Muhammadiyah Boarding School Bumiayu

Pondok Pesantren Modern Muhammadiyah Boarding School (MBS) Bumiayu Menerima Santri Baru Tahun Pelajaran 2016/2017

Saturday, 16 January 2016

PEMIKIRAN K.H AHMAD DAHLAN


PEMIKIRAN K.H AHMAD DAHLAN


A.    Latar Belakang
Ahmad Dahlan terlahir dengan nama Muhammad Darwisy pada tahun 1868 dari kedua orang tuanya yaitu Kiai Haji Abubakar bin Kiai H Sulaiman dan Nyai Abubakar. Kedua orang tua Ahmad Dahlan dikaruniai oleh tujuh orang anak, lima perempuan dan dua laki-laki. Ahmad Dahlan sendiri adalah anak lelaki pertama yang ketiga kakaknya adalah perempuan.
Dilihat dari silsilahnya, Muhammad Darwisy terlahir dari keluarga yang mengerti agama. Muhammad Darwisy dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil yang mengajarinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. Ia menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa arab di Makkah selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan ibn Taimiyah.
Pada usia 20 tahun (1888), ia kembali ke kampungnya, dan berganti nama Ahmad Dahlan. Sepulangnya dari Makkah ini, iapun diangkat menjadi khatib amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902-1904, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah.[1]
Setelah pulang dari Mekkah, kemudian Dahlan menikah dengan Siti Walidah dan dikaruniai enam orang anak. Disamping itu, Dahlan juga pernah pula beristrikan dengan Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta. [2]
Dahlan mengajar agama pada anak-anak di sekolah negeri, misalnya Kweekschool di Jetis Yogya, sekolah Pamong Praja (OSVIA) dimagelang dan lain-lain. Dia mengajarkan agama Islam kepada banyak orang, terutama kepada calon-calon yang akan memegang jabatan penting dan berkedududkan tinggi. Dengan mendidik para calon pamongpraja tersebut diharapkan akan dengan segera memperluas gagasannya tersebut, karena mereka akan menjadi orang yang mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat. Demikian juga dengan mendidik para calon guru yang diharapkan akan segera mempercepat proses transformasi ide tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, karena mereka akan mempunyai murid yang banyak. Oleh karena itu, Dahlan juga mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu’allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu’allimat (Kweekschool Istri Muhammadiyah). Sering juga dia berziarah atau singgah dalam menambah ukhuwah serta mengekalkan silaturahmi kepada kiai-kiai dan ulama-ulama.
Untuk menambah pengalamannya dalam organisasi pergerakan, Dahlan memasuki beberapa organisasi yaitu Boedi Oetomo Kring Kauman, Syarikat Islam, Jam’iyah Khairiyah Jakarta, serta Anggota Panitia Tentara Pembela Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w.[3] Di organisasi tersebut beliau juga mengajarkan agama Islam bagi anggota-anggotanya.
Dengan cita-citanya yang luhur dan didorong oleh kawan-kawan seperjuangannya, Dahlan akhirnya mendirikan Muhammadiyah. Persjarikatan Muhammadiyah didirikan pada tanggal 18 November bertepatan dengan tanggal 8 Dzulhijah 1330 H. Dengan berdirinya Muhammadiyah ini membuat beliau semakin bersemangat dalam menyebarkan agama Islam dimana-mana. Mulai bermunculan cabang-cabang Muhammadiyah di daerah-daerah terutama di luar Pulau Jawa. Kemudian Beliau mendirikan sekolah sekolah untuk pribumi. Hal ini dilakukan untuk mengimbangi sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan pertentangan, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.
Pemerintah Hindia Belanda khawatir akan perkembangan organisasi ini. Kegiatan Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan  keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan mensiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jama’ah-jama’ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf bima kan,u wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.[4]
Hingga di akhir hayatnya, beliau masih memperjuangkan Islam. Bahkan dalam keadaan sakit pun beliau masih harus menempuh perjalanan jauh ke Batavia untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam. Akhirnya beliau wafat pada hari Jumat malam Sabtu tanggal 7 Rajab tahun 1334 H.[5]
B.     Konsep Pemikiran Ahmad Dahlan
1.      Pemikiran Ahmad Dahlan
Menurut Ramayulis dan Samsul Nizar dalam buku Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, hampir seluruh pemikiran Dahlan berangkat dari keprihatinannya terhadap situasi dan kondisi global umat Islam waktu itu yang tenggelam dalam kejumudan (stagnasi), kebodohan, serta keterbelakangan. [6] Kondisi ini sangat merugikan bangsa Indonesia. Latar belakang situasi dan kondisi tersebut telah mengilhami munculnya ide pembaharuan Dahlan. Ide ini sesungguhnya telah muncul sejak kunjungannya pertama ke Mekkah. Kemudian ide itu lebih dimantapkan setelah kunjungannya yang kedua.
KH Ahmad Dahlan pergi ke Mekah dua kali, pertama selama 8 bulan (setelah menikah dengan Siti Walidah binti Haji Fadhil), dan yang kedua pada tahun 1903 dengan  anaknya, Muhammad Siraj Dahlan.  Yang kedua ini ia bermukim selama satu tahun.  Sepulangnya ia dirikan asrama untuk mengajar, murid-muridnya berdatangan dari Yogya maupun luar Yogya (antara lain Pekalongan, Batang, Magelang, Semarang, Solo).
Ada perbedaan menarik mengenai cara mengajarnya, ketika belum berangkat ke Mekah yang kedua, KH Ahmad Dahlan masih mengajarkan kitab-kitab kalangan “ahlussunah wal jamaah” berupa kitab aqaid, fikih dalam mahzab Syafi’i dan tasawuf dari Imam al-Ghazali.  Namun, setelah berangkat yang kedua kali ke Mekah, kitab-kitab yang dibaca adalah kitab-kitab berisi pembaharuan keagamaan.  Diantara kitab-kitab yang sering dibaca antara lain; Risalat at-Tauhid (Muhammad Abduh), Tafsir Juz Amma (sama), Dariat al Marif (Farid Wajdi), Al Tasawul wa al Wasilah (Ibnu Taimiyyah), dll.[7]
Dapat dikatakan disinilah mulai munculnya pergeseran pemikiran.  Pergeseran ini memiliki beberapa faktor-faktor penyebab tentunya, selain buku-buku yang dia bawa tersebut.
Secara umum, ide-ide pembaharuan Ahmad Dahlan menurut Ramayulis dan Samsul Nizar dapat diklasifikasikan kepada dua dimensi, yaitu; Pertama, berupaya memurnikan (purifikasi) ajaran Islam dari khurafat, tahayul, dan bid’ah yang selama ini telah bercampur dalam akidah dan ibadah umat Islam. Kedua, mengajak umat Islam untuk keluar dari jaring pemikiran tradisional melalui reinterpretasi terhadap doktrin Islam dalam rumusan dan penjelasan yang dapat diterima oleh rasio.
Ide-ide pembaharuan tersebut hanya dapat dilaksanakan melalui pendidikan. Menurut Ahmad Dahlan pendidikan juga merupakan upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir yang statis menuju pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan.[8]
Jadi berarti pola pemikiran Ahmad Dahlan hampir sama dengan pola pemikiran Mohammad Abduh.  Menurut Abduh bahwa revolusi dalam bidang politik tidak akan ada artinya, sebelum ada perubahan mental secara besar-besaran dan dilalui secara berangsur-angsur atau secara evolusi. Tegasnya bagi Muhammad Abduh dalam rangka memperjuangakn terwujudnya ’izzul Isalam wal muslimin di samping umat Islam harus berani merebut kekuasaan politik kenegaraan, maka terlebih dahulu yang perlu dibenahi adalah memperberbaharui sember-sumber para mujaddin dan ulama. Lewat sumber-sumber inilah akan lahir kader-kader pembaharu yang akan menyebar ke seluruh dunia. Mengenai pelaksanaan pendidikan ---menurut Dahlan-- hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh yaitu Al-Qur an dan Sunnah.[9]
Landasan ini merupakan kerangka filosofis bagi memrumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertikal (khaliq) maupun horizontal (makhluk).
Seperti yang diketahui, semangat besar gerakan pemurnian Islam yang dibawa oleh tokoh-tokoh seperti Wahabbi dan Abduh adalah kembali kepada kitab dan sunnah.  Ahmad Dahlan terpengaruh banyak oleh pemikiran mereka dan teman-temannya seperti Rasyid Ridha atau Ibnu Tamimiyah.
Bagi KH. Ahmad Dahlan, fokus paling penting dalam pemikirannya adalah pendidikan.  Maka itu Muhammadiyah pertamanya dirintis dari sekolah yang ia dirikan, dan hingga kini banyak sekali sekolah Muhammadiyah yang terdapat di Indonesia.
Untuk mewujudkan ide pembaharuannya di bidang pendidikan, maka Dahlan merasa perlu mendirikan lembaga pendidikan yang berorientasi pada pendidikan modern, yaitu dengan menggunakan sistem klasikal. Apa yang dilakukannya merupakan sesuatu yang masih cukup langka dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam pada waktu itu. Di sini, ia menggabungkan sistem pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan tradisonal secara integral.
Ada satu hal yang cocok untuk mencari sebab mengapa KH. Ahmad dahlan tergelitik untuk melakukan pembaharuan pemikiran, dalam hal ini dikaitkan dengan hal yg lebih spesifik, yakni masalah sosial.  Menurut keterangan yg diperoloh dr biografinya, KH Ahmad Dahlan sangat gemar membaca, termasuk majalah-majalah berbahasa arab seperti majalah Al Manar dan Al Urwatul Wutsqa yg diperoleh dr hasil selundupan dari pelabuhan Tuban, Jawa Timur.[10]
Dia tidak memiliki peribadi pemberontak dan cenderung lurus-lurus saja semasa mudanya tapi dikenal sebagai pribadi yang cerdas dan terampil.  Dan mempertimbangkan usianya yang baru 36 tahun, mungkin mempengaruhi pula pemikirannya yang masih mudah menerima unsur-unsur baru.  Pemikirannya terpengaruh banyak oleh reformis Timur Tengah.  Malahan ada keterangan bahwa KH Ahmad Dahlan sempat bertemu langsung pada Sayid Rasyid Ridha tatkala di Mekah dan sejak itu ia membaca karya2 Abduh, Ridha, Ibnu, dll.[11]  Jika KH Ahmad Dahlan tidak mengambil seluruh substansinya, maka setidaknya ia telah mengambil spiritnya.
Mempertimbangkan keadaan di ambang awal abad 20 itu, hampir semua kelompok agama berada dalam keadaan yang stagnan.  Belum majubya pendidikan dan tekanan dari pihak Belanda melatarbelakangi hal tersebut.  KH Ahmad Dahlan mengalami kegelisahan, yang cenderung tidak muncul dikalnagan umat yang lain. 
Disebut kegelisahan karena tindakannya yang mengarah pada hal-hal sosial yang peduli umat dan tampak pula dalam renungannya tentang kematian. 
Setelah ditelusuri secara seksama, setidaknya terdapat tiga faktor minor KH Ahmad Dahlan terinspirasi.  Ketiga faktor tersebut adalah; renungan tentang kematian sebagai pendorong beramal saleh, beragama harus menyapa kehidupan, dan tauhid sebagai semangat dalam menerjemahkan kehidupan.[12]  KH Ahmad Dahlan merasakan dan menuliskan renungan mengenai keadaan setelah mati dan kegelisahan serta kekhawatiran yang ia rasakan. 
Sedangkan untuk yang kedua, ia menuliskan pemikirannya tentang peran agama dalam kehidupan.  Menurutnya agama seharusnya bukan hanya sekadar menjadi ritual tapi benar-benar dipahami sebagai pegangan hidup. 
 “Agama itu pada mulanya bercahaya berkilauan, akan tetapi semakin lama semakin suram. Namun yang suram itu bukan agmanya melankan manusianya” KH Ahmad Dahlan[13]
Kutipan perkataan KH Ahmad Dahlan itu menunjukkan agama dianggap suram karena tidak dipahami dengan baik.  Ia memulai pemaknaan lebih kepada agama Islam dalam keseharian, diantaranya dengan membaca tafsir.  Ia tidak menyukai keadaan umat yang sering melakukan pengajian yang hanya mengaji dalam bahasa arabnya, tanpa mengerti artinya.  Menurutnya, umat haruslah mengerti arti dari Al Qur’an.
Dan yang terakhir, arti tauhid menurut KH Ahmad Dahlan adalah persaudaraan berdasar ketunggalan akidah dan syariah dan persaudaraan kemanusiaan.[14] Yang pertama berarti memegang teguh akidah ketuhanan yang maha esa, tapi menjaga ukhuwah islamiyah.  Disini berarti menghormati yang lain.  Terdapat tataran yang berbeda dalam syariah bukanlah suatu yang besar dan bermasalah dalam kelompok-kelompok dalam umat.  Selama akidah ketuhanan tidak bisa lain, hanya menyembah Allah swt. Sedangkan untuk arti dari persaudaraan kemanusiaan, lebih kepada nilai sosial, yang berarti menunjukkan keinginan untuk menghadirkan kesejateraan bersama bagi umat.
C.    Anggaran Dasar Muhammadiyah
Anggaran dasar dari Muhammadiyah yang pertama kali dibuat terdiri dari 12 pasal. Pasal-pasal pada anggaran dasar Muhammadiyah semula berbahasa Belanda, anggaran dasar ini pun telah mendapat persetujuan dari Pemerintah Hindia Belanda pada masa itu. Berikut ini adalah beberapa pasal anggaran dasar dari Muhammadiyah (Sumber: Kumpulan artikel yang berjudul Muhammadiyah Digugat, karya Nur Achmad & Pramono U. Tanthowi):
Pasal 1.            Perserikatan ini ditentukan untuk jangka waktu 29 tahun mulai 18 November 1912. Namanya adalah “Mohammadiah” dan tempat kedudukan di Yogyakarta.
Pasal 2.            Persatuan ini bertujuan untuk: A. Menyebarluaskan ajaran agama Muhammad di kalangan penduduk bumiputera di Karesidenan Yogyakarta; B. Memajukan kehidupan beragama di antara para anggotanya.
Pasal 3.            Perserikatan ini berusaha sungguh-sungguh untuk mencapai tujuannya dengan: A. Mendirikan dan memelihara serta membantu lembaga pendidikan di mana di samping mata pelajaran biasa juga diberikan asas-asas ajaran agama Islam; B. Mengadakan pertemuan antara sesama agamanya dan orang lain yang mau datang di mana dibicarakan mengenai agama Islam; C. Mendirikan dan memelihara rumah-rumah suci; D. Menerbitkan dan membantu penerbitan buku-buku, surat-surat, selebaran, brosur, dan koran yang berisi soal-soal agama, kesusilaan dan akidah, sebagai alat untuk mencapai tujuannya, tetapi tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan negara, keamanan, dan ketertiban umum.
Pasal 4.            Anggota perserikatan terdiri atas anggota biasa, kehormatan dan donatur. Anggota biasa hanya orang Islam di Karesidenan Yogyakarta. Keanggotaan diperoleh dengan mengajukan permintaan kepada pengurus. Seseorang kehilangan keanggotaannya dari perserikatan berdasarkan permintaannya atau berdasarkan keputusan rapat umum anggota, menurut suara terbanyak. Anggota kehormatan ditetapkan oleh rapat umum berdasar usul dari pengurus, berhubung dia telah memberikan jasa yang istimewa kepada perserikatan. Donatur tidak dibedakan agama atau bangsanya dan dapat diangkat kalau dia telah menyatakan akan membantu perserikatan setiap tahun f 2,5 atau pemberian sekaligus sekurang-kurangnya f 25.
Dari anggaran dasar diatas, dapat dilihat mengenai kegiatan organisasi, tepatnya pada pasal 3. Konsentrasi Muhammadiyah sangat jelas merujuk pada tujuan awal seorang K.H.Ahmad Dahlan yang menginginkan melakukan perubahan terhadap tatanan Islam di Indonesia dengan jalur pendidikan. Konsentrasi pendidikan ini yang salah satunya akan menjadi faktor pendukung atas kebesaran Muhammadiyah.
Kemudian pada anggaran dasar pasal 4, mencerminkan toleransi serta pengakuan ke-prural-an beragama oleh Muhammadiyah. Terdapat pada kalimat “Donatur tidak dibedakan agama atau bangsanya dan dapat diangkat kalau dia telah menyatakan akan membantu perserikatan setiap tahun f 2,5 atau pemberian sekaligus sekurang-kurangnya f 25”, hal ini menandakan bahwa Muhammadiyah sebagai organisasi Islam tidak serta-merta menutup diri terhadap bantuan golongan atau umat agama selain Islam. Disinilah salah satu letak kemodernan Muhammadiyah serta bentuk nyata dari penolakan pemikiran tradisionalis Islam yang cenderung menutup diri atas interaksi dengan kaum atau golongan non-Islam.
D.    Muhammadiyah dan Perkembangan Zaman
Muhammadiyah memiliki dasar pemikiran organisasi yang berlandaskan Al-Qur’an dan Al-Hadist. Seperti kebanyakan organisasi ke-Islaman yang lain, aspek-aspek inti ajaran Islam pada Muhammadiyah adalah akidah, ibadah, akhlak dan mu’amalat dunyawiyyat (kemasyarakatan).[15]
Dalam menghadapi perkembangan zaman, Muhammadiyah menyeimbangkan antara aspek-aspek inti diatas dengan menggunakan akal pikiran (ijtihad) demi menjaga kemashlahatan perkembangan Islam. Namun, penggunaan akal dalam mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan aspek tersebut sebisa mungkin tetap pada jalur yang sekiranya tidak melenceng terlampau jauh dari kaidah Islam.
Pada era 1990-an, Muhammadiyah mengalami kehilangan jati dirinya sebagai organisasi pembaharu. Muhammadiyah terlihat lesu, seolah-olah Muhammadiyah menjadi organisasi yang tradisionalis bukan sebagai organisasi pembaharu. Ketika Nahdlatul Ulama (NU) memajukan diri dengan memunculkan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Nusumma yang bekerjasama dengan Summa Group, Muhammadiyah masih berkutat dengan persoalan-persoalan yang lebih tradisionalis seperti bunga bank.[16]
Muhammadiyah menyadari keberlangsungan modernisasi yang akan dihadapi umat Islam di Indonesia, yang kemudian dibahas pada muktamar ke-42 di Yogyakarta pada tanggal 15-19 Desember 1990 dilakukan pembahasan mengenai modernisasi yang akan terus berlangsung di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan organisasi Muhammadiyah sebagai organisasi yang membawa pembaharuan, sebagaimana wujud Muhammadiyah pada tahun-tahun awal berdirinya.
Pendirian organisasi Muhammadiyah sangat dipengaruhi oleh pembaharuan-pembaharuan Islam yang berada di Timur Tengah seperti misalnya pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad Abduh. Sebenarnya, inti daripada modernisme Islam yang paling mendasar terletak pada bidang pendidikan. Apabila Muhammadiyah berkenan untuk melakukan modernisasi Islam yang tidak melenceng dari Al-Qur’an dan Al-Hadist tentunya Muhammadiyah harus mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang berlandaskan tata cara modern Barat. Hal inilah yang kemudian memajukan image Muhammadiyah sebagai organisasi pembaharuan, dengan mendirikan lembaga pendidikan dengan sistem Barat. Namun, sangat disayangkan modernisasi yang dilakukan oleh Muhammadiyah hanya berbatas kepada sesuatu yang praksis saja (seperti pendirian sekolah, rumah sakit, dll), tidak berlanjut kepada hal-hal yang bersifat ideologis, dengan kata lain pembaharuan yang dilakukan Muhammadiyah sedikit melupakan penggunaan metode ijtihad yang menekankan pada akal kontekstual dan rasional. Muhammadiyah yang berkembang pada era 80-90an “melupakan” reformasi ijtihad, dan terlalu sibuk dengan masalah “rutinitas” organisasi.
Terhitung sejak tahun 1985 sampai pada muktamar Muhammadiyah ke-42 1990, terdapat berbagai perbincangan mengenai pembaharuan Muhammadiyah yang dinilai sudah tidak sesuai lagi untuk menjawab tantangan zaman. Semangat organisasi pembaharu untuk melakukan pembaharuan sangat kuat pada muktamar Muhammadiyah  ke-42. Setelah penyelenggaraan muktamar Muhammadiyah ke-42, terlihat adanya perubahan dalam tubuh Muhammadiyah, seperti pergeseran figur-figur kepemimpinan dari ulama dan wiraswasta menjadi figur guru dan birokrat atau pegawai negeri.[17]
Perubahan figur pada tubuh Muhammadiyah ini tentunya merupakan salah satu jawaban Muhammadiyah terhadap perkembangan zaman, para birokrat dan guru yang agamis ini digunakan sebagai penjalin antara perkembangan dengan rasionalitas. Perkembangan yang digunakan dua macam figur pemimpin ini tentunya diperlukan untuk keberlangsungan kekuatan organisasi yang mau tidak mau nantinya akan berhadapan dengan rakyat dan pemerintahan yang mengikuti perkembangan zaman, sehingga ke-“konservatifan” Muhammadiyah dapat diatasi dari dalam dan dari luar organisasi.
Daftar Pustaka:
Achmad, Nur dan Pramono U. Tanthowi, Muhammadiyah Digugat, Jakarta: Penerbit Harian Kompas. 2000
Damami, Mohammad. Akar Gerakan Muhammadiyah. Yogyakarta: Penerbit Fajar Pustaka Baru. 2000.
Salam, Junus. K.H Ahmad Dahlan: Amal dan Perjuangannya. Banten: Al Wasat Publishing House. 2009
Suja, Kyai. Islam Berkemajuan:Kisah Perjuangan K.H Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal. Banten: Al Wasat. 2009
Suryanegara, Ahmad Mansur. Api Sejarah: Buku yang Akan Mengubah Drastis Pndangan Anda tentang Sejarah Indonesia. Bandung: Salamadahi Pustaka Semesta. 2010
Syaifullah.Gerak politik Muhammadiyah dalam Masyumi. Jakarta: 1997
Tebba, Sudirman. Islam Orde Baru : perubahan politik dan keagamaan. Yogyakarta:1993
------, Kyai Ahmad Dahlan. Didownload dari www.muhammadiyah.com pada hari selasa, 8 Maret pukul 19.00 WIB 2011
------. www.adabpadang.co.cc pada tanggal 9 Maret 2011, pukul 20.00 WIB


[1] ---, Kyai Ahmad Dahlan. Didownload dari www.muhammadiyah.com pada hari selasa, 8 Maret pukul 19.00
[2] Junus Salam, K.H Ahmad Dahlan: Amal dan Perjuangannya. (Banten: Al Wasat Publishing House) Hlm. 61
[3] Ibid. Halm. 64
[4] Ahmad Mansur Suryanegara. Api Sejarah: Buku yang Akan Mengubah Drastis Pndangan Anda tentang Sejarah Indonesia. (Bandung: Salamadahi Pustaka Semesta) Halm. 440
[5] Kyai Suja. Islam Berkemajuan:Kisah Perjuangan K.H Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal. (Banten: Al Wasat) Halm. 190-191
[6] www.adabpadang.co.cc pada tanggal 9 Maret 2011, pukul 20.00 WIB
[7] Mohammad Damami. Akar Gerakan Muhammadiyah. (Yogyakarta:Penerbit Fajar Pustaka Baru) Halm.  82.
[8] www.adabpadang.co.cc pada tanggal 9 Maret 2011, pukul 20.00 WIB
[9] www.adabpadang.co.cc pada tanggal 9 Maret2011, pukul 20.00 WIB
[10] Op.cit, hal 83
[11] Ibid
[12] Ibid hal 86
[13] Ibid hal 90
[14] Ibid Hal 97
[15] Nur Achmad & Pramono U. Tanthowi, Muhammadiyah Digugat, (Jakarta: Penerbit Harian Kompas, 2000), hal. 9.
[16] Ibid. hal. 21.
[17] Ibid. hal. 69.

Akar Pemikiran KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asyari'


Adi Sutakwa
(Mahasiswa Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta) 

Akar Pemikiran KH Hasyim Asyari dan KH Ahmad Dahlan

Muslimdaily.net – Pembahasan mengenai NU dan Muhammadiyah sebenarnya sudah tidak terlalu darurat sekarang, karena suasana hubungan NU dan Muhammadiyah tidak sepanas dulu. Namun sebagai ummat yang kadang jika disodorkan pertanyaan “kamu NU apa Muhammadiyah?” oleh orang awam, dan seringkali kita malah menjawab Ahlus sunnah wal jamaah, malah membuat si penanya awam itu bingung, lantas tidak kita jelaskan apa itu ahlus sunnah wal jamaah, kita abai pada ummat yang belum faham. Barangkali lebih pas jika kita tahu terlebih dahulu, bahwa NU dan Muhammadiyah itu sama-sama ahlus sunnah wal jamaah, jadi ndak masalah esoknya si penanya bertanya lagi dan kita jawab NU, lantas lusa dia tanya lagi kita jawab Muhammadiyah. Tentu saja penjelasannya menyusul.
NU dan Muhammadiyah ada di wilayah berbeda bung, kita mesti tahu itu. NU itu di wilayah pemikiran, sedang Muhammadiyah di wilayah amal. KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asyari seperti kita tahu sebelumnya diceritakan pernah ngaji bersama pada beberapa guru yang sama di Makkah, tapi rasanya kita juga perlu tahu bahwa mereka juga pernah ngaji di pesantren yang sama di Kendal, bahkan satu kamar di asrama. KH Ahmad Dahlan lebih muda dua tahun dibanding KH Hasyim Asyari. Dan jangan lupa pula, pasca khatam dari Mekkah, mereka juga ngaji bareng lagi dengan Kiai Kholil Bangkalan, yang jika diturut nasabnya nyambung ke Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati. Mahzab fiqihnya Syafii, aqidahnya merujuk Asy’ariah dan Maturidiyah, rujukan lain sama-sama ke Imam Ghazali juga. Nah, lantas beda dimana?
Bedanya pada bahan bacaannya. KH Hasyim Asyari banyak membaca pemikiran salafy, sedang KH Ahmad Dahlan banyak membaca pemikiran wahabi. Perlu diketahui istilah ‘salafy’ dan ‘wahabi’ di Arab dahulu sangat berbeda dengan sekarang. Wahabi dirintis oleh Muhammad bin Abdul Wahab, dan salafy dicetus oleh Muhammad Abduh. Pencitraan wahabi yang disamapadankan dengan salafy lantas dicitrakan sebagai golongan ekstrimis di Indonesia adalah pengambilan kesimpulan yang bodoh. Mereka tidak tahu sejarah sehingga secara serampangan menganggap wahabi dan salafy adalah mahzab yang sama sekali utuh.
Muhammad bin Abdul Wahab tampil dengan pemikiran dan kondisi ummat pada saat itu yang sudah terlalu jauh dari agama, maka ia mengembangkan pemikiran ‘kembali pada Quran dan hadist’. Semua hal dan permasalahan yang terjadi kemudian diturut pada ayat Quran dan hadist yang cocok sehingga kita dapati kemudian pemikiran wahabi ini terkesan kaku. Pada kondisi saat itu, pemikiran semacam ini tentu perlu mengingat keadaan ummat yang semakin sakit parah, namun inti ajaran ‘kembali pada Quran dan hadist’ ini seakan tidak paripurna karena meninggalkan bangunan ilmu ulama terdahulu. Semua permasalahan umat dikembalikan pada Quran dan hadist seolah cocok sempurna 100%, tanpa penyesuaian dengan psikologi dan kondisi ummat. Padahal ilmu hadist dan ilmu fiqih lebih dulu lahir ilmu fiqih, sehingga tidak mungkin serta merta meniadakan ulama-ulama fiqih dalam memahami hadist. Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab ini lantas disebut sebagai purifikasi. Pemurnian.
Kemudian lahirlah pemikiran lain dari Muhammad Abduh, dengan pangkal usaha membuka kembali pintu ijtihad. Inti pikirannya juga tetap sama melakukan kritisisme pada kondisi ummat dan ulama terdahulu, namun tidak semuanya, tidak seluruhnya. Sehingga bangunan ilmu ulama terdahulu tidak seluruhnya tertolak, namun disesuaikan dengan kebutuhan ummat. Pemikiran ini juga membuka diri dari pemikiran barat, yang salah satunya adalah egaliterisme politik, sering kita sebut sebagai demokrasi. Yang sebenar-benar intinya memang telah ada sejak zaman empat khalifah, tentu kita ingat bagaimana empat khalifah dipilih lewat jalan musyawarah, kesepakatan bersama, inti demokrasi, intisari yang kemudian berubah menjadi masa dinasti pada kerajaan Muawiyah. Itulah demokrasi yang sebenarnya, bukan salah kaprah dan salah tingkah dengan nggampangke pake cara voting yang secara paksa dapat ajaib menyamakan ‘batu kali’ dengan ‘batu akik’ dan ‘emas berlian’.
Nah, salafy dan wahabi menjadi padu sepadan pada fiqih ibadah, diantara banyak dasar fiqih dan pemikiran lain. Hal tersebut yang kemudian secara bodoh disamakan oleh para perusak ukhuwah Islam bahwa salafy dan wahabi adalah sama, dan radikal, ekstrim, mengancam ketentraman ummat. Padahal dua-duanya lahir dari pemikiran mendalam kondisi dan kerusakan ummat pada zaman itu, pemikiran yang sama-sama berdiri untuk kembali memurnikan dan memegang teguh islam secara utuh.
Nahdlatul Ulama
NU Boyolali menerbitkan satu buku yang seolah menyegarkan, dimana selama ini jarang sekali ada buku terbitan NU. Pada buku itu, salah satu isinya menyiratkan bahwa NU Boyolali melakukan kritik pada kondisi NU sendiri yang saat ini terlalu mengutamakan tanfidiyah (organisasi) dan bukan syuriah (ulama). Padahal bangunan dasar NU adalah ketaatan pada dewan ulama dengan pertimbangan dan pengalaman yang lebih, ketimbang pengambilan keputusan oleh para golongan muda di organisasi.
NU sebenarnya sangat menjunjung tinggi ilmu, KH Hasyim Asyari sendiri mengatakan bahwa “anda harus tahu siapa guru anda, guru anda belajar dan berguru pada siapa, sehingga ilmunya dapat dirunut hingga ulama terdahulu. Rumah itu dimasuki lewat pintu, bukan lewat jendela, kalau anda masuk rumah tidak lewat pintu, itu berarti anda mencuri.” Seolah ingin mengatakan, sama seperti ilmu, kalau tidak didapatkan lewat guru yang berurut riwayat ilmunya, maka ilmu itu seperti ilmu curian saja, terpotong-potong, tidak utuh, tidak jelas.
Maka pentingnya pondok tradisional saat ini sudah seperti membangun negara baru saja, seperti Gontor yang banyak menghasilkan tokoh negeri, pun Sidogiri yang konsisten menyeimbangi kebingungan masyarakat ditengah banyaknya ‘kiai’ palsu. Yang nyata dapat dijadikan contoh adalah peristiwa kritik buku Quraish Shihab oleh sekumpulan pemuda lulusan Aliyah pondok Sidogiri. Buku Quraish Shihab yang bejudul “Sunni-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?” yang terbit pada kisaran Maret 2007, di-counter dengan apik hanya dalam hitungan bulan dengan terbitnya buku “Mungkinkah Sunnah Syiah Bersatu Dalam Ukhuwah?” pada kisaran September 2007 yang dipimpn oleh anak muda bernama Ahmad Qusyairi Ismail.
Inilah inti bahwa pendidikan di pesantren sangat tepat dan sesuai kebutuhan, hingga setingkat lulusan Aliyah saja dapat dengan elegan merubuhkan logika-logika “kiai profesor” yang hingga hari ini terus saja membuat ummat bingung. Pendidikan di pesantren tradisional yang masih memegang teguh sistem turun temurun sangat individualis, karena tidak menggunakan kurikulum. Ini justru jadi solusi pendidikan yang pas, trep, santri yang baru belajar satu tahun dapat saja menyaingi pemahaman dan wawasan santri yang telah belajar sekira lima tahun, dan hal ini sah sah saja di pesantren, karena pada hakikatnya kita memang tidak bisa melakukan penyamarataan pada kemampuan dan kapasitas murid. Maka ndak masalah ada manusia Indonesia yang di pesantren hanya 2,5 tahun plus keluar dengan predikat “diusir”, lantas hari ini jadi guru bangsa yang selalu ‘di-sowani’ para calon pemegang kekuasaan negeri untuk sekedar ‘minta restu’.
Sama seperti saat Imam Ghazali sebagai penasehat kerajaan mulai tidak diindahkan, maka ia memutuskan untuk mundur dari jabatan tersebut dan mengasingkan diri ‘mengaji’ pada gurunya di pesantren tradisional di daerah terpencil. Oleh gurunya ia ditempatkan di kelas setingkat anak umur paud, bayangkan, qadhi ahli fiqih ditempatkan di kelas umur paud, tapi itulah cara khusus pesantren untuk mendidik kematangan emosional dan mental santri-santrinya.
NU sendiri sebenarnya berdiri untuk menangkal perkembangan wahabisme yang terlalu rigid. NU memang punya dendam sejarah pada peristiwa serbuan wahabi ke Mekkah yang pada peristiwa tersebut salah satu syekh NU dibunuh di rumahnya sendiri. Maka KH Hasyim Asyari melakukan pengembangan NU di Indonesia khusus untuk mengantisipasi wahabisme rigid yang kebablasan tersebut yang mungkin juga akan menyebar di Indonesia. Kemudian KH Hasyim Asyari mengutus teman dekatnya untuk menyusup dan belajar sebagai Muhammadiyah untuk sekaligus mendampingi KH Ahmad Dahlan dalam pengembangan Muhammadiyah-nya.
Muhammadiyah
Kita terkadang seperti menafikan peran NU dalam pencerdasan umat, padahal jika diperhatikan secara seksama, gerakan NU dan Muhammadiyah memang berbeda wilayah sejak awal, jadi tidak bisa dibenturkan. NU berada pada wilayah pemikiran, lewat bangunan ilmu di pesantren-pesantren tradisional. Dan Muhammadiyah pada wilayah amal, lewat bangunan amal diperkotaan, lewat sekolah, universitas, rumah sakit, dan banyak yayasan sosial.
Untuk memahami itu, kita mesti kembali membuka sejarah kapan awal mula Muhammadiyah menjadi gerakan amal. Muasalnya berada pada saat Politik Etis digemakan oleh pemerintah belanda. Politik Etis lahir dari protes kaum intelektual dan kaum rohaniwan Belanda pada Ratu Belanda mengenai hasil bumi dan harta Hindia Belanda (Indonesia) yang kerap digunakan untuk kepentingan Belanda (di Eropa) tanpa memberikan perhatian lebih lanjut pada kondisi ummat kristen di Hindia Belanda. Padahal agama kristen menganggap tanah baru yang penduduknnya tidak beragama kristen adalah tanah yang harus didakwahi. Maka dari situlah dimulai misi Gospel. Didirikan banyak sekolah kristen, rumah sakit, dan bayak sektor sosial ekonomi yang digunakan atas nama kristen untuk kepentingan penyebaran agama kristen.
Disitulah Muhammadiyah tampil, untuk menyaingi segala hal sosial ekonomi berbasis kristen yang sedang gencar diperkuat oleh Belanda, hingga ke akar-akarnya yang pada saat itu petani banyak didampingi oleh para pastor kristen pun, kader Muhammadiyah masuk turun  mendampingi petani hingga perlahan sama sekali minimal dapat seimbang antara keberadaan muslim dan kristen pada wilayah sosial ekonomi mayarakat, hingga pada akhirnya dapat menggantikan peran para pastor kriten itu.
Muhammadiyah tidak pernah bicara politik, maka jika pada suatu peresmian pesantren tahfidz pernah saya temui pimpinan Muhammadiyah setempat yang menjanjikan suara pemenangan Bupati, saya hanya ngekek saja dan berkhusnudzon bahwa orang ini ndak tahu sejarah perpolitikan Muhammadiyah. Muhammadiyah mempunyai wakil khusus di Masyumi dan wakil khusus ini tidak pernah menjadi pejabat tinggi Masyumi. Masyumi sendiri pernah sangat kondusif saat KH Hasyim Asyari masih hidup dan mengeluarkan fatwa bahwa satu-satunya kendaraan politik umat muslim harus lewat Masyumi, hal yang kemudian tidak diindahkan para kader politik muda paska KH Hasyim Asyari wafat hingga menimbul gejolak yang menyebabkan Masyumi diminta bubar oleh Presiden Soekarno, suara NU di Masyumi-pun seolah dipingggirkan dan tidak dapat mengikat, hanya sebagai ‘pertimbangan’.
Sejarah menceritakan pada kita bahwa kapasitas dan kapabilitas pemimpin dalam meredam dan mengelola konflik hingga ujung bawah ummat adalah hal yang sangat krusial. Konflik ini bertambah runcing beberapa tahun kemudian paska bubarnya Masyumi hingga pada saat itu sangat kentara anggapan “menteri agama dari siapa?” NU atau Muhammadiyah. Hingga saat-saat terparahnya pada tahun 70-an Muhammadiyah melakukan pembedaan dari NU. Salat tarawih diubah menjadi 8 rakaat plus 3 rakaat witir, masjid diubah penandanya menjadi kentongan dari semula bedug, rebutan masjid – ini masjid NU; itu masjid Muhammadiyah, dan banyak lagi gesekan akar rumput yang diawali oleh arogansi politik petinggi kedua belah pihak. Hal ini kelak di-‘panas’-kan lagi menjelang lengsernya Soeharto, dimana Gus Dur masuk barisan politik NU sedang tiga pendekar Chicago (Buya Syafii, Nurcholis Madjid, dan Amien Rais) masuk barisan Muhammadiyah, ummat kembali jadi korban kebingunan.
Nahdlatul Muhammadiyyin
Maka dagelane Cak Nun dadio kowe podo Nahdatul Muhammadiyin wae. Sebuah dagelan yang hanya akan ditanggapi lewat tawa satir mereka yang memang hanya mencari tawa dengan Cak Nun, tapi menjadi sindiran tegas untuk pada pencari ilmu sing tenanan, mesti mbukak meneh sejarah, sinau meneh dari awal akar-akar pemikiran KH Hasyim Asyari dan KH Ahmad Dahlan, bukan soal NU dan Muhammadiyah. Tidak penting soal NU dan Muhammadiyah, wong kui mung geguyone poro gawan politik wae lho. Ora ngerti opo yen Muhammadiyah yo pernah salat tarawih 20 rakaat, ora ngerti opo yen mbiyen kui mesjide NU Muhammadiyah podo – ora isoh dibedake sing endi sing Muhammadiyah, sing endi NU, karena memang akar pemikirannya nyawiji cah. Wes kowe kuwi ngikuti serat-serat pemikirane wae, dasar pemikiran. Bedane mung bacaane lho, bacaane KH Hasyim Asyari karo KH Ahmad Dahlan yo ijtihad kuwi, podo koyo kowe seneng lothek sing nganggo kacang opo lotek gula asem sing ora nganggo kacang. Sing luwih pas karo roso lan pikiran tentremmu sing endi. Urusane karo rosone.
Maka pasca Masyumi diminta bubar, dan Soekarno menurunkan Dekrit, dikirimilah Soekarno sepucuk surat oleh banyak ulama. Yang isinya berinti meminta Soekarno menyertakan Piagam Jakarta pada Dekritnya, dan hal ini dilakukan benar-benar pada masa Soekarno, sehingga bunyi Dekrit adalah “kembali ke UUD 1945 dan Pancasila yang dijiwai oleh Piagam Jakarta”, kata “dijiwai” ini yang kelak dihilangkan pada masa Orde Baru. Para ulama memang lebih mengutamakan Islam sebgai falsafah negara, islam dalam kenegaraan, islam termaktub dalam rambu-rambu negara, islam sebagai dasar negara, bukan negara islam. Tapi hal ini yang sering sekali di alay-alaykan oleh para liberal dan syiah hingga sering sekali memunculkan isu-isu yang berusaha memisahkan islam dari negara, meniadakan islam dari negara, menjadikan Majapahit dan Sriwijaya sebagai rujukan, menafikan kerajaan-kerajaan islam dalam membangun wacana sejarah.
Mereka-mereka itu sing jane ora podo moco sejarah. Malah dadi dagelan buat pemuda-pemuda yang serius dalam menggiati dan bercengkrama dengan sejarah. Yah, pada akhirnya kita kembali bertasbih saja dalam dagelan itu, karena sungguh Maha Suci Allah dan segala perbendaharaannya telah menciptakan Indonesia yang otentik dari semua segi dagelan lain di muka bumi. Dagelan yang bahkan dapat mendewasakan ummat dalam kebingunan. Wes pokok’e gak ono meneh dagelan koyo ning Indonesia iki.
Pada puncak dagelan yang klimaks, air akan keluar dari mata. Dagelan yang tadinya menghibur menjadi seperti nyawiji dengan tangis yang satir. Membentuk ironi, apakah ini hiburan sebagai sedekah Allah pada manusia Indonesia, atau tangisan yang menandakan cethek e utek kita pada ilmu dan kagoknya kita pada kedalaman menyusuri sirath Allah. Wallahu alam, mari belajar kembali, lagi dan terus. Pokok’e saiki yen ditakoki kowe Muhammadiyah opo NU kiro-kiro wes isoh mantep jawabe to yo?
——-
Disarikan dari Kajian Akar Pemikiran KH Hasyim Asyari dan KH Ahmad Dahlan dengan Ustad Arif Wibowo – Ketua Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI – http://www.taman-adabi.com) – Solo – 150702 1644
——-
Penulis: Adi Sutakwa (adi.sutakwa@gmail.com) – Mahasiswa Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta
Dipublikasikan ulang seizin penulis dari http://sutakwa.wordpress.com/2015/07/06/akar-pemikiran-kh-hasyim-asyari-dan-kh-ahmad-dahlan/

Muhammadiyah dan Gagasan Pemikiran KH Ahmad Dahlan

Muhammadiyah dan Gagasan Pemikiran KH Ahmad Dahlan

Oleh: Prof Dr A Rasyid Asba MA
(Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin, Makassar)

“Gerakan pembaharuan adalah jawaban terhadap tantangan zaman dalam suatu kurun waktu sejarah tertentu. Ia merupakan panggilan sejarah untuk mengatasi tantangan zaman tertentu yang bergerak dari satu titik kegelapan ke titik terang yang menderang. Cita-citanya adalah terciptanya orde sosial baru.”
Pernyataan Toynbee di atas memberikan isyarat kepada kita bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan adalah suatu momentum perubahan dari satu titik ke suatu titik cita-cita perjuangan.
Setiap pergerakan mempunyai jiwa zaman yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Misalnya jiwa zaman awal munculnya Muhammadiayah sebagai gerakan pembaharuan tahun 1912 adalah sebuah perubahan yang terorganisir.
Ia menjadi gerakan perjuangan yang tidak terencana menjadi terencana, dari perjuangan yang sifatnya kedaerahan menjadi perjuangan yang sifatnya nasional, dari bangsa yang tidak berparlemen menjadi bangsa yang berparlemen, dari zaman keterikatan tradisi menuju kebebasan manusia yang tidak terikat.

Awal Mula Berdirinya
Muhammadiyah didirikan oleh Muhammad Darwis yang kemudian dikenal sebagai KH Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah yang bertepatan 18 November 1912 Masehi. Keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya, tidak lepas dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan KH Ahmad Dahlan. Setelah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim yang kedua kalinya pada tahun 1903, Kyai Dahlan mulai menyemaikan benih pembaruan di Tanah Air. Gagasan pembaruan itu diperoleh Kyai Dahlan setelah berguru kepada ulama-ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah, seperti Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Masku-mambang. Juga setelah membaca pemikiran-pemikiran para pembaharu Islam seperti Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Kelahiran Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi untuk mengaktualisasikan gagasan-gagasannya merupakan hasil interaksi Kyai Ahmad Dahlan dengan kawan-kawan dari Boedi Oetomo, khususnya mereka yang tertarik dengan masalah agama yang diajarkan Kyai Dahlan. Mereka adalah Raden Budiharardjo dan Raden Sosrosugondo. Gagasan itu juga merupakan saran dari salah seorang siswa Kyai Dahlan di Kweek-scholl Jetis di mana Kyai mengajar agama pada sekolah tersebut secara ekstrakulikuler.
Muridnya tersebut sering datang ke rumah Kyai dan menyarankan agar kegiatan pendidikan yang dirintis Kyai Dahlan tidak diurus oleh Kyai sendiri tetapi oleh suatu organisasi agar terdapat kesinambungan setelah Kyai wafat.
Dalam catatan Adaby Darban, ahli sejarah dari UGM kelahiran Kauman, nama “Muhammadiyah” pada mulanya diusulkan oleh kerabat dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang bernama Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang kemudian menjadi penghulu Kraton Yogyakarta.
Kyai Dahlan kemudian menerima saran tersebut dan memutuskan menggunakan nama Muhammadiyah setelah melalui shalat istikharah (Darban, 2000: 34). Artinya, pilihan untuk mendirikan Muhammadiyah memiliki dimensi spiritualitas yang tinggi sebagaimana tradisi kyai atau dunia pesantren.
Pada awalnya Muhammadiyah adalah sebuah gerakan kesetikawanan sosial yang cita-citanya meningkatkan kualiatas umat Islam. Ia bercita-cita mewujudkan Gerakan Indonesia Mulia. Cita-cita tersebut diawali dengan kepeloporan KH Ahmad Dahlan.
Kesan sepintas bila kita mempelajari perilaku KH Ahhmad Dahlan adalah mencapai cita-cita Indonesia yang menjunjung pemba-haruan Islam.

Melawan Pemurtadan
Sangat tepat kalau prestasi tersebut dianggap sebagai langkah maju, langkah seorang pembaharu dengan lahirnya sebuah organisasi yang berstandar modern, paling tidak, pada masa pergerakan nasional.
Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk mengaktualisasikan pikiran-pikiran pemba-ruan Kyai Ahmad Dahlan, menurut Adaby Darban (2000: 13), secara praktis-organisatoris juga untuk mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1 Desember 1911.
Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari “sekolah” (kegiatan Kyai Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang dikem-bangkan Kyai Dahlan secara informal dalam memberikan pelajaran, yang mengandung ilmu agama Islam dan pengetahuan umum di beranda rumahnya.
Djarnawi Hadikusuma dalam tulisannya mengatakan, yang didirikan pada tahun 1911 di kampung Kauman Yogyakarta tersebut, merupakan “Sekolah Muhammadiyah”, yakni sebuah sekolah agama, yang tidak diselengga-rakan di surau seperti pada umumnya kegiatan umat Islam waktu itu, tetapi bertempat di dalam sebuah gedung milik ayah Kyai Dahlan, dengan menggunakan meja dan papan tulis, yang mengajarkan agama dengan dengan cara baru, juga diajarkan ilmu-ilmu umum.
Maka pada tanggal 18 November 1912 Miladiyah bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330 Hijriyah di Yogyakarta, akhirnya didirikanlah sebuah organisasi yang bernama “MUHAMMADIYAH.” Organisasi baru ini diajukan pengesahannya pada tanggal 20 Desember 1912 dengan mengirim “Statuten Muhammadiyah” (Anggaran Dasar Muhammadiyah yang pertama, tahun 1912) yang kemudian baru disahkan oleh Gubernur Jenderal Belanda pada 22 Agustus 1914.
Dalam “Statuten Muhammadiyah” yang pertama itu, tanggal resmi yang diajukan ialah tanggal Miladiyah yaitu 18 November 1912, tidak mencantumkan tanggal Hijriyah. Dalam artikel 1 dinyatakan, “Perhimpunan itu ditentukan buat 29 tahun lamanya, mulai 18 November 1912. Namanya “Muhammadiyah” dan tempatnya di Yogyakarta.”
Sedangkan maksudnya (Artikel 2), ialah:
  1. Menyebarkan pengajaran Agama Kangjeng Nabi Muhammad Shallalahu ‘Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputra di dalam residensi Yogyakarta.
  2. Memajukan hal Agama kepada anggauta-anggautanya.”
Faktor objektif yang bersifat eksternal yang paling banyak mempengaruhi kelahiran Muhammadiyah adalah kristenisasi, yakni kegiatan-kegiatan yang terprogram dan sistematis untuk mengubah agama penduduk asli baik yang muslim maupun bukan, menjadi Kristen. Kristenisasi ini mendapatkan peluang bahkan didukung sepenuhnya oleh pemerintah Kolonialisme Belanda.
Misi Kristen baik Khatolik maupun Protestan di Indonesia memiliki dasar hukum yang kuat dalam Konstitusi Belanda. Bahkan kegiatan-kegiatan kristenisasi ini didukung dan dibantu oleh dana-dana negara Belanda. Efektivitas penyebaran agama Kristen inilah yang terutama mengguggah KH Ahmad Dahlan untuk membentengi ummat Islam dari pemurtadan. Penjajahan Belanda telah membawa pengaruh yang sangat buruk bagi perkembang-an Islam di wilayah Nusantara ini, baik secara sosial, politik, ekonomi maupun kebudayaan.
Ditambah dengan praktek politisasi Islam Pemerintah Hindia Belanda yang secara sadar dan terencana ingin menjinakkan kekuatan Islam, semakin menyadarkan umat Islam untuk melakukan perlawanan. Menyikapi hal ini, KH Ahmad Dahlan dengan mendirikan Muhammadiyah, berupaya melakukan perlawanan terhadap kekuatan penjajahan melalui pendekatan kultural, terutama upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui jalur pendidikan.
Gerakan Muhammadiyah di Indonesia pada dasarnya merupakan salah satu mata rantai dari sejarah panjang gerakan pembaharuan yang dipelopori oleh Ibnu Taymiyah, Ibnu Qayyim, Muhammad bin Abdul Wahhab, Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan lain sebagainya. Persentuhan itu terutama diperolah melalui tulisan-tulisan Jamaluddin al-Afgani yang dimuat dalam majalah al-Urwatul Wutsqa yang dibaca oleh KH Ahmad Dahlan.
Tulisan-tulisan yang membawa angin segar pembaharuan itu, ternyata sangat mempengaruhi KH. Ahmad Dahlan dan merealisasikan gagasan-gagasan pembaharuan ke dalam tindakan amal yang riil secara terlembaga.
Dengan melihat seluruh latar belakang kelahiran Muhammadiyah, dapat dikatakan bahwa KH Ahmad Dahlan telah melakukan lompatan besar dalam berijtihad.
Memajukan, Menggembirakan
Terdapat hal menarik, bahwa kata “memajukan” (dan sejak tahun 1914 ditambah dengan kata “menggembirakan”) dalam pasal maksud dan tujuan Muhammadiyah merupakan kata-kunci yang selalu dicantumkan dalam “Statuten Muhammadiyah” pada periode Kyai Ahmad Dahlan hingga tahun 1946.
Sebutlah Statuten tahun 1914: Maksud Persyarikatan ini yaitu: “Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama di Hindia Nederland, Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama Islam kepada lidlidnya.
Dalam pandangan Djarnawi Hadikusuma, kata-kata yang sederhana tersebut mengandung arti yang sangat dalam dan luas. Yaitu, ketika umat Islam sedang dalam kelemahan dan kemunduran akibat tidak mengerti kepada ajaran Islam yang sesungguhnya, maka Muhammadiyah mengungkap dan mengetengahkan ajaran Islam yang murni itu, serta menganjurkan kepada umat Islam pada umumnya untuk mempelajarinya, dan kepada para ulama untuk mengajarkannya, dalam suasana yang maju dan menggembirakan.

@copyright Majalah PEDOMAN KARYA, Edisi 1, Vol. I, Juli 2015