Strategi Dakwah Kultural Muhammadiyah
Oleh: Tarqum Aziz
Islam
adalah agama dakwah yaitu agama yang mengajak dan memerintahkan umatnya
untuk selalu menyebarkan dan menyiarkan ajaran Islam kepada seluruh
umat manusia. Oleh karena itu, dakwah, baik sebagai konsep maupun
sebagai aktivitas, telah memasuki seluruh wilayah dan ruang lingkup
kehidupan manusia. Seluruh aspek kehidupan manusia tidak dapat
dilepaskan dari sudut pandang dakwah.
Dakwah, baik sebagai gagasan maupun sebagai kegiatan, sangat terkait dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar
(menyuruh untuk mengerjakan kebaikan dan kebajikan dan melarang atau
mencegah untuk melakukan keburukan atau kemungkaran). Kebaikan dan
keburukan selalu ada dalam kehidupan kita dan tampil sebagai suatu
keadaan atau kekuatan yang berlawanan.
Dakwah
merupakan salah satu tugas dan kewajiban yang harus dilakukan oleh umat
Islam, sebagaimana perintah Allah dalam surat Ali Imran ayat 104 yang
berbunyi:
Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyuruh kepada
kebajikan dan mengajak kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar
dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Ayat ini mengandung makna agar setiap muslim berusaha menyatukan diri dalam gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar
untuk membebaskan diri dari kebodohan, kesengsaraan dan kemelaratan.
Atas dasar seruan ayat tersebut, K.H. Ahmad Dahlan tergerak hatinya
untuk mendirikan sebuah persyarikatan Muhammadiyah dengan tugas khidmat
melaksanakan misi dakwah amar makruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat luas.
Muhammadiyah
adalah organisasi yang lahir sebagai alternatif berbagai persoalan yang
dihadapi umat Islam Indonesia sekitar akhir abad 19 dan awal abad 20.
Muhammadiyah merupakan konsekwensi logis munculnya pertanyaan-pertanyaan
sederhana seorang muslim kepada diri dan masyarakatnya tentang
bagaimana memahami dan mengamalkan kebenaran Islam yang telah diimani
sehingga pesan global Islam yaitu rahmatan lil alamin atau kesejahteraan bagi seluruh kehidupan dapat mewujud dalam kehidupan objektif umat manusia.
Sejak
kehadirannya di tengah-tengah panggung sejarah, Muhammadiyah telah
memberikan kontribusi yang nyata bagi kehidupan masyarakat, berbangsa
dan bernegara di Indonesia. Peran dan partisipasi Muhammadiyah disebut
dengan amal usaha Muhammadiyah memang merupakan hal yang fundamental
bagi gerakan tersebut apalagi jika ditinjau dari latar belakang
kehadirannya. Partisipasi itu dijalankan dengan berbagai cara dan
bentuk, sejak gerakan itu lahir dan berlangsung hingga kini, memang
diakui oleh banyak pihak.
Dakwah
Rasulullah Muhammad menggunakan strategi; pendekatan personal,
pendekatan pendidikan, pendekatan penawaran, pendekatan missi,
pendekatan korespondensi, dan pendekatan diskusi. Strategi dakwah
Rasulullah tersebut ternyata telah menunjukkan keberhasilan, salah satu
indikasinya adalah dalam masa tugas kerasulan yang kurang dari dua puluh
tiga tahun, orang yang masuk Islam tidak kurang dari 114.000 orang.
Sekurang-kurangnya ada dua faktor yang sangat menentukan dalam dakwah
beliau; pertama, adanya konsistensi Nabi dengan kode etika dakwah, yang
antara lain; tidak memisahkan antara ucapan dan perbuatan, tidak
mencerca sesembahan lawan, tidak melakukan kompromi dalam hal agama, dan
tidak meminta imbalan. Kedua, adanya keteladanan yang beliau berikan
pada para sahabat (Ali Mustafa Yaqub, 2000: 94-95). Demikian juga dalam
strategi dakwah, ada dua macam strategi; bi-alqaul (bi-al-ihsan) dan bi-al-af’al, (termasuk bi al-khitabah atau bi-al-a’mal).
Penjabaran
dari kedua kegiatan itu melahirkan empat ragam kegiatan dakwah, yakni;
pertama, tabligh dan ta’lim; kedua, irsyad; ketiga, tathwir, dan keempat tadbir.
Tabligh dan ta’lim dilakukan dalam pencerdasan dan pencerahan
masyarakat melalui kegiatan pokok; sosialisasi, internalisasi, dan
eksternalisasi nilai ajaran Islam, dengan menggunakan sarana mimbar,
media massa cetak dan audia visual. Irsyad, dilakukan dalam rangka
pemecahan masalah psikologis, melalui kegiatan pokok; bimbingan
penyuluhan pribadi dan bimbingan penyuluhan keluarga, baik secara
prefentif maupun kuratif. Tadbir (manajemen pembangunan
masyarakat), dilakukan dalam rangka perekayasaan dan pemberdayaan
masyarakat dalam kehidupan yang lebih baik, peningkatan kualitas sumber
daya manusia, dan pranata sosial keagamaan, serta menumbuhkan serta
mengembangkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Tathwir
(pengembangan masyarakat), dilakukan dalam rangka meningkatkan sosial
budaya masyarakat, yang dilakukan dengan kegiatan pokok;
pentransformasian dan pelembagaan nilai-nilai ajaran Islam dalam
realitas kehidupan umat, yang menyangkut kemanusiaan, seni budaya, dan
kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain, tathwir berkaitan dengan kegiatan dakwah melalui strategi sosial budaya, atau dakwah kultural (Asep Muhyiddin, 2002: 34-35).
Atas
dasar ini dapat difahami, kalau apa yang semula merupakan gagasan dan
pokok-pokok pikiran pribadi K.H. Ahmad Dahlan itu kemudian
diintegrasikan menjadi gagasan dan pokok-pokok pikiran Muhammadiyah.
Tidak dapat disangkal, Muhammadiyah sebagai ormas ke-Islaman, telah
banyak memberi sumbangan nyata kepada umat. Tugas dakwah yang dilakukan
Muhammadiyah, mulai dari lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan,
dan lain-lain, yang dapat dirasakan betul manfaatnya oleh masyarakat.
Terutama dalam bidang pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan
bangsa, Muhammadiyah mempunyai andil yang cukup besar. Komitmen
Muhammadiyah kepada kaum lemah, anak yatim dan fakir miskin juga tidak
pernah luntur, ini bisa dilihat dengan adanya rumah sakit dan panti
asuhan yang dikelola oleh Muhammadiyah.
Peran
Muhammadiyah yang didirikan K.H Ahmad Dahlan dalam dakwah Islam
menggunakan strategi yang berpusat pada pembaharuan (tajdid) serta
menjaga kemurnian Islam (purifikasi). Dalam rangka kegiatan pembaharuan
dan pemurnian itu, selain dengan pemasyarakatan tajdid (dengan
menggerakkan telaah ulang atas sistim mazhab dan taklid buta),
Muhammadiyah juga mengadakan gerakan pemberantasan TBC (takhyul, bid’ah,
dan churafat). Untuk itu, dakwah Muhammadiyah banyak diarahkan untuk
memberantas segala hal yang berbau TBC (Weinata Sairin, 2005: 48-50).
Ada
dua prinsip dasar yang menjadi acuan dakwah yang dikembangkan pendiri
Muhammadiyah, K.H Ahmad Dahlan; pertama, adalah pembebasan, yakni
membebaskan manusia dari belenggu kebodohan, dan yang kedua, adalah
penghargaan atas harkat dan martabat kemanusiaan. Dalam upaya untuk
membebaskan masyarakat dari kolonialisme asing yang membodohkan, K.H
Ahmad Dahlan melakukan lompatan kultural dengan mengadopsi aspek-aspek
positif dari budaya asing, seperti mendirikan lembaga pendidikan, panti
asuhan, dan balai pengobatan. Sementara itu, untuk membebaskan manusia
dari belenggu budaya dan kepercayaan, K.H Ahmad Dahlan mengembangkan
pendidikan yang berbasis pada pengembangan akal dan rasionalitas.
Sebagai implikasi dari lompatan dakwah yang berbasis pengembangan akal
dan rasionalitas itulah K.H Ahmad Dahlan sering dipersepsikan anti
budaya lokal (Abdurrahim Ghazali, 2003: 9-11). Dengan dikenalkan dakwah
kultural di lingkungan Muhammadiyah mengindikasikan adanya aktualisasi
penyikapan atas segala budaya lokal di lingkungan persyarikatan
Muhammadiyah. Organisasi ini semakin menyadari tentang pentingnya budaya
local sebagai media dakwah, walaupun mungkin sekarang masih dalam
proses memilih, dan memilah dengan ’hati-hati’ berbagai macam budaya
lokal agar tidak bertabrakan dengan doktrin-doktrin yang sudah mapan di
Muhammadiyah.
A. Strategi Dakwah Kultural Muhammadiyah
Dakwah
kultural adalah; upaya menanamkan nilai-nilai Islam dalam seluruh
dimensi kehidupan dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia
sebagai makhluk budaya secara luas, dalam rangka mewujudkan masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya. Ciri-ciri dakwah cultural adalah dinamis,
kreatif dan inovatif (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2004: 26).
Muhammadiyah
yang didirikan KH Ahmad Dahlan, strategi dakwahnya berpusat pada
pembaharuan (tajdid) serta menjaga kemurnian Islam (purifikasi). Dalam
rangka kegiatan pembaharuan dan pemurnian itu, selain dengan
pemasyarakatan tajdid (dengan menggerakkan telaah ulang atas sistim
mazhab dan taklid buta), Muhammadiyah juga mengadakan gerakan
pemberantasan TBC (takhyul, bid’ah, dan churafat). Untuk itu, dakwah
Muhammadiyah banyak diarahkan untuk memberantas segala hal yang berbau
TBC.
Dengan
datangnya ‘pembaharuan’ dan ‘purifikasi’ yang dibawa Muhammadiyah sudah
barang tentu berbenturan dengan faham keagamaan yang sudah lama
berkembang di masyarakat yang notabene dalam ‘beberapa amaliah’ sudah
mendapatkan pembenaran dari ulama tradisionil. Oleh karena itu, dalam
sidang Tanwir Muhammadiyah di Denpasar, Bali, tahun 2002, memberikan PR
besar bagi warga Muhamamdiyah untuk menerobos wacana baru, yaitu “dakwah
kultural”. Wacana ini memang sangat kontraversial di kalangan
Muhammadiyah. Namun melalui pengkajian secara intensif oleh beberapa
tokoh di kalangan Muhamamdiyah, akhirnya dicapai kata sepakat untuk
mengagendakan dakwah kultural ke depan. Pada sidang tanwir Muhammadiyah
di Makassar, tahun 2003, telah direkomendasikan dakwah kultural sebagai
pendekatan sekaligus metode dalam berdakwah di Muhammadiyah (Mu’arif,
2005: 164-165).
Tegasnya
gerakan dakwah kultural ini cenderung mempertanyakan kebenaran
statement yang mengatakan bahwa gerakan dakwah dipandang belum
sungguh-sungguh memperjuangkan Islam, ketika belum secara terus-menerus
memperjuangkan negara berdasarkan syariat Islam. Dakwah kultural
mempertanyakan validitas tesis tersebut, apakah benar dakwah umat yang
berada di luar kekuasaaan, adalah dakwah yang tidak lengkap, dan
sempurna.
Sebagai
ormas Islam, Muhammadiyah sangat kental dengan predikat ‘pemurnian’,
sehingga kesannya angker, sebab banyak dari warga pedesaan khususnya,
merasa segala aktifitas berkesenian dilarang. Muhammadiyah dianggap anti
kesenian. Padahal tidak semua kesenian bertentangan dengan ajaran
Islam. Menurut Ahmadun Y Herfanda (budayawan dan wartawan), melihat
fenomena kebudayaan sekarang ini, Muhammadiyah sebaiknya memiliki
strategi yang jitu untuk mengakomodir berbagai budaya yang berkembang
dalam masyarakat, sekaligus menyaring seni dan budaya yang sesuai dengan
kepribadian dalam Muhammadiyah (Suara Muhammadiyah, 2006: 6-9). Hal itu
juga sesuai dengan gagasan ‘dakwah kultural’. Kalau selama ini dakwah
Muhamamdiyah terkonsentrasi pada kalangan abangan dan masyarakat
perkotaan semata, maka dengan adanya perubahan dan gerak zaman yang
begitu cepat, perlu adanya rumusan yang jelas menyangkut segmen pedesaan
untuk menjadi sasaran dakwah Muhammadiyah ke depan (Din Syamsuddin,
2005: v).
Untuk mengatasi problematika umat tersebut, maka aktivitas dakwah Muhammadiyah harus difokuskan pada beberapa hal. Pertama, pengentasan kemiskinan. Kedua, persiapan suplai elit muslim ke berbagai jalur kepemimpinan bangsa sesuai dengan skillnya masing-masing. Ketiga, mapping sosial umat sebagai langkah pengembangan dakwah. Keempat, pengintegrasian wawasan etika, estetika, logika, dan budaya dalam berbagai planning dakwah, Kelima, pendirian pusat-pusat studi dan informasi umat secara profesional yang berorientasi pada dinamisasi iptek. Keenam, menjadikan masjid sebagai pusat aktivitas ekonomi, kesehatan, dan syia’ar Islam. Ketujuh, menjadikan Islam sebagai pelopor yang profetis, humanis, dan transformatif (Usman Jasad, 2004: 38-39).
Dengan bahasa lain, dakwah Islam tidak boleh dijadikan obyek dan alat
legitimasi bagi pembangunan yang semata-mata bersifat ekonomis-pragmatis
(Muhammad Azhar, 2003: 12-13). Langkah-langkah tersebutlah yang akan membawa Islam menjadi sebuah gerakan dakwah yang progresif dan inklusif.
Efektifitas dakwah mempunyai dua strategi yang saling mempengaruhi keberhasilannya. Pertama,
peningkatan kualitas keberagamaan dengan berbagai cakupannya seperti di
atas, dan kedua, mampu mendorong perubahan sosial. Ini berarti
memerlukan pendekatan partisipatif di samping pendekatan kebutuhan.
Dakwah bukan lagi menggunakan pendekatan yang hanya direncanakan sepihak
oleh pelaku dakwah dan bukan pula hanya pendekatan tradisional,
mengutamakan besarnya massa.
Suasana
seperti itulah yang membuat dai dan mad’u terlibat diskusi secara
dialogis tentang dakwah Islam itu sendiri. Dengan demikian pola pikir
antar keduanya dapat disatukan
dan dimodifikasikan untuk menjadi pola pikir dan aksi secara konsisten.
Pandangan seperti ini sejalan dengan statemen Benedict dalam Theories of Man and Culture (Elvin Hatch, 1973: 29), di mana ia menyatakan:
All thought a culture is the chance accumulation of so many disparate elements
for tuitously assembled from all direction by diffusion, the
constituent elements a remodified to form a more or less consistent
pattern of thought and action. “Semua pikiran adalah suatu kultur akumulasi yang memberi kesempatan
sangat banyak bagi unsur-unsur yang berlainan untuk dirakit dari semua
arah difusi, unsur-unsur yang konstituen dapat dimodifikasi kembali
untuk membentuk suatu contoh pola aksi dan pikiran konsisten yang lebih
besar”.
Pada
dasarnya semua manusia yang sudah baligh, laki-laki maupun perempuan
diperintahkan oleh Allah untuk saling menopang demi terlaksana dan
tegaknya amar ma’ruf dan nahi munkar. Penegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar akan menjadi parameter kualitas khaira ummah.
Menurut Ibnu Katsir Umat yang terbaik adalah umat yang terbaik bagi
manusia dari sisi kemanfaatan mereka (Aunur Rahim Faqih, 2006: 52).
Dengan kata lain, kebaikan umat itu hanya ada pada implementasi dakwah
yang berwujud amar ma’ruf dan nahi munkar secara konsisten dan berkesinambungan.
Imam Abdullah an-Nasafi (2001: 194) dalam kitabnya Tafsir an-Nasafi menjelaskan mengenai amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai berikut:
اَلْمَعْرُوْفُ مَااسْتَحْسَنَ الشَّرْعُ وَالْعَقْلُ وَالْمُنْكَرُ مَااسْتَقْجَهُ الشَّرْعُ وَالْعَقْلُ،
أَوِالْمَعْرُوْفُ مَاوَافَقَ الْكِتَابَ وَالسُّنَةَ.
وَالْمُنْكَرُمَاخَالَفَهُمَا، أَوِالْمَعْرُوْفُ الطَّاعَةُ
وَالْمُنْكَرُالْمَعَاصِيْ
“Al-Ma’ruf adalah apa yang dinyatakan baik oleh syara’ dan akal, sedangkan al-munkar adalah apa yang dinyatakan buruk oleh syara’ dan akal. Bisa juga, al-ma’ruf ialah sesuatu yang bersesuain dengan al-kitab dan as-sunnah, sedangkan al-munkar adalah yang berseberangan dengan keduanya. Atau bisa juga al-ma’ruf adalah ketaatan kepada Allah, sementara al-munkar adalah kemaksiatan kepada-Nya”.
Menurut Zakiyudin Baidawy (www. Islamlib.com),
tokoh muda Muhammadiyah, berbeda dari dua model dakwah Muhammadiyah
sebelumnya yang anti- TBC, dakwah kultural Muhammadiyah adalah dakwah
pro-TBC. Yakni: 1) dakwah yang memanfaatkan dan membangkitkan kemampuan
imajinatif (takhayyul) individu dan masyarakat agar kehidupan semakin
estetik (indah), holistik, simbolik (dalam arti beradab), dan cerdas; 2)
dakwah yang mendorong, memotivasi, dan mengkondisikan individu dan
masyarakat untuk mencipta (kreatif) dan menemukan (inovatif) berbagai
hal baru (bid’ah) baik dalam ide (pemikiran, wacana, teori dalam
Muhammadiyah, dan masyarakat), aktivitas (praksis, gerakan
Muhammadiyah), dan bentuk kebudayaan (amal-amal usaha Muhammadiyah); 3)
serta dakwah yang mengeksplorasi seluruh kemampuan untuk meredefinisi
“mitos” (baca: cita-cita sosial, meminjam istilah Mohammed Arkoun),
mereproduksi, bahkan memproduksi mitos baru (khurafat) untuk mambangun
citra keberagamaan, keberislaman, dan keber-muhammadiyah-an dalam rangka
menuju masyarakat utama.
Untuk
itu, dakwah kultural tidak hanya difokuskan pada penyikapan atas budaya
lokal, tapi perlu diarahkan pada dakwah pengembangan masyarakat dengan
harus memperhatikan beberapa prinsip dasar, yaitu; pertama, orientasi
pada kesejahteraan lahir dan batin masyarakat luas. Dakwah tidak hanya
sekedar merumuskan keinginan sebagian masyarakat saja, tapi direncanakan
sebagai usaha membenahi kehidupan sosial bersama masyarakat, agar
penindasan, ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan tidak lagi hidup di
tengah-tengah mereka. Skala makro yang menjadi sasaran dakwah bukan
berarti meninggalkan skala mikro kepentingan individu anggota
masyarakat. Kedua, dakwah pengembangan masyarakat pada dasarnya adalah
upaya melakukan rekayasa sosial untuk mendapatkan perubahan tatanan
kehidupan sosial yang lebih baik.
Untuk
itu, landasan berpikir pada dai dalam melihat problem yang dihadapi
masyarakat adalah sebuah permasalahan sosial, yang mestinya pemecahannya
dilaksanakan dalam skala kehidupan sosial (Abdul Halim,
2005: 15-16). Dengan dikenalkan dakwah kultural di lingkungan
Muhammadiyah mengindikasikan adanya ’aktualisasi’ penyikapan atas budaya
lokal di lingkungan Muhammadiyah.Organisasi ini semakin menyadari
tentang pentingnya budaya lokal sebagai media dakwah, walaupun mungkin
sekarang masih dalam proses memilih, dan memilah dengan ’hati-hati’
berbagai macam budaya lokal agar tidak bertabrakan dengan
doktrin-doktrin yang sudah mapan di Muhammadiyah.
B. Penutup
Munculnya
kesenjangan sosial dan keterbelakangan umat Islam dalam penguasaan
ekonomi dan tekhnologi membutuhkan gerakan dakwah yang bersifat
aplikatif bukan teoritis. Dakwah sebagai agen penyebaran dan pembangunan
umat dituntut harus dapat merespon, menjawab atau memberikan solusi
atas munculnya persoalan umat.
Dakwah sebagai konsep dan gerakan yang menekankan prinsip bi al-hikmah wa al-mau'idzatul al-khasanah
dapat memasuki wilayah spektrum kegiatan manusia yang sangat luas
sehingga fungsi penyelenggaraan dakwah harus mampu mentransformasikan
ide-ide atau konsep agama ke dalam dataran praksis. Dakwah yang
menekankan adanya perubahan dan perbaikan kehidupan masyarakat inilah
yang selama ini dikenal dengan dakwah bil hal.
Era
informasi sekarang ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi
syi’ar Islam yang harus mampu untuk melakukan dakwah melalui tulisan di
media cetak, melalui rubrik, kolom opini yang umumnya terdapat dalam
surat kabar harian tabloid mingguan, majalah atau buletin internal
masjid. Penyampaian
pesan dakwah keagamaan adalah kewajiban setiap manusia untuk menuju ke
arah kebenaran yang dalam penyampaian kebenaran tersebut sangat beragam
metode dan caranya, baik melalui lisan, tauladan yang baik dan dengan
melalui tulisan di media massa, baik cetak maupun elektronik.
Muhammadiyah
sebagai organisasi Islam modern dituntut untuk dapat melaksanakan
dakwah, baik lisan maupun tulisan ataupun perbuatan, secara individu,
kelompok atau berbentuk organisasi atau lembaga. Secara umum adalah
setiap muslimin atau muslimat yang mukallaf (dewasa) dimana bagi
mereka kewajiban dakwah adalah sesuatu yang melekat tidak terpisahkan
dari misinya sebagai penganut Islam, sesuai dengan perintah: “sampaikan
walaupun satu ayat”. Sedangkan secara khusus orang yang menjadi dai
yaitu orang-orang yang mengambil spesialisasi khusus (mutakhasis) dalam bidang agama Islam yang dikenal dengan panggilan ulama.
Proses
dakwah sangat memerlukan pendekatan atau strategi sebagai salah satu
unsur yang akan mensosialisasikan ajaran-ajaran agama. Tanpa strategi
bagaimanapun baiknya ajaran agama pasti tidak mungkin bisa tersebar.
Begitu pentingnya unsur strategi dalam dakwah, maka diperlukan
orang-orang yang bisa mengemban tugas mulia itu. Oleh karena itu untuk
mendukung proses dakwah agar dapat berjalan dengan baik, maka
Muhammadiyah membekali para dainya dengan kemampuan-kemampuan atau
kompetensi-kompetensi yang menunjang demi suksesnya kegiatan dakwah yang
dilakukannya. Memang hal ini tidak mudah, memerlukan da'i-da'i
berkualitas, sebagai personifikasi sikap dan perilaku dalam kehidupan
Islami, yang mampu mengaktualisasikan dirinya di tengah-tengah
pluralitas masyarakat. Allah telah mengisyaratkan dalam surat Ali Imran ayat 110. Bahwa para da'i harus menjadi khaira ummah yang punya kemampuan menampilkan dirinya di tengah dan untuk masyarakat (ukhrijat li al-naas).
Ini berarti pelaku dakwah, termasuk Muhammadiyah harus memiliki
kemampuan menjawab sekaligus menerapkan jawaban atas pertanyaan apa,
siapa di mana dan kapan ia berada. Kemampuan ini bisa menumbuhkan
kesadaran akan potensi dirinya, posisinya, situasi dan kondisi yang
sedang dan akan dihadapinya. Hal inilah yang mendorong Muhammadiyah
menerapkan strategi dakwahnya dengan dakwah kultural.
Inti
dakwah kultural yang dikembangkan Muhammadiyah adalah menekankan
keragaman substansional, dakwah nilai-nilai Islam yang substansial
berupa; kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, kerjasama, dan semangat
melawan penindasan kemanusiaan. Dalam konteks keindonesiaan dakwah
pemberdayaan umat seperti ini lebih diperlukan mengingat sebagian besar
masyarakat Islam Indonesia lemah di berbagai bidang. Untuk itu forum
pertemuan kedua organisasi itu perlu sering dilakukan, baik dalam bentuk
diskusi, seminar maupun lainnya dengan topik pembicaraaan tentang upaya
memberdayakan umat secara bersama-sama.
* Tarqum Aziz S.H.I.
adalah ketua PC IRM Purwokerto (1998-2000)/Anggota PCPM Gandrungmangu
Cilacap, tinggal di Kamulyan Rt 09/II Bantarsari Cilacap bersama isteri
dan dua putrinya.
No comments:
Post a Comment