai organisasi, sebagai suatu persyarikatan yang beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Quran dan Sunnah, maka perlu pula difahami, Islam yang bagaimanakah yang hendak ditegakkan dan dijunjung tinggi itu, mengingat telah banyak kekaburan kekaburan dalam Islam di Indonesia ini. Dan hal ini pulalah yang hendak dipergunakan untuk mendasari atau menjiwai segala amal usaha   Muhammadiyah sebagai organsisasi.
3.  Kemudian dengan sifat-sifat dan cara-cara yang kita contoh atau kita ambil dari bagaimana sejarah da’wah Rasulullah yang mula-mula dilaksanakan, itu pulalah yang kita jadikan sifat gerak da’wah Muhammadiyah, dengan kita sesuaikan pada keadaan dan kenyataan kenyataan yang kita hadapi.
D. Cara Menuntunkan Kepribadian Muhammadiyah
 
            Tidak ada cara lain dalam memberikan atau menuntunkan Kepribadian Muhammadiyah ini, kecuali  harus dengan teori dan praktek penanaman pengertian dan pelaksanaan.
1. Penandasan atau pendalaman pengertian tentang da’wah atau bertabligh.
2. Menggembirakan dan memantapkan tugas berda’wah. Tidak merasa rendah diri (minder-waardig - Bld) dalam menjalankan da’wah; namun tidak memandang rendah kepada yang bertugas dalam lapangan lainnya (politik, ekonomi, seni-budaya dan lain-lain).
3. Keadaan mereka -para warga- hendaklah ditugaskan dengan tugas yang tentu-tentu, bukan hanya dengan sukarela. Bila perlu dilakukan dengan suatu ikatan, misalnya dengan perjanjian, dengan bai’at dan lainlain.
4.  Sesuai dengan masa itu, perlu dilakukan dengan musyawarah yang sifatnya mengevaluasi tugas-tugas itu. Sesuai dengan suasana sekarang, perlu pula dilakukan dengan formalitas yang menarik, yang tidak melanggar hukum-hukum agama dan juga dengan memberikan bantuan logistik.
5. Pimpinan Cabang, Ranting bersama-sama dengan anggota-anggotanya memusyawarahkan sasaran-sasaran yang dituju, bahan-bahan yang perlu dibawakan dan membagi petugas-petugas sesuai dengan kemampuan dan sasarannya.
6.  Pada musyawarah yang melakukan evaluasi, sekaligus dapat ditambahkan bahan-bahan atau bekal yang diperlukan, yang akan dibagikan kepada para warga selaku muballigh dan muballighot.
E. Kepribadian Warga Persyarikatan Muhammadiyah
 
            Muhammadiyah sebagai ‘tenda besar’ segala amal usaha dan gerak dakwah kita memiliki kepribadian, sifat-sifat dan karakter dasar yang demikian kuat. Tentunya kita, kader Persyarikatan, khususnya para muballigh/dai di kalangan mahasiswa, yang menjadi agen utama perubahan umat kepada kebaikan dan penerus estapet perjuangan Muhammadiyah dituntut untuk secara ikhlas dan sungguh-sungguh memegang teguh (iltizam)serta committed dengan kepribadian warga Persyarikatan Muhammadiyah yang telah dirumuskan berikut ini;
 
1)    Memahami hakekat Islam secara menyeluruh mencakup aspek akidah, ibadah, akhlaq dan mu’amalat dunyawiyah; bersumberkan Al-Qur’an dan Sunnah Maqbulah.
2)    Melandasi segala sesuatu dengan niat ikhlas mencari ridla Allah s.wt. semata-mata.
3)    Mengamalkan ajaran Islam secara menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupannya, dan berusaha untuk menegakkan Islam dalam kehidupan pribadi, kehidupan keluarga dan kehidupan bermasyarakat sehingga terwujud masyarakat utama yang diridlai oleh Allah s.wt.
4)    Memiliki semangat jihad untuk memperjuangklan Islam.
5)    Memiliki kemauan dan kesediaan untuk berkorban demi Islam baik korban waktu, harta, tenaga bahkan nyawa sekalipun.
6)    Mempunyai keteguhan hati dalam mengamalkan, menegakkan dan memperjuangkan Islam dengan arti kata tidak mundur karena ancaman dan tidak terbujuk dengan rayuan dan selalu istiqamah dalam kebenaran.
7)    Mematuhi pimpinan dalam hal-hal yang disukai dan tidak disukai selama berada dalam garis kebenaran. Apabila terjadi perbedaan pendapat antara dia dan pimpinan dalam hal yang sifatnya mubah atau ijtihad, dia akan mendahulukan pendapat pimpinan.
8)    Mengamalkan ukhuwah Islamiyah dalam kehidupan bermasyarakat.
9)    Aktif dalam dakwah Islam (Muhammadiyah) secara murni dan penuh.
10)  Bisa dipercaya dan mempercayai orang lain dalam organisasi.
        Demikianlah Muhammadiyah telah berusaha maksimal untuk mengkonstruksi karakter dan kepribadian warganya yang diharapkan menjadi ’shibgah’ (celupan, warna dasar) yang menjadikannya unggul dalam berinteraksi dengan dirinya sendiri, umat dan sesama anak bangsa.
F. Kepribadian Kita dan Pergeseran Tata Nilai Umat
 
            Setelah mencermati narasi kepribadian Muhammadiyah dan Warga Muhammadiyah tertera di atas, ada baiknya kita sandingkan dengan fakta dan orientasi  kehidupan kekinian yang berubah dalam durasi dan dengan akselarasi yang sangat cepat. Arus globalisasi yang ditandai dengan revolusi teknologi di bidang komunikasi dan transportasi telah berhasil ‘melipat’ belahan bumi serta mengeliminir jarak dan selisih waktu antar negara.
 
          Melalui kekuatan teknologi komunikasi setiap peristiwa di belahan bumi manapun dapat direkam dengan baik, teknologi transportasi telah mampu membuat seseorang untuk berada di beberapa negara dalam waktu yang sedemikian singkat. Inilah yang kemudian mengakhiri segala bentuk sekat-sekat budaya, ras, aliran, ideologi dan bahkan agama di antara manusia sejagad.
 
        Selain itu sistem kapitalisme global semakin menjerat para pemimpin dan warga negara-negara berkembang, yang nota bene-nya adalah umat Islam. Namun di sisi yang lain muncul segelintir pemilik modal raksasa yang dapat menggerakkan kecenderungan masyarakat umum ‘semaunya’ melalui impor budaya destruktif secara masal. Masyarakat masuk ke sebuah tatanan kehidupan liberal yang individual, materialistis, sekularistik dan hedonis.
 
      Orientasi politik masyarakatpun tak terelakkan dari arus deras ini. Lembaga trias politica; eksekutif, legislatif dan yudikatif terjebak pada kubangan pragmatisme dan demokrasi liberal yang mengingkari fakta kehendak nurani umat yang mayoritas. Dengan nalar demokrasi liberal masyarakat dicekoki dengan berbagai produk legislasi yang berada di luar domain akal sehat.
 
       Di tengah-tengah arus deras di atas kita hidup. Dalam menghadapi arus kehidupan yang sedemikian deras, masyarakat dunia, tak terkecuali umat Islam, khususnya kita di Indonesia ini, akan berhadapan face to face dengan berbagai dampak dari era ini dalam bentuk agresi ideologi, politik, ekonomi, budaya, intelektual dll. yang semuanya ini dapat memarjinalkan dan menggerus konservasi kearifan dan budi luhur serta nilai-nilai agama yang telah lama mereka pegang dengan teguh.
G. Rekonstruksi Kepribadian Muballigh Mahasiswa
 
            Dalam hemat pandangan kami, para aktivis dakwah Muhammadiyah, terkhusus lagi muballigh dari kalangan mahasiswa, diperlukan sebuah konstruksi kepribadian, karakter atau akhlaq yang berbasis pada sejarah kenabian (sirah nabawiyah) sehingga kita memiliki autentisitas gerakan tabligh (dakwah) di tengah arus kehidupan modern yang sedemikian rupa.
 
            Seringkali tidak kita sadari bahwa kita memaknai aktivitas dakwah sebagai aktivitas memperbaiki orang lain. Akibatnya, kita terjebak pada ’aktivisme’ yang bersifat rutin dan seringkali sangat menjenuhkan. Bahkan kadang kita mengalami defisit stamina batin dan keropos pertahanan spiritual. Padahal ini menjadi modal utama dalam berdakwah/bertabligh. Perlu direnungkan baik-baik kecaman Allah s.w.t. terhadap Bani Israel yang terlampau sibuk dengan orang lain dan melupakan diri mereka sendiri :
 
                                       أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُون
            “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir? (Al-Baqarah : 44)
 
            Demikian pula ancaman Allah s.w.t. kepada kita, orang-orang beriman :
 
                      يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ. كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
            Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (Al-Shaff :2-3) 
 
            Kedua ayat tersebut mengajarkan kita untuk membangun pondasi kepribadian yang kokoh sebelum menyuruh orang lain melakukannya. Inilah kata kunci utama dalam merekonstruksi konsep diri bangunan kepribadian kita. 
A. Kesimpulan
            Muhammadiyah adalah persyarikatan yang merupakan Gerakan Islam. Maksud gerakanya ialah Dakwah Islam dan Amar Ma’ruf nahi Munkar yang ditujukan kepada dua bidang: perseorangan dan masyarakat‘kepribadian’ berasal dari kata ‘pribadi’ yang berarti manusia sebagai perseorangan. ‘Kepribadian’ (dengan imbuhan ke-an) berarti sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang atau suatu bangsa yang membedakan dirinya dengan orang lain atau bangsa lain“Kepribadian Muhammadiyah” ini timbul pada waktu Muhammadiyah dipimpin oleh Bapak Kolonel H.M. Yunus Anis, ialah pada periode 1959-1962.
            Dengan demikian, perlu difahamkan kepada warga Muhammadiyah: apakah Muhammadiyah itu sebenarnya dan bagaimana cara membawa/menyebarluaskannya. Menyebarkan faham Muhammadiyah itu pada hakekatnya menyebarluaskan Islam yang sebenar-benarnya; dan oleh karena itu, cara menyebarkannya pun kita perlu mengikuticara-cara Rasulullah saw menyebarkan Islam pada awal pertumbuhannya.
B. Saran
            Berdasarkan kesimpulan di atas, diperlukan pemahaman tentang kepribadian kemuhammadiyahan agar tingkah laku kita lebih baik dan teratur sesuai dengan pedoman tingkah laku yg di dasarkan oleh konsep dasar kemuhammadiyahan.
DAFTAR PUSTAKA
Abu-Rabi’, Ibrahim M. Intellectual Origins of Islamic Resurgence in the Modern Arab WorldAlbany: State University of New York Press, 1996.
Auda, JasserMaqasid al-Syariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems ApproachLondon: The International Institute of Islamic Thought, 1429H/2008 CE
Http://www,pedomanbermuhammadiyah.com

STRATEGI DAKWAH KULTURAL MUHAMMADIYAH

Strategi Dakwah Kultural Muhammadiyah
Oleh: Tarqum Aziz
 
Islam adalah agama dakwah yaitu agama yang mengajak dan memerintahkan umatnya untuk selalu menyebarkan dan menyiarkan ajaran Islam kepada seluruh umat manusia. Oleh karena itu, dakwah, baik sebagai konsep maupun sebagai aktivitas, telah memasuki seluruh wilayah dan ruang lingkup kehidupan manusia. Seluruh aspek kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari sudut pandang dakwah.
Dakwah, baik sebagai gagasan maupun sebagai kegiatan, sangat terkait dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar (menyuruh untuk mengerjakan kebaikan dan kebajikan dan melarang atau mencegah untuk melakukan keburukan atau kemungkaran). Kebaikan dan keburukan selalu ada dalam kehidupan kita dan tampil sebagai suatu keadaan atau kekuatan yang berlawanan.
Dakwah merupakan salah satu tugas dan kewajiban yang harus dilakukan oleh umat Islam, sebagaimana perintah Allah dalam surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyuruh kepada kebajikan dan mengajak kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Ayat ini mengandung makna agar setiap muslim berusaha menyatukan diri dalam gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar untuk membebaskan diri dari kebodohan, kesengsaraan dan kemelaratan. Atas dasar seruan ayat tersebut, K.H. Ahmad Dahlan tergerak hatinya untuk mendirikan sebuah persyarikatan Muhammadiyah dengan tugas khidmat melaksanakan misi dakwah amar makruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat luas.
Muhammadiyah adalah organisasi yang lahir sebagai alternatif berbagai persoalan yang dihadapi umat Islam Indonesia sekitar akhir abad 19 dan awal abad 20. Muhammadiyah merupakan konsekwensi logis munculnya pertanyaan-pertanyaan sederhana seorang muslim kepada diri dan masyarakatnya tentang bagaimana memahami dan mengamalkan kebenaran Islam yang telah diimani sehingga pesan global Islam yaitu rahmatan lil alamin atau kesejahteraan bagi seluruh kehidupan dapat mewujud dalam kehidupan objektif umat manusia.
Sejak kehadirannya di tengah-tengah panggung sejarah, Muhammadiyah telah memberikan kontribusi yang nyata bagi kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia. Peran dan partisipasi Muhammadiyah disebut dengan amal usaha Muhammadiyah memang merupakan hal yang fundamental bagi gerakan tersebut apalagi jika ditinjau dari latar belakang kehadirannya. Partisipasi itu dijalankan dengan berbagai cara dan bentuk, sejak gerakan itu lahir dan berlangsung hingga kini, memang diakui oleh banyak pihak.
Dakwah Rasulullah Muhammad menggunakan strategi; pendekatan personal, pendekatan pendidikan, pendekatan penawaran, pendekatan missi, pendekatan korespondensi, dan pendekatan diskusi. Strategi dakwah Rasulullah tersebut ternyata telah menunjukkan keberhasilan, salah satu indikasinya adalah dalam masa tugas kerasulan yang kurang dari dua puluh tiga tahun, orang yang masuk Islam tidak kurang dari 114.000 orang. Sekurang-kurangnya ada dua faktor yang sangat menentukan dalam dakwah beliau; pertama, adanya konsistensi Nabi dengan kode etika dakwah, yang antara lain; tidak memisahkan antara ucapan dan perbuatan, tidak mencerca sesembahan lawan, tidak melakukan kompromi dalam hal agama, dan tidak meminta imbalan. Kedua, adanya keteladanan yang beliau berikan pada para sahabat (Ali Mustafa Yaqub, 2000: 94-95). Demikian juga dalam strategi dakwah, ada dua macam strategi; bi-alqaul (bi-al-ihsan) dan bi-al-af’al, (termasuk bi al-khitabah atau bi-al-a’mal).
Penjabaran dari kedua kegiatan itu melahirkan empat ragam kegiatan dakwah, yakni; pertama, tabligh dan ta’lim; kedua, irsyad; ketiga, tathwir, dan keempat tadbir. Tabligh dan ta’lim dilakukan dalam pencerdasan dan pencerahan masyarakat melalui kegiatan pokok; sosialisasi, internalisasi, dan eksternalisasi nilai ajaran Islam, dengan menggunakan sarana mimbar, media massa cetak dan audia visual. Irsyad, dilakukan dalam rangka pemecahan masalah psikologis, melalui kegiatan pokok; bimbingan penyuluhan pribadi dan bimbingan penyuluhan keluarga, baik secara prefentif maupun kuratif. Tadbir (manajemen pembangunan masyarakat), dilakukan dalam rangka perekayasaan dan pemberdayaan masyarakat dalam kehidupan yang lebih baik, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan pranata sosial keagamaan, serta menumbuhkan serta mengembangkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Tathwir (pengembangan masyarakat), dilakukan dalam rangka meningkatkan sosial budaya masyarakat, yang dilakukan dengan kegiatan pokok; pentransformasian dan pelembagaan nilai-nilai ajaran Islam dalam realitas kehidupan umat, yang menyangkut kemanusiaan, seni budaya, dan kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain, tathwir berkaitan dengan kegiatan dakwah melalui strategi sosial budaya, atau dakwah kultural (Asep Muhyiddin, 2002: 34-35).
Atas dasar ini dapat difahami, kalau apa yang semula merupakan gagasan dan pokok-pokok pikiran pribadi K.H. Ahmad Dahlan itu kemudian diintegrasikan menjadi gagasan dan pokok-pokok pikiran Muhammadiyah. Tidak dapat disangkal, Muhammadiyah sebagai ormas ke-Islaman, telah banyak memberi sumbangan nyata kepada umat. Tugas dakwah yang dilakukan Muhammadiyah, mulai dari lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, dan lain-lain, yang dapat dirasakan betul manfaatnya oleh masyarakat. Terutama dalam bidang pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, Muhammadiyah mempunyai andil yang cukup besar. Komitmen Muhammadiyah kepada kaum lemah, anak yatim dan fakir miskin juga tidak pernah luntur, ini bisa dilihat dengan adanya rumah sakit dan panti asuhan yang dikelola oleh Muhammadiyah.
Peran Muhammadiyah yang didirikan K.H Ahmad Dahlan dalam dakwah Islam menggunakan strategi yang berpusat pada pembaharuan (tajdid) serta menjaga kemurnian Islam (purifikasi). Dalam rangka kegiatan pembaharuan dan pemurnian itu, selain dengan pemasyarakatan tajdid (dengan menggerakkan telaah ulang atas sistim mazhab dan taklid buta), Muhammadiyah juga mengadakan gerakan pemberantasan TBC (takhyul, bid’ah, dan churafat). Untuk itu, dakwah Muhammadiyah banyak diarahkan untuk memberantas segala hal yang berbau TBC (Weinata Sairin, 2005: 48-50).
Ada dua prinsip dasar yang menjadi acuan dakwah yang dikembangkan pendiri Muhammadiyah, K.H Ahmad Dahlan; pertama, adalah pembebasan, yakni membebaskan manusia dari belenggu kebodohan, dan yang kedua, adalah penghargaan atas harkat dan martabat kemanusiaan. Dalam upaya untuk membebaskan masyarakat dari kolonialisme asing yang membodohkan, K.H Ahmad Dahlan melakukan lompatan kultural dengan mengadopsi aspek-aspek positif dari budaya asing, seperti mendirikan lembaga pendidikan, panti asuhan, dan balai pengobatan. Sementara itu, untuk membebaskan manusia dari belenggu budaya dan kepercayaan, K.H Ahmad Dahlan mengembangkan pendidikan yang berbasis pada pengembangan akal dan rasionalitas. Sebagai implikasi dari lompatan dakwah yang berbasis pengembangan akal dan rasionalitas itulah K.H Ahmad Dahlan sering dipersepsikan anti budaya lokal (Abdurrahim Ghazali, 2003: 9-11). Dengan dikenalkan dakwah kultural di lingkungan Muhammadiyah mengindikasikan adanya aktualisasi penyikapan atas segala budaya lokal di lingkungan persyarikatan Muhammadiyah. Organisasi ini semakin menyadari tentang pentingnya budaya local sebagai media dakwah, walaupun mungkin sekarang masih dalam proses memilih, dan memilah dengan ’hati-hati’ berbagai macam budaya lokal agar tidak bertabrakan dengan doktrin-doktrin yang sudah mapan di Muhammadiyah.
 
A. Strategi Dakwah Kultural Muhammadiyah
 
Dakwah kultural adalah; upaya menanamkan nilai-nilai Islam dalam seluruh dimensi kehidupan dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya secara luas, dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Ciri-ciri dakwah cultural adalah dinamis, kreatif dan inovatif (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2004: 26).
Muhammadiyah yang didirikan KH Ahmad Dahlan, strategi dakwahnya berpusat pada pembaharuan (tajdid) serta menjaga kemurnian Islam (purifikasi). Dalam rangka kegiatan pembaharuan dan pemurnian itu, selain dengan pemasyarakatan tajdid (dengan menggerakkan telaah ulang atas sistim mazhab dan taklid buta), Muhammadiyah juga mengadakan gerakan pemberantasan TBC (takhyul, bid’ah, dan churafat). Untuk itu, dakwah Muhammadiyah banyak diarahkan untuk memberantas segala hal yang berbau TBC.
Dengan datangnya ‘pembaharuan’ dan ‘purifikasi’ yang dibawa Muhammadiyah sudah barang tentu berbenturan dengan faham keagamaan yang sudah lama berkembang di masyarakat yang notabene dalam ‘beberapa amaliah’ sudah mendapatkan pembenaran dari ulama tradisionil. Oleh karena itu, dalam sidang Tanwir Muhammadiyah di Denpasar, Bali, tahun 2002, memberikan PR besar bagi warga Muhamamdiyah untuk menerobos wacana baru, yaitu “dakwah kultural”. Wacana ini memang sangat kontraversial di kalangan Muhammadiyah. Namun melalui pengkajian secara intensif oleh beberapa tokoh di kalangan Muhamamdiyah, akhirnya dicapai kata sepakat untuk mengagendakan dakwah kultural ke depan. Pada sidang tanwir Muhammadiyah di Makassar, tahun 2003, telah direkomendasikan dakwah kultural sebagai pendekatan sekaligus metode dalam berdakwah di Muhammadiyah (Mu’arif, 2005: 164-165).
Tegasnya gerakan dakwah kultural ini cenderung mempertanyakan kebenaran statement yang mengatakan bahwa gerakan dakwah dipandang belum sungguh-sungguh memperjuangkan Islam, ketika belum secara terus-menerus memperjuangkan negara berdasarkan syariat Islam. Dakwah kultural mempertanyakan validitas tesis tersebut, apakah benar dakwah umat yang berada di luar kekuasaaan, adalah dakwah yang tidak lengkap, dan sempurna.
Sebagai ormas Islam, Muhammadiyah sangat kental dengan predikat ‘pemurnian’, sehingga kesannya angker, sebab banyak dari warga pedesaan khususnya, merasa segala aktifitas berkesenian dilarang. Muhammadiyah dianggap anti kesenian. Padahal tidak semua kesenian bertentangan dengan ajaran Islam. Menurut Ahmadun Y Herfanda (budayawan dan wartawan), melihat fenomena kebudayaan sekarang ini, Muhammadiyah sebaiknya memiliki strategi yang jitu untuk mengakomodir berbagai budaya yang berkembang dalam masyarakat, sekaligus menyaring seni dan budaya yang sesuai dengan kepribadian dalam Muhammadiyah (Suara Muhammadiyah, 2006: 6-9). Hal itu juga sesuai dengan gagasan ‘dakwah kultural’. Kalau selama ini dakwah Muhamamdiyah terkonsentrasi pada kalangan abangan dan masyarakat perkotaan semata, maka dengan adanya perubahan dan gerak zaman yang begitu cepat, perlu adanya rumusan yang jelas menyangkut segmen pedesaan untuk menjadi sasaran dakwah Muhammadiyah ke depan (Din Syamsuddin, 2005: v).
Untuk mengatasi problematika umat tersebut, maka aktivitas dakwah Muhammadiyah harus difokuskan pada beberapa hal. Pertama, pengentasan kemiskinan. Kedua, persiapan suplai elit muslim ke berbagai jalur kepemimpinan bangsa sesuai dengan skillnya masing-masing. Ketiga, mapping sosial umat sebagai langkah pengembangan dakwah. Keempat, pengintegrasian wawasan etika, estetika, logika, dan budaya dalam berbagai planning dakwah, Kelima, pendirian pusat-pusat studi dan informasi umat secara profesional yang berorientasi pada dinamisasi iptek. Keenam, menjadikan masjid sebagai pusat aktivitas ekonomi, kesehatan, dan syia’ar Islam. Ketujuh, menjadikan Islam sebagai pelopor yang profetis, humanis, dan transformatif (Usman Jasad, 2004: 38-39). Dengan bahasa lain, dakwah Islam tidak boleh dijadikan obyek dan alat legitimasi bagi pembangunan yang semata-mata bersifat ekonomis-pragmatis (Muhammad Azhar, 2003: 12-13). Langkah-langkah tersebutlah yang akan membawa Islam menjadi sebuah gerakan dakwah yang progresif dan inklusif.
Efektifitas dakwah mempunyai dua strategi yang saling mempengaruhi keberhasilannya. Pertama, peningkatan kualitas keberagamaan dengan berbagai cakupannya seperti di atas, dan kedua, mampu mendorong perubahan sosial. Ini berarti memerlukan pendekatan partisipatif di samping pendekatan kebutuhan. Dakwah bukan lagi menggunakan pendekatan yang hanya direncanakan sepihak oleh pelaku dakwah dan bukan pula hanya pendekatan tradisional, mengutamakan besarnya massa.
Suasana seperti itulah yang membuat dai dan mad’u terlibat diskusi secara dialogis tentang dakwah Islam itu sendiri. Dengan demikian pola pikir antar keduanya dapat disatukan dan dimodifikasikan untuk menjadi pola pikir dan aksi secara konsisten. Pandangan seperti ini sejalan dengan statemen Benedict dalam Theories of Man and Culture (Elvin Hatch, 1973: 29), di mana ia menyatakan:
All thought a culture is the chance accumulation of so many disparate elements for tuitously assembled from all direction by diffusion, the constituent elements a remodified to form a more or less consistent pattern of thought and action. “Semua pikiran adalah suatu kultur akumulasi yang memberi kesempatan sangat banyak bagi unsur-unsur yang berlainan untuk dirakit dari semua arah difusi, unsur-unsur yang konstituen dapat dimodifikasi kembali untuk membentuk suatu contoh pola aksi dan pikiran konsisten yang lebih besar”.
Pada dasarnya semua manusia yang sudah baligh, laki-laki maupun perempuan diperintahkan oleh Allah untuk saling menopang demi terlaksana dan tegaknya amar ma’ruf dan nahi munkar. Penegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar akan menjadi parameter kualitas khaira ummah. Menurut Ibnu Katsir Umat yang terbaik adalah umat yang terbaik bagi manusia dari sisi kemanfaatan mereka (Aunur Rahim Faqih, 2006: 52). Dengan kata lain, kebaikan umat itu hanya ada pada implementasi dakwah yang berwujud amar ma’ruf dan nahi munkar secara konsisten dan berkesinambungan.
Imam Abdullah an-Nasafi (2001: 194) dalam kitabnya Tafsir an-Nasafi menjelaskan mengenai amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai berikut:
اَلْمَعْرُوْفُ مَااسْتَحْسَنَ الشَّرْعُ وَالْعَقْلُ وَالْمُنْكَرُ مَااسْتَقْجَهُ الشَّرْعُ وَالْعَقْلُ، أَوِالْمَعْرُوْفُ مَاوَافَقَ الْكِتَابَ وَالسُّنَةَ. وَالْمُنْكَرُمَاخَالَفَهُمَا، أَوِالْمَعْرُوْفُ الطَّاعَةُ وَالْمُنْكَرُالْمَعَاصِيْ
Al-Ma’ruf adalah apa yang dinyatakan baik oleh syara’ dan akal, sedangkan al-munkar adalah apa yang dinyatakan buruk oleh syara’ dan akal. Bisa juga, al-ma’ruf ialah sesuatu yang bersesuain dengan al-kitab dan as-sunnah, sedangkan al-munkar adalah yang berseberangan dengan keduanya. Atau bisa juga al-ma’ruf adalah ketaatan kepada Allah, sementara al-munkar adalah kemaksiatan kepada-Nya”.
Menurut Zakiyudin Baidawy (www. Islamlib.com), tokoh muda Muhammadiyah, berbeda dari dua model dakwah Muhammadiyah sebelumnya yang anti- TBC, dakwah kultural Muhammadiyah adalah dakwah pro-TBC. Yakni: 1) dakwah yang memanfaatkan dan membangkitkan kemampuan imajinatif (takhayyul) individu dan masyarakat agar kehidupan semakin estetik (indah), holistik, simbolik (dalam arti beradab), dan cerdas; 2) dakwah yang mendorong, memotivasi, dan mengkondisikan individu dan masyarakat untuk mencipta (kreatif) dan menemukan (inovatif) berbagai hal baru (bid’ah) baik dalam ide (pemikiran, wacana, teori dalam Muhammadiyah, dan masyarakat), aktivitas (praksis, gerakan Muhammadiyah), dan bentuk kebudayaan (amal-amal usaha Muhammadiyah); 3) serta dakwah yang mengeksplorasi seluruh kemampuan untuk meredefinisi “mitos” (baca: cita-cita sosial, meminjam istilah Mohammed Arkoun), mereproduksi, bahkan memproduksi mitos baru (khurafat) untuk mambangun citra keberagamaan, keberislaman, dan keber-muhammadiyah-an dalam rangka menuju masyarakat utama.
Untuk itu, dakwah kultural tidak hanya difokuskan pada penyikapan atas budaya lokal, tapi perlu diarahkan pada dakwah pengembangan masyarakat dengan harus memperhatikan beberapa prinsip dasar, yaitu; pertama, orientasi pada kesejahteraan lahir dan batin masyarakat luas. Dakwah tidak hanya sekedar merumuskan keinginan sebagian masyarakat saja, tapi direncanakan sebagai usaha membenahi kehidupan sosial bersama masyarakat, agar penindasan, ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan tidak lagi hidup di tengah-tengah mereka. Skala makro yang menjadi sasaran dakwah bukan berarti meninggalkan skala mikro kepentingan individu anggota masyarakat. Kedua, dakwah pengembangan masyarakat pada dasarnya adalah upaya melakukan rekayasa sosial untuk mendapatkan perubahan tatanan kehidupan sosial yang lebih baik.
Untuk itu, landasan berpikir pada dai dalam melihat problem yang dihadapi masyarakat adalah sebuah permasalahan sosial, yang mestinya pemecahannya dilaksanakan dalam skala kehidupan sosial (Abdul Halim, 2005: 15-16). Dengan dikenalkan dakwah kultural di lingkungan Muhammadiyah mengindikasikan adanya ’aktualisasi’ penyikapan atas budaya lokal di lingkungan Muhammadiyah.Organisasi ini semakin menyadari tentang pentingnya budaya lokal sebagai media dakwah, walaupun mungkin sekarang masih dalam proses memilih, dan memilah dengan ’hati-hati’ berbagai macam budaya lokal agar tidak bertabrakan dengan doktrin-doktrin yang sudah mapan di Muhammadiyah.
B. Penutup
Munculnya kesenjangan sosial dan keterbelakangan umat Islam dalam penguasaan ekonomi dan tekhnologi membutuhkan gerakan dakwah yang bersifat aplikatif bukan teoritis. Dakwah sebagai agen penyebaran dan pembangunan umat dituntut harus dapat merespon, menjawab atau memberikan solusi atas munculnya persoalan umat.
Dakwah sebagai konsep dan gerakan yang menekankan prinsip bi al-hikmah wa al-mau'idzatul al-khasanah dapat memasuki wilayah spektrum kegiatan manusia yang sangat luas sehingga fungsi penyelenggaraan dakwah harus mampu mentransformasikan ide-ide atau konsep agama ke dalam dataran praksis. Dakwah yang menekankan adanya perubahan dan perbaikan kehidupan masyarakat inilah yang selama ini dikenal dengan dakwah bil hal.
Era informasi sekarang ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi syi’ar Islam yang harus mampu untuk melakukan dakwah melalui tulisan di media cetak, melalui rubrik, kolom opini yang umumnya terdapat dalam surat kabar harian tabloid mingguan, majalah atau buletin internal masjid. Penyampaian pesan dakwah keagamaan adalah kewajiban setiap manusia untuk menuju ke arah kebenaran yang dalam penyampaian kebenaran tersebut sangat beragam metode dan caranya, baik melalui lisan, tauladan yang baik dan dengan melalui tulisan di media massa, baik cetak maupun elektronik.
Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern dituntut untuk dapat melaksanakan dakwah, baik lisan maupun tulisan ataupun perbuatan, secara individu, kelompok atau berbentuk organisasi atau lembaga. Secara umum adalah setiap muslimin atau muslimat yang mukallaf (dewasa) dimana bagi mereka kewajiban dakwah adalah sesuatu yang melekat tidak terpisahkan dari misinya sebagai penganut Islam, sesuai dengan perintah: “sampaikan walaupun satu ayat”. Sedangkan secara khusus orang yang menjadi dai yaitu orang-orang yang mengambil spesialisasi khusus (mutakhasis) dalam bidang agama Islam yang dikenal dengan panggilan ulama.
Proses dakwah sangat memerlukan pendekatan atau strategi sebagai salah satu unsur yang akan mensosialisasikan ajaran-ajaran agama. Tanpa strategi bagaimanapun baiknya ajaran agama pasti tidak mungkin bisa tersebar. Begitu pentingnya unsur strategi dalam dakwah, maka diperlukan orang-orang yang bisa mengemban tugas mulia itu. Oleh karena itu untuk mendukung proses dakwah agar dapat berjalan dengan baik, maka Muhammadiyah membekali para dainya dengan kemampuan-kemampuan atau kompetensi-kompetensi yang menunjang demi suksesnya kegiatan dakwah yang dilakukannya. Memang hal ini tidak mudah, memerlukan da'i-da'i berkualitas, sebagai personifikasi sikap dan perilaku dalam kehidupan Islami, yang mampu mengaktualisasikan dirinya di tengah-tengah pluralitas masyarakat. Allah telah mengisyaratkan dalam surat Ali Imran ayat 110. Bahwa para da'i harus menjadi khaira ummah yang punya kemampuan menampilkan dirinya di tengah dan untuk masyarakat (ukhrijat li al-naas). Ini berarti pelaku dakwah, termasuk Muhammadiyah harus memiliki kemampuan menjawab sekaligus menerapkan jawaban atas pertanyaan apa, siapa di mana dan kapan ia berada. Kemampuan ini bisa menumbuhkan kesadaran akan potensi dirinya, posisinya, situasi dan kondisi yang sedang dan akan dihadapinya. Hal inilah yang mendorong Muhammadiyah menerapkan strategi dakwahnya dengan dakwah kultural.
Inti dakwah kultural yang dikembangkan Muhammadiyah adalah menekankan keragaman substansional, dakwah nilai-nilai Islam yang substansial berupa; kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, kerjasama, dan semangat melawan penindasan kemanusiaan. Dalam konteks keindonesiaan dakwah pemberdayaan umat seperti ini lebih diperlukan mengingat sebagian besar masyarakat Islam Indonesia lemah di berbagai bidang. Untuk itu forum pertemuan kedua organisasi itu perlu sering dilakukan, baik dalam bentuk diskusi, seminar maupun lainnya dengan topik pembicaraaan tentang upaya memberdayakan umat secara bersama-sama.
 
* Tarqum Aziz S.H.I. adalah ketua PC IRM Purwokerto (1998-2000)/Anggota PCPM Gandrungmangu Cilacap, tinggal di Kamulyan Rt 09/II Bantarsari Cilacap bersama isteri dan dua putrinya.