Oleh: Tarqum Aziz
Pengkajian dan penelitian tentrang Muhammadiyah tidak ada
habis-habisnya. Muhammadiyah ibarat sebuah rumah besar yang bisa dilihat
dari berbagai sudut, sehingga memunculkan banyak objek penelitian yang
sangat penting untuk di teliti. Apalagi Muhammadiyah itu bukan hanya
menggarap bidang dakwah (Islam) semata, melainkan suatu gerakan praksis
yang membumikan ajaran Islam dalam realitas sosial yang nyata (Dr.
H. Haedar nasir, M.Si).
Pernyataan haedar nasir diatas yang juga salah seorang pimpinan pusat
Muhammadiyah bukanlah sebuah kata-kata isapan jempol belaka. Karena dari
pernyataan “Rumah besar yang dapat diteliti dari berbagai sudut”
memunculkan keunikan tersendiri bagi Muhammadiyah. Bagaimana tidak
bahkan Nurcholis Madjid (Alm) sendiri pernah memuji gerakan Muhammadiyah
sebagai “cerita sukses umat Islam khususnya dalam bidang pendidikan dan
merupakan kesuksesan terbesar dalam gerakan praksis sosial yang telah
melahirkan ribuan amal usaha (lembaga pendidikan) yang tersebar di
seluruh penjuru tanah air.
Berdasarkan data terbaru (Profil Muhammadiyah) amal usaha Muhammadiyah
si bidang pendidikan berjumlah 5.797 buah, merupakan angka yang cukup
fantastis untuk sebuah lembaga pendidikan yang dinaungi dalam satu
payung organisasi dengan rincian ; 1132 Sekolah Dasar ; 1769 Madrasah
Ibtidaiyah ; 1184 Sekolah Menengah Pertama; 534 Madrasah Tsanawiyah ;
511 Sekolah Menengah Atas ; 263 Sekolah Menengah Kejuruan ; 172 Madrasah
Aliyah ; 67 Pondok Pesantren ; 55 Akademi ; 4 Politeknik ; 70 Sekolah
Tinggi dan 36 Universitas yang tersebar di seluruh Indonesia.
Total jumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah sebanyak itu merupakan
bilangan yang cukup fantastis bagi sebuah organisasi sosial keagamaan
dimanapun. Apalagi keberadaan lembaga pendidikan tersebut merupakan
pengejawantahan dari model pemahaman keagamaan (keIslaman) di
Muhammadiyah. Inilah yang kemudian menjadi sebuah pertanyaan, pemahaman
atau idiologi apa yang diterapkan oleh Muhammadiyah dalam mengurusi
lembaga pendidikan yang sebesar itu. Mungkin langsung timbul sebuah
jawaban dari pertanyaan tersebut “tentu saja idiologi Islam yang di
gunakan” karena Muhammadiyah berasaskan Islam (AD/ART Muhammadiyah).
Namun muncul kemudian pertanyaan “mengapa Muhammadiyah dengan idiologi
Islam dalam mengurusi lembaga pendidikanya dan organisasinya yang
mendekati umur seabad mengalami stagnasi dalam kegiatan tjdid dan
tanzihnya. Padahal dengan semngat tajdid dan tanzih lah Muhammadiyah
tersebut dilahirkan. Maka pada akhirnya bermunculanlah kritikan bahwa
Muhammadiyah telah mengingkari (disorientasi) cita-citanya sebagai
gerakan tajdid dan tanzih dengan semangat pembaharuan menjadi
“kemapanan” (established) yang pada akhir kritik menyebutkan bahwa
Muhammadiyah ibarat “seekor gajah bengkak”. Maka mendaratlah semua
kritikan kepada lembaga pendidikan. Karena pada dasarnya lembaga
pendidikanlah yang menentukan masa depan sebuah gerakan, organisiasi,
bahkan bangsa sekalipun ditentukan oleh pendidikan bagi masa depannya.
Untuk itu pengkajian dan penelitian lebih intensif perlu dilakukan pada
lembaga pendidikan Muhammadiyah demi keberlangsungan gerakan
Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan dakwah Islam yang notabenenya
lembaga pendidikan Muhammadiyah merupakan pencetak kader gerakan
Muhammadiyah.
Maka perlu dikaji lebih dalam lagi seperti apa lembaga pendidikan
Muhammadiyah mulai dari sejarah berdirinya sampai dengan sistem atau
idiologi apa yang sebenarnya digunakan oleh Muhammadiyah untuk mengelola
lembaga pendidikannya sekarang sadar ataupun tidak sehingga muncul
kritikan “gajah bengkak “ pada Muhammadiyah.
SEJARAH BERDIRINYA LEMBAGA PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH
Sebenarnya jika dikaji lebih dalam, berdirinya Muhammadiyah juga
didasari oleh faktor pendidikan. Sutarmo, Mag dalam bukunya
Muhammadiyah, Gerakan Sosisal, Keagamaan Modernis mengatakan bahwa
Muhammadiyah didirikan oleh KHA. Dahlan didasari oleh dua faktor, yaitu
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang
berkaitan dengan ajaran Islam itu sendiri secara menyeluruh dan faktor
eksternal adalah faktor-faktor yang berada di luar Islam. Maka
pendidikan Muhammadiyah adalah salah satu faktor internal yang mendasari
Muhammadiyah didirikan. Kita ketahui bahwa pada masa awal berdirinya
Muhammadiyah, lembaga-lembaga pendidikan yang ada dapat dikelompokkan
menjadi dua kelompok besar sistem pendidikan. Dua sistem pendidikan yang
berkembang saat itu, pertama adalah sistem pendidikan tradisional
pribumi yang diselenggarakan dalam pondok-pondok pesantren dengan
Kurikulum seadanya. Pada umumnya seluruh pelajaran di pondok-pondok
adalah pelajaran agama. Proses penanaman pendidikan pada sistem ini pada
umumnya masih diselenggarakan secara tradisional, dan secara pribadi
oleh para guru atau kyai dengan menggunakan metode srogan (murid secara
individual menghadap kyai satu persatu dengan membawa kitab yang akan
dibacanya, kyai membacakan pelajaran, kemudian menerjemahkan dan
menerangkan maksudnya) dan weton (metode pengajaran secara berkelompok
dengan murid duduk bersimpuh mengelilingi kyai juga duduk bersimpuh dan
sang kyai menerangkan pelajaran dan murid menyimak pada buku
masing-masing atau dalam bahasa Arab disebut metode Halaqah) dalam
pengajarannya. Dengan metode ini aktivitas belajar hanya bersifat
pasif, membuat catatan tanpa pertanyaan, dan membantah terhadap
penjelasan sang kyai adalah hal yang tabu. Selain itu metode ini hanya
mementingkan kemampuan daya hafal dan membaca tanpa pengertian dan
memperhitungkan daya nalar. Kedua adalah pendidikan sekuler yang
sepenuhnya dikelola oleh pemerintah kolonial dan pelajaran agama tidak
diberikan.
Bila dilihat dari cara pengelolaan dan metode pengajaran dari kedua
sistem pendidikan tersebut, maka perbedaannya jauh sekali. Tipe
pendidikan pertama menghasilkan pelajar yang minder dan terisolasi dari
kehidupan modern, akan tetapi taat dalam menjalankan perintah agama,
seangkan tipe kedua menghasilkan para pelajar yang dinamis dan kreatif
srta penuh percaya diri, akan tetapi tidak tahu tentang agama, bahkan
berpandangan negatif terhadap agama.
Maka atas dasar dua sistem pendidikan di atas KHA. Dahlan kemudian dalam
mendirikan lembaga pendidikan Muhammadiyah coba menggabungkan hal-hal
yang posistif dari dua sistem pendidikan tersebut. KHA. Dahlan kemudian
coba menggabungkan dua aspek yaitu, aspek yang berkenaan secara
idiologis dan praktis. Aspek idiologisnya yaitu mengacu kepada tujuan
pendidikan Muhammadiyah, yaitu utnuk membentuk manusia yang berakhlak
mulia, pengetahuan yang komprihensif, baik umum maupun agama, dan
memiliki keasadaran yang tinggi untuk bekerja membangun masyrakat
(perkembangan filsafat dalam pendidikan Muhmmadiyah, Syhyan Rasyidi).
Sedangkan aspek praktisnya adalah mengacu kepada metode belajar,
organisasi sekolah mata pelajaran dan kurikulum yang disesuaikan dengan
teori modern. Maka inilah sejarah awal berdirinya lembaga pendidikan
Muhammadiyah yang jika disimpulkan ihwal berdirinya lembaga pendidikan
Muhammadiyah untuk mencetak ulama atau pemikir yang mengedepnkan tajdid
atau tanzih dalam setiap pemikiran dan gerakannya bukan ulama atau
pemikir yang say yespada kemapanan yang sudah ada (established)
karena KHA. Dahlan dalam memadukan dua sistem tersebut coba untuk
menciptakan ulama/pelajar yang dinamis dan kreatif serta penuh percaya
diri dan taat dalam menjalankan perintah agama.
REALITA SISTEM PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH JELANG SATU ABAD
Sejarah awal berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah diatas telah
menunjukkan kepada kita bahwa pada awalnya lembaga pendidikan
Muhmmadiyah itu didasari atas realita pendidikan dengan kedua sistem
tersebut tidak mampu mencapai tujuan pendidikan Muhmmadiyah untuk
mencetak manusia yang mampu mengusung tajdid dan tnajih gerakan bahkan
pula tidak mampu mencapai tujuan pendidikan dalam arti khusu yaitu
khusus yaitu pendidikan sebagai proses pembentukan dan pengembangan
jiwa. Model pendidikan seperti itu hanya menempatkan objek didik sebagai
gudang kosong atau murid dianggap berada dalam kebodohan absolut
(basolute ignorance). Menyadari dua sistem tersebut tidak akan mampu
mencapai tujuan pendidikan Muhmmadiyah maka KHA. Dahlan merumuskan
sebuah sistem baru model pendidikan dengan menggabungkan sistem posistif
dari dua sistem tersebut demi mencetak manusia yang mempunyai landasan
gerakan tajdid dan tanzih dalam koridor Islam, dan mengesampingkan status
sosial maupun fasilitas yamg ada.
Tetapi apa yang dapat kita lihat saat ini sungguh merupakan kebalikan
dari sejarah awal berdirinya lembaga pendidikan Muhmmadiyah. Lembaga
pendidikan Muhmmadiyah yang ada saat ini ternyata lebih mementingkan
sarana fasilitas yang akan membawa nama besar sekolah untuk menggapai
yang namanya prestise dan untuk menarik banyak orang masuk ke lembaga
pendidikan tersebut dan mengesampingkan seperti apa manusia yang akan
dihasilkan dikemudian kelak. Sepeti yang disampaiakan oleh Prof.
Azyumardi Azra dalam bukunya Pendidikan Islam, Tradisidan Modernisasi ,
Menuju Mellinium Baru mengatakan bahwa “ di Indonesia belajar pada
sebuah lembaga pendidikan ibarat memilih sebuah hotel untuk menginap.
Semakin mewah hotel yang dipilih maka semakin tinggi prestise yang
didapat padahal esensi dari semua hotel adalah sama hanya sebagai tempat
menginap”. Di tambahkannya lagi bahwa diIndonesia belajar
ke sebuah perguruan pendidikan pertama-tama adalah untuk mengejar
status dan selembar ijazah, bukan keahlian, keterampilan dan
profesionalisme. Tidak bisa kita nafikan bahwa fakta yang ada dilapangan
khusunya di beberapa perguruan Muhammadiyah sendiri lebih mengedepankan
status kemewahan fasilitas dan berapa jumlah siswa yang mendaftar ke
sekolah tersebut sampai dengan lulus dalam sastu tahun pengajaran tanpa
melihat sudah sejauh mana manusia-manusia lulusan itu mampu berkompetisi
di dunia luar. Maka mahfumlah kita apabila kader-kader gerakan semakin
hari semakin sulit didapatkan khususnya kader tajdid dan tanzih.
Belum lagi kita menjumpai bahwa di beberapa perguruan Muhammadiyah masih
sering menggunakan metode sorogan dan wton tetapi dengan gaya baru.
Tidak lagi duduk bersimpuh sudah duduk dikursi empuk, tidak lagi
menggunakan kitab tetapi menggunakan alat-alat canggih yang semakin
membuat si guru semakin nyaman duduk di kursi empuknya dan hanya
menerangkan pelejaran dari kursinya tersebut. Peserta didik yang ada
hanya menjadi subjek didik yang pasif tanpa adanya proses dialogis dalam
teknik pengajaran. Disinilah terjadinya stagnasi terhadap pencetakan
kader tadi. Para subjek didik terus
dianggap sebagai seorang yang memiliki kebodohan absolut. Meminjam
istilah yang diperkenalkan paulo fereire, sistem yang banyak digunakan
oleh lembaga pendidikan Muhammadiyah adalah “Banking Concept of
Education”(konsep pendidikan Bank)”, yang akan mematikan potensi
kreatifitas berpikir subjek didik, dan posisi subjek didik hanya sebagai
gudang penyimpanan (Banking Concept) yang tidak tahu untuk apa barang
yang disimpan digudang otak mereka.
Maka pertanyaan “apa sebenarnya sistem yang digunakan oleh
lembaga pendidikan Muhammadiyah sudah dapat terjawab. Jika kita lihat
sistem pendidikan Muhmmadiyah yang ada sekarang lebih condong kepada
sistem Liberal di satu sisi dan disisi lain sistem konservatif. Sistem
liberal dalam pengelolaan sekolah dan sistem konservatif dalam sistem
pengajaran. Seperti yang kita ketahui bahwa sistem pendidikan liberal
lebih memecahkan masalah pendidikan dengan usaha “Reformasi Kosmetik”
(Pendidikan Popular) yang lebih menekankan fasilitas baru, memodernkan
peralatan sekolah serta berbagai usaha untuk meningkatkan rasio
murid-guru. Sedangkan sistem pendidikan konservatif adalah sebuah sistem
pendidikan yang seperti dikatakan diatas (sorogan dan weton)
menempatkan murid berada dlam kebodohan absolut dan guru dalam kebenaran
absolut sehingga murid tidak di perkenankan untuk berpikir, hanya
menerima pelajaran dari si guru dan ini merupakan sebuah kemapanan yang
harus di prtahankan.
Jelas sudah terjawab, mengapa kader tajdid dan tanzih serta produk
tajdid Muhammadiyah mengalami kemunduran, karena sistem pendidikan yang
digunakan saat ini adalah sistem yang mendukung untuk mematikan
kreatifitas berfikir. Maka kritikan yang mengatakan bahwa Muhammadiyah
seperti “Gajah Bengkak” tidak salah diberikan, karena dengan fasilitas
pendidikan yang cukup fantastis dan luar biasa banyak ternyata tidak
mapu untuk melakukan gerak dinamis.
QUO VADIS SISTEM PENDIDIKAN MUHMMADIYAH
Solusi untuk menjawab ini semua sebenarnya sudah dijawab dan dicontohkan
oleh KHA. Dahlan sendiri ketika awal mendirikan lembaga pendidikan
Muhammadiyah seperti yang telah dijelaskan di atas. Qou Vadis sistem
pendidikan Muhmmadiyah adalah jalan satu-satunya yang harus dilakukan.
Contohnya sudah dilakukan oleh KHA.Dahlan sendiri dengan membuat sebuah
terobosan baru dalam sistem pendidikan saat itu, maka Muhmmadiyah saat
ini yang umurnya menjelang satu abad juga harus melakukan terobosan baru
dalam sistem pendidikan yang ada (Tajdid Pendidikan), agar kader tajdid
dan tanzih serta ciri Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid dan tanzih
tidak hilang sehingga cita-cita lembaga pendidikan Muhmmadiyah segera
terwujud.
No comments:
Post a Comment