Muhammadiyah dan Gagasan Pemikiran KH Ahmad Dahlan
Oleh: Prof Dr A Rasyid Asba MA
(Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin, Makassar)
“Gerakan pembaharuan adalah jawaban
terhadap tantangan zaman dalam suatu kurun waktu sejarah tertentu. Ia
merupakan panggilan sejarah untuk mengatasi tantangan zaman tertentu
yang bergerak dari satu titik kegelapan ke titik terang yang menderang.
Cita-citanya adalah terciptanya orde sosial baru.”
Pernyataan Toynbee di atas memberikan
isyarat kepada kita bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan adalah suatu
momentum perubahan dari satu titik ke suatu titik cita-cita perjuangan.
Setiap pergerakan mempunyai jiwa zaman
yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Misalnya jiwa zaman awal
munculnya Muhammadiayah sebagai gerakan pembaharuan tahun 1912 adalah
sebuah perubahan yang terorganisir.
Ia menjadi gerakan perjuangan yang tidak
terencana menjadi terencana, dari perjuangan yang sifatnya kedaerahan
menjadi perjuangan yang sifatnya nasional, dari bangsa yang tidak
berparlemen menjadi bangsa yang berparlemen, dari zaman keterikatan
tradisi menuju kebebasan manusia yang tidak terikat.
Awal Mula Berdirinya
Muhammadiyah didirikan oleh Muhammad
Darwis yang kemudian dikenal sebagai KH Ahmad Dahlan di Kampung Kauman
Yogyakarta, pada 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah yang bertepatan 18 November
1912 Masehi. Keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya, tidak lepas
dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan KH Ahmad Dahlan. Setelah
menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim yang kedua kalinya
pada tahun 1903, Kyai Dahlan mulai menyemaikan benih pembaruan di Tanah
Air. Gagasan pembaruan itu diperoleh Kyai Dahlan setelah berguru kepada
ulama-ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah, seperti Syeikh Ahmad
Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari
Surabaya, dan Kyai Fakih dari Masku-mambang. Juga setelah membaca
pemikiran-pemikiran para pembaharu Islam seperti Ibnu Taimiyah, Muhammad
bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid
Ridha.
Kelahiran Muhammadiyah sebagai sebuah
organisasi untuk mengaktualisasikan gagasan-gagasannya merupakan hasil
interaksi Kyai Ahmad Dahlan dengan kawan-kawan dari Boedi Oetomo,
khususnya mereka yang tertarik dengan masalah agama yang diajarkan Kyai
Dahlan. Mereka adalah Raden Budiharardjo dan Raden Sosrosugondo. Gagasan
itu juga merupakan saran dari salah seorang siswa Kyai Dahlan di
Kweek-scholl Jetis di mana Kyai mengajar agama pada sekolah tersebut
secara ekstrakulikuler.
Muridnya tersebut sering datang ke rumah
Kyai dan menyarankan agar kegiatan pendidikan yang dirintis Kyai Dahlan
tidak diurus oleh Kyai sendiri tetapi oleh suatu organisasi agar
terdapat kesinambungan setelah Kyai wafat.
Dalam catatan Adaby Darban, ahli sejarah
dari UGM kelahiran Kauman, nama “Muhammadiyah” pada mulanya diusulkan
oleh kerabat dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang bernama
Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh
pembaruan yang kemudian menjadi penghulu Kraton Yogyakarta.
Kyai Dahlan kemudian menerima saran
tersebut dan memutuskan menggunakan nama Muhammadiyah setelah melalui
shalat istikharah (Darban, 2000: 34). Artinya, pilihan untuk mendirikan
Muhammadiyah memiliki dimensi spiritualitas yang tinggi sebagaimana
tradisi kyai atau dunia pesantren.
Pada awalnya Muhammadiyah adalah sebuah
gerakan kesetikawanan sosial yang cita-citanya meningkatkan kualiatas
umat Islam. Ia bercita-cita mewujudkan Gerakan Indonesia Mulia.
Cita-cita tersebut diawali dengan kepeloporan KH Ahmad Dahlan.
Kesan sepintas bila kita mempelajari
perilaku KH Ahhmad Dahlan adalah mencapai cita-cita Indonesia yang
menjunjung pemba-haruan Islam.
Melawan Pemurtadan
Sangat tepat kalau prestasi tersebut
dianggap sebagai langkah maju, langkah seorang pembaharu dengan lahirnya
sebuah organisasi yang berstandar modern, paling tidak, pada masa
pergerakan nasional.
Gagasan untuk mendirikan organisasi
Muhammadiyah tersebut selain untuk mengaktualisasikan pikiran-pikiran
pemba-ruan Kyai Ahmad Dahlan, menurut Adaby Darban (2000: 13), secara
praktis-organisatoris juga untuk mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah
Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1 Desember 1911.
Sekolah tersebut merupakan rintisan
lanjutan dari “sekolah” (kegiatan Kyai Dahlan dalam menjelaskan ajaran
Islam) yang dikem-bangkan Kyai Dahlan secara informal dalam memberikan
pelajaran, yang mengandung ilmu agama Islam dan pengetahuan umum di
beranda rumahnya.
Djarnawi Hadikusuma dalam tulisannya
mengatakan, yang didirikan pada tahun 1911 di kampung Kauman Yogyakarta
tersebut, merupakan “Sekolah Muhammadiyah”, yakni sebuah sekolah agama,
yang tidak diselengga-rakan di surau seperti pada umumnya kegiatan umat
Islam waktu itu, tetapi bertempat di dalam sebuah gedung milik ayah Kyai
Dahlan, dengan menggunakan meja dan papan tulis, yang mengajarkan agama
dengan dengan cara baru, juga diajarkan ilmu-ilmu umum.
Maka pada tanggal 18 November 1912
Miladiyah bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330 Hijriyah di Yogyakarta,
akhirnya didirikanlah sebuah organisasi yang bernama “MUHAMMADIYAH.”
Organisasi baru ini diajukan pengesahannya pada tanggal 20 Desember 1912
dengan mengirim “Statuten Muhammadiyah” (Anggaran Dasar Muhammadiyah
yang pertama, tahun 1912) yang kemudian baru disahkan oleh Gubernur
Jenderal Belanda pada 22 Agustus 1914.
Dalam “Statuten Muhammadiyah” yang
pertama itu, tanggal resmi yang diajukan ialah tanggal Miladiyah yaitu
18 November 1912, tidak mencantumkan tanggal Hijriyah. Dalam artikel 1
dinyatakan, “Perhimpunan itu ditentukan buat 29 tahun lamanya, mulai 18
November 1912. Namanya “Muhammadiyah” dan tempatnya di Yogyakarta.”
Sedangkan maksudnya (Artikel 2), ialah:- Menyebarkan pengajaran Agama Kangjeng Nabi Muhammad Shallalahu ‘Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputra di dalam residensi Yogyakarta.
- Memajukan hal Agama kepada anggauta-anggautanya.”
Faktor objektif yang bersifat eksternal
yang paling banyak mempengaruhi kelahiran Muhammadiyah adalah
kristenisasi, yakni kegiatan-kegiatan yang terprogram dan sistematis
untuk mengubah agama penduduk asli baik yang muslim maupun bukan,
menjadi Kristen. Kristenisasi ini mendapatkan peluang bahkan didukung
sepenuhnya oleh pemerintah Kolonialisme Belanda.
Misi Kristen baik Khatolik maupun
Protestan di Indonesia memiliki dasar hukum yang kuat dalam Konstitusi
Belanda. Bahkan kegiatan-kegiatan kristenisasi ini didukung dan dibantu
oleh dana-dana negara Belanda. Efektivitas penyebaran agama Kristen
inilah yang terutama mengguggah KH Ahmad Dahlan untuk membentengi ummat
Islam dari pemurtadan. Penjajahan Belanda telah membawa pengaruh yang
sangat buruk bagi perkembang-an Islam di wilayah Nusantara ini, baik
secara sosial, politik, ekonomi maupun kebudayaan.
Ditambah dengan praktek politisasi Islam
Pemerintah Hindia Belanda yang secara sadar dan terencana ingin
menjinakkan kekuatan Islam, semakin menyadarkan umat Islam untuk
melakukan perlawanan. Menyikapi hal ini, KH Ahmad Dahlan dengan
mendirikan Muhammadiyah, berupaya melakukan perlawanan terhadap kekuatan
penjajahan melalui pendekatan kultural, terutama upaya meningkatkan
kualitas sumber daya manusia melalui jalur pendidikan.
Gerakan Muhammadiyah di Indonesia pada
dasarnya merupakan salah satu mata rantai dari sejarah panjang gerakan
pembaharuan yang dipelopori oleh Ibnu Taymiyah, Ibnu Qayyim, Muhammad
bin Abdul Wahhab, Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan
lain sebagainya. Persentuhan itu terutama diperolah melalui
tulisan-tulisan Jamaluddin al-Afgani yang dimuat dalam majalah
al-Urwatul Wutsqa yang dibaca oleh KH Ahmad Dahlan.
Tulisan-tulisan yang membawa angin segar
pembaharuan itu, ternyata sangat mempengaruhi KH. Ahmad Dahlan dan
merealisasikan gagasan-gagasan pembaharuan ke dalam tindakan amal yang
riil secara terlembaga.
Dengan melihat seluruh latar belakang
kelahiran Muhammadiyah, dapat dikatakan bahwa KH Ahmad Dahlan telah
melakukan lompatan besar dalam berijtihad.
Terdapat hal menarik, bahwa kata
“memajukan” (dan sejak tahun 1914 ditambah dengan kata “menggembirakan”)
dalam pasal maksud dan tujuan Muhammadiyah merupakan kata-kunci yang
selalu dicantumkan dalam “Statuten Muhammadiyah” pada periode Kyai Ahmad
Dahlan hingga tahun 1946.
Sebutlah Statuten tahun 1914: Maksud
Persyarikatan ini yaitu: “Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan
pelajaran agama di Hindia Nederland, Memajukan dan menggembirakan
kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama Islam kepada lidlidnya.
Dalam pandangan Djarnawi Hadikusuma,
kata-kata yang sederhana tersebut mengandung arti yang sangat dalam dan
luas. Yaitu, ketika umat Islam sedang dalam kelemahan dan kemunduran
akibat tidak mengerti kepada ajaran Islam yang sesungguhnya, maka
Muhammadiyah mengungkap dan mengetengahkan ajaran Islam yang murni itu,
serta menganjurkan kepada umat Islam pada umumnya untuk mempelajarinya,
dan kepada para ulama untuk mengajarkannya, dalam suasana yang maju dan
menggembirakan.
@copyright Majalah PEDOMAN KARYA, Edisi 1, Vol. I, Juli 2015
No comments:
Post a Comment