Andai saja pada tahun 1868 tidak lahir seorang bayi bernama Muhammad
Darwisy (ada literatur yang menulis nama Darwisy saja), Kampung Kauman
di sebelah barat Alun-alun Utara Yogyakarta itu boleh dibilang tak
memiliki keistimewaan lain, selain sebagai sebuah pemukiman di sekitar
Masjid Besar Yogyakarta. Sejarah kemudian mencatat lain, dan Kauman pada
akhirnya menjadi sebuah nama besar sebagai kampung kelahiran seorang
Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia, Kiai Haji Ahmad Dahlan: Sang
Penggagas lahirnya Persyarikatan Muhammadiyah pada 8 Dzulhijjah 1330
Hijriyah bertepatan dengan 18 November 1912.
Muhammad
Darwisy dilahirkan dari kedua orang tua yang dikenal sangat alim, yaitu
KH. Abu Bakar (Imam Khatib Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan Nyai
Abu Bakar (puteri H. Ibrahim, Hoofd Penghulu Yogyakarta). Muhammad
Darwisy merupakan anak keempat dari tujuh saudara yang lima diantaranya
perempuan, kecuali adik bungsunya. Tak ada yang menampik silsilah
Muhammad Darwisy sebagai keturunan keduabelas dari Maulana Malik
Ibrahim, seorang wali besar dan terkemuka diantara Wali Songo, serta
dikenal pula sebagai pelopor pertama penyebaran dan pengembangan Islam
di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991). Demikian matarantai silsilah
itu: Muhammad Darwisy adalah putra K.H. Abu Bakar bin K.H. Muhammad
Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru
Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng
Gribig (Jatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana
‘Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam,
1968: 6).
Muhammad
Darwisy dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil, dan sekaligus
menjadi tempatnya menimba pengetahuan agama dan bahasa Arab. Ia
menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan
dengan menuntut ilmu agama dan bahasa Arab di Makkah selama lima tahun.
Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam
dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu
Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang
besar pada Darwis. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran
pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan
yang sama, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk
memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia
Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot). Ortodoksi ini
dipandang menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan
dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Oleh karena itu, pemahaman
keagamaan yang statis ini harus dirubah dan diperbaharui, dengan gerakan
purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur’an
dan al-Hadis.
Pada
usia 20 tahun (1888), ia kembali ke kampungnya, dan berganti nama Haji
Ahmad Dahlan (suatu kebiasaan dari orang-orang Indonesia yang pulang
haji, selalu mendapat nama baru sebagai pengganti nama kecilnya).
Sepulangnya dari Makkah ini, iapun diangkat menjadi Khatib Amin di
lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902-1904, ia menunaikan
ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu
agama kepada beberapa guru di Makkah.
Sepulang
dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, saudara sepupunya sendiri,
anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad
Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari
perkawinannya dengan Siti Walidah, K.H. Ahmad Dahlan mendapat enam orang
anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti
Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991). Di samping itu, K.H.
Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia
juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. K.H. Ahmad
Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah
(adik Ajengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah
pula menikah dengan Nyai Yasin, Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam,
1968: 9).
Ahmad
Dahlan adalah seorang yang sangat hati-hati dalam kehidupan
sehari-harinya. Ada sebuah nasehat yang ditulisnya dalam bahasa Arab
untuk dirinya sendiri:
“Wahai
Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa
yang akan mengejutkan engkau, yang pasti harus engkau lewati. Mungkin
engkau mampu melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan
binasa karenanya. Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah
engkau berada seorang diri bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi
kematian, pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dan dari sekalian yang
engkau hadapi itu, renungkanlah yang terdekat kepadamu, dan
tinggalkanlah lainnya (diterjemahkan oleh Djarnawi Hadikusumo).
Dari pesan itu tersirat sebuah semangat dan keyakinan yang besar
tentang kehidupan akhirat. Dan untuk mencapai kehidupan akhirat yang
baik, maka Dahlan berpikir bahwa setiap orang harus mencari bekal untuk
kehidupan akhirat itu dengan memperbanyak ibadah, amal saleh, menyiarkan
dan membela agama Allah, serta memimpin ummat ke jalan yang benar dan
membimbing mereka pada amal dan perjuangan menegakkan kalimah Allah.
Dengan demikian, untuk mencari bekal mencapai kehidupan akhirat yang
baik harus mempunyai kesadaran kolektif, artinya bahwa upaya-upaya
tersebut harus diserukan (dakwah) kepada seluruh ummat manusia melalui
upaya-upaya yang sistematis dan kolektif.
Kesadaran
seperti itulah yang menyebabkan Dahlan sangat merasakan kemunduran
ummat Islam di tanah air. Hal ini merisaukan hatinya. Ia merasa
bertanggung jawab untuk membangunkan, menggerakkan dan memajukan mereka.
Dahlan sadar bahwa kewajiban itu tidak mungkin dilaksanakan seorang
diri, tetapi harus dilaksanakan oleh beberapa orang yang diatur secara
seksama. Kerjasama antara beberapa orang itu tidak mungkin tanpa
organisasi.
Untuk
membangun upaya dakwah (seruan kepada ummat manusia) tersebut, Dahlan
gigih membina angkatan muda untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya
dakwah tersebut, dan juga untuk meneruskan dan melangsungkan
cita-citanya membangun dan memajukan bangsa ini dengan membangkitkan
kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan ummat Islam di
Indonesia.
Strategi
yang dipilihnya untuk mempercepat dan memperluas gagasannya tentang
gerakan dakwah Muhammadiyah ialah dengan mendidik para calon pamongpraja
(calon pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang dan para calon guru yang
belajar di Kweekschool Jetis Yogyakarta, karena ia sendiri
diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk mengajarkan agama Islam di
kedua sekolah tersebut.
Dengan
mendidik para calon pamongpraja tersebut diharapkan akan dengan segera
memperluas gagasannya tersebut, karena mereka akan menjadi orang yang
mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat. Demikian juga dengan
mendidik para calon guru yang diharapkan akan segera mempercepat proses
transformasi ide tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, karena mereka akan
mempunyai murid yang banyak. Oleh karena itu, Dahlan juga mendirikan
sekolah guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu’allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu’allimat (Kweekschool Putri Muhammadiyah). Dahlan mengajarkan agama Islam dan tidak lupa menyebarkan cita-cita pembaharuannya.
Di
samping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah
Muhammadiyah, ia juga tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang
mempunyai tanggung jawab pada keluarganya. Di samping itu, ia juga
dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan
berdagang batik yang saat itu merupakan profesi entrepreneurship yang cukup menggejala di masyarakat.
Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai
gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan
dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat
mendapatkan tempat di organisasi Jam’iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat
Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad Saw.
Pada
tahun 1912, Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk
melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan
ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal
menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia
untuk kembali hidup menurut tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadis. Perkumpulan
ini berdiri pada tanggal 18 Nopember 1912. Sejak awal Dahlan telah
menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat
sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan
pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan
resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya.
Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. Ia
dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada
yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang
Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak
membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan
sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan
pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.
Pada
tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada
Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu
baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No.
81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah
Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta.
Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi.
Walaupun
Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan,
Wonosari, Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri Cabang
Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan dengan keinginan
pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka K.H. Ahmad Dahlan
menyiasatinya dengan menganjurkan agar Cabang Muhammadiyah di luar
Yogyakarta memakai nama lain, misalnya Nurul Islam di Pekalongan,
Al-Munir di Makassar, dan di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di
Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari Cabang Muhammadiyah.
Di dalam kota Yogyakarta sendiri, Ahmad Dahlan menganjurkan adanya
jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan
kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jamaah-jamaah ini
mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf bima kanu wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33).
Gagasan
pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan
mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui
relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan
sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia.
Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk
menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin
berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7
Mei 1921 Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia
Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh
Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada
tanggal 2 September 1921.
Dalam
bulan Oktober 1922, Ahmad Dahlan memimpin delegasi Muhammadiyah dalam
kongres Al-Islam di Cirebon. Kongres ini diselenggarakan oleh Sarikat
Islam (SI) guna mencari aksi baru untuk konsolidasi persatuan ummat
Islam. Dalam kongres tersebut, Muhammadiyah dan Al-Irsyad (perkumpulan
golongan Arab yang berhaluan maju di bawah pimpinan Syeikh Ahmad
Syurkati) terlibat perdebatan yang tajam dengan kaum Islam ortodoks dari
Surabaya dan Kudus. Muhammadiyah dipersalahkan menyerang aliran yang
telah mapan (tradisionalis-konservatif) dan dianggap membangun mazhab
baru di luar mazhab empat yang telah ada dan mapan.
Muhammadiyah
juga dituduh hendak mengadakan tafsir Qur’an baru, yang menurut kaum
ortodoks-tradisional merupakan perbuatan terlarang. Menanggapi serangan
tersebut, Ahmad Dahlan menjawabnya dengan argumentasi: “Muhammadiyah
berusaha bercita-cita mengangkat agama Islam dari keadaan terbekelakang.
Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para ulama dari
pada Qur’an dan Hadis. Umat Islam harus kembali kepada Qur’an dan Hadis.
Harus mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui
kitab-kitab tafsir”.
Sebagai seorang demokrat dalam melaksanakan aktivitas gerakan
dakwah Muhammadiyah, Dahlan memfasilitasi para anggota Muhammadiyah
untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah.
Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah
diselenggarakan duabelas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun),
yang saat itu dipakai istilah Algemeene Vergadering (persidangan umum).
Atas
jasa-jasa K.H. Ahmad Dahlan dalam mem-bangkitkan kesadaran bangsa ini
melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik
Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan
Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai
berikut :
1. K.H.
Ahmad Dahlan telah memelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari
nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.
2. Dengan
organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan
ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan,
kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan ummat, dengan dasar iman
dan Islam.
3. Dengan
organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan
pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa,
dengan jiwa ajaran Islam.
4. Dengan
organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori
kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi
sosial, setingkat dengan kaum pria.
Sumber: http://www.muhammadiyah.or.id/id/5-content-156-det-kh-ahmad-dahlan.html
No comments:
Post a Comment