By Sakinah Mahtupanis & Rosmida Rauf |
Pada tahun 1883, di umur
yang ke 15 sosok pria yang Bernama Muhammad Darwiys yang tidak lain
adalah KH. Ahmad Dahlan, terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran
pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid
Ridha, dan ibn Taimiyah. Buah dari pemikiran tokoh-tokoh Islam ini
mempunyai pengaruh yang besar pada Darwisy. Jiwa dan pemikirannya penuh
disemangati oleh aliran pembaharuan ini yang kelak kemudian hari
menampilkan corak keagamaan yang sama, yaitu melalui Muhammadiyah, yang
bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di
sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks
(kolot). Ortodoksi ini dipandang menimbulkan kebekuan ajaran Islam,
serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Oleh karena
itu, pemahaman keagamaan yang statis ini harus dirubah dan diperbaharui,
dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali
kepada al-Qur'an dan al-Hadits.
Sebagai seorang yang
sangat hati-hati dalam kehidupan sehari-harinya, ada sebuah nasehat yang
ditulisnya dalam bahasa Arab untuk dirinya sendiri, yaitu :
"Wahai Dahlan, sungguh
di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan
mengejutkan engkau, yang pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau mampu
melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa
karenanya. Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah engkau berada
seorang diri bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi kematian,
pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dan dari sekalian yang engkau
hadapi itu, renungkanlah yang terdekat kepadamu, dan tinggalkanlah
lainnya (diterjemahkan oleh Djarnawi Hadikusumo).
Dari pesan itu tersirat
sebuah semangat yang besar tentang kehidupan akhirat. Dan untuk mencapai
kehidupan akhirat yang baik, maka Dahlan berpikir bahwa setiap orang
harus mencari bekal untuk kehidupan akhirat itu dengan memperbanyak
ibadah, amal saleh, menyiarkan dan membela agama Allah, serta memimpin
ummat ke jalan yang benar dan membimbing mereka pada amal dan perjuangan
menegakkan kalimah Allah. Dengan demikian, untuk mencari bekal mencapai
kehidupan akhirat yang baik harus mempunyai kesadaran kolektif, artinya
bahwa upaya-upaya tersebut harus diserukan (dakwah) kepada seluruh
ummat manusia melalui upaya-upaya yang sistematis dan kolektif.
Kesadaran seperti itulah
yang menyebabkan Dahlan sangat merasakan kemunduran ummat islam di
tanah air. Hal ini merisaukan hatinya. Ia merasa bertanggung jawab untuk
membangunkan, menggerakkan dan memajukan mereka. Dahlan sadar bahwa
kewajiban itu tidak mungkin dilaksanakan seorang diri, tetapi harus
dilaksanakan oleh beberapa orang yang diatur secara seksama. Kerjasama
antara beberapa orang itu tidak mungkin tanpa organisasi.
maka Dahlan gigih
membina angkatan muda untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya dakwah
tersebut, dan juga untuk meneruskan dan melangsungkan cita-citanya
membangun dan memajukan bangsa ini dengan membangkitkan kesadaran akan
ketertindasan dan ketertinggalan ummat Islam di Indonesia.
A. Biografi KH. Ahmad Dahlan
Muhammad Darwisy (Nama
Kecil Kyai Haji Ahmad Dahlan), Beliau adalah pendiri Muhammadiyah.
Beliau adalah putera keempat dari tujuh bersaudara. Bapaknya bernama
K.H. Abu Bakar. K.H. Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka
di Masjid Besar Kasultanan Yogjakarta pada masa itu. Ibu dari K.H.
Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat sebagai
penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu. K.H. Ahmad Dahlan
meninggal dunia di Yogyakarta, tanggal 23 Februari 1923. Beliau juga
dikenal sebagai seorang Pahlawan Nasional Indonesia.
Nama kecil K.H. Ahmad
Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh
orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik
bungsunya. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari
Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka
diantara Walisongo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan
pengembangan Islam di Tanah Jawa. Adapun silsilahnya ialah Muhammad
Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin
Kyai Murtadla bin Kyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang
Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom)
bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin
Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.
Pada umur 15 tahun,
beliau pergi haji dan tinggal di Makkah selama lima tahun. Pada periode
ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran
pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha
dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888,
beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, beliau
bertolak kembali ke Makkah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini,
beliau sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari
pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan
Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Sepulang dari Makkah, ia
menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji
Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan
Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah,
KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan,
Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan
Safwan, 1991). Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai
Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai
Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari
perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur
yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin
Pakualaman Yogyakarta. Beliau dimakamkan di Karang Kajen, Yogyakarta.
B. Proses Terbentuknya Organisasi Muhammadiyah
Bulan Dzulhijjah (8
Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1912 M) merupakan momentum
penting lahirnya Muhammadiyah. Itulah kelahiran sebuah gerakan Islam
modernis terbesar di Indonesia, yang melakukan perintisan atau
kepeloporan pemurnian sekaligus pembaruan Islam di negeri berpenduduk
terbesar muslim di dunia. Sebuah gerakan yang didirikan oleh seorang
kyai alim, cerdas, dan berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan
atau Muhammad Darwis dari kota santri Kauman Yogyakarta.
Kata ”Muhammadiyah”
secara bahasa berarti ”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata
”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan
ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan nama tersebut
menurut H. Djarnawi Hadikusuma mengandung pengertian sebagai berikut:
”Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung
organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi
Muhammad saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan
agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi
Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang
kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar
itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia
pada umumnya.”
Kelahiran dan keberadaan
Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak lepas dan merupakan menifestasi
dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan
(Muhammad Darwis) yang menjadi pendirinya. Setelah menunaikan ibadah
haji ke Tanah Suci dan bermukim yang kedua kalinya pada tahun 1903, Kyai
Dahlan mulai menyemaikan benih pembaruan di Tanah Air. Gagasan
pembaruan itu diperoleh Kyai Dahlan setelah berguru kepada ulama-ulama
Indonesia yang bermukim di Mekkah seperti Syeikh Ahmad Khatib dari
Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya,
dan Kyai Fakih dari Maskumambang; juga setelah membaca
pemikiran-pemikiran para pembaru Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad
bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid
Ridha. Dengan modal kecerdasan dirinya serta interaksi selama bermukim
di Saudi Arabia dan bacaan atas karya-karya para pembaru pemikiran Islam
itu telah menanamkan benih ide-ide pembaruan dalam diri Kyai Dahlan.
Jadi sekembalinya dari Arab Saudi, Kyai Dahlan justru membawa ide dan
gerakan pembaruan, bukan malah menjadi konservatif.
Gagasan untuk mendirikan
organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk mengaktualisasikan
pikiran-pikiran pembaruan Kyai Dahlan, menurut Adaby Darban (2000: 13)
secara praktis-organisatoris untuk mewadahi dan memayungi sekolah
Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1 Desember
1911. Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari ”sekolah”
(kegiatan Kyai Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan
Kyai Dahlan secara informal dalam memberikan pelajaran yang mengandung
ilmu agama Islam dan pengetahuan umum di beranda rumahnya. Dalam tulisan
Djarnawi Hadikusuma yang didirikan pada tahun 1911 di kampung Kauman
Yogyakarta tersebut, merupakan ”Sekolah Muhammadiyah”, yakni sebuah
sekolah agama, yang tidak diselenggarakan di surau seperti pada umumnya
kegiatan umat Islam waktu itu, tetapi bertempat di dalam sebuah gedung
milik ayah Kyai Dahlan, dengan menggunakan meja dan papan tulis, yang
mengajarkan agama dengan dengan cara baru, juga diajarkan ilmu-ilmu
umum.
Maka pada tanggal 18
November 1912 Miladiyah bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330 Hijriyah di
Yogyakarta akhirnya didirikanlah sebuah organisasi yang bernama
”MUHAMMADIYAH”. Organisasi baru ini diajukan pengesahannya pada tanggal
20 Desember 1912 dengan mengirim ”Statuten Muhammadiyah” (Anggaran Dasar
Muhammadiyah yang pertama, tahun 1912), yang kemudian baru disahkan
oleh Gubernur Jenderal Belanda pada 22 Agustus 1914. Dalam ”Statuten
Muhammadiyah” yang pertama itu, tanggal resmi yang diajukan ialah
tanggal Miladiyah yaitu 18 November 1912, tidak mencantumkan tanggal
Hijriyah. Dalam artikel 1 dinyatakan, ”Perhimpunan itu ditentukan buat
29 tahun lamanya, mulai 18 November 1912. Namanya ”Muhammadiyah” dan
tempatnya di Yogyakarta”.
Dalam pandangan Djarnawi
Hadikusuma, kata-kata yang sederhana tersebut mengandung arti yang
sangat dalam dan luas. Yaitu, ketika umat Islam sedang dalam kelemahan
dan kemunduran akibat tidak mengerti kepada ajaran Islam yang
sesungguhnya, maka Muhammadiyah mengungkap dan mengetengahkan ajaran
Islam yang murni itu serta menganjurkan kepada umat Islam pada umumnya
untuk mempelajarinya, dan kepada para ulama untuk mengajarkannya, dalam
suasana yang maju dan menggembirakan.
Kelahiran Muhammadiyah
sebagaimana digambarkan itu melekat dengan sikap, pemikiran, dan langkah
Kyai Dahlan sebagai pendirinya, yang mampu memadukan paham Islam yang
ingin kembali pada Al-Quran dan Sunnah Nabi dengan orientasi tajdid
(pembaharuan) yang membuka pintu ijtihad untuk kemajuan, sehingga
memberi karakter yang khas dari kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah
di kemudian hari. Kyai Dahlan, sebagaimana para pembaru Islam lainnya,
tetapi dengan tipikal yang khas, memiliki cita-cita membebaskan umat
Islam dari keterbelakangan dan membangun kehidupan yang berkemajuan
melalui tajdid (pembaruan) yang meliputi aspek-aspek tauhid (‘aqidah),
ibadah, mu’amalah, dan pemahaman terhadap ajaran Islam dan kehidupan
umat Islam, dengan mengembalikan kepada sumbernya yang asli yakni
Al-Quran dan Sunnah Nabi yang Shahih, dengan membuka ijtihad.
Kyai Dahlan dengan
Muhammadiyah yang didirikannya, menurut Djarnawi Hadikusuma telah
menampilkan Islam sebagai ”sistem kehidupan manusia dalam segala
seginya”. Artinya, secara Muhammadiyah bukan hanya memandang ajaran
Islam sebagai aqidah dan ibadah semata, tetapi merupakan suatu
keseluruhan yang menyangkut akhlak dan mu’amalat dunyawiyah. Selain itu,
aspek aqidah dan ibadah pun harus teraktualisasi dalam akhlak dan
mu’amalah, sehingga Islam benar-benar mewujud dalam kenyataan hidup para
pemeluknya. Karena itu, Muhammadiyah memulai gerakannya dengan
meluruskan dan memperluas paham Islam untuk diamalkan dalam sistem
kehidupan yang nyata.
Kyai Dahlan dalam
mengajarkan Islam sungguh sangat mendalam, luas, kritis, dan cerdas.
Menurut Kyai Dahlan, orang Islam itu harus mencari kebenaran yang
sejati, berpikir mana yang benar dan yang salah, tidak taklid dan
fanatik buta dalam kebenaran sendiri, menimbang-nimbang dan menggunakan
akal pikirannya tentang hakikat kehiduupan, dan mau berpikir teoritik
dan sekaligus beripiki praktik. Kyai Dahlan tidak ingin umat Islam
taklid (ikut2an tnpa dsar) dalam beragama, juga tertinggal dalam
kemajuan hidup. Karena itu memahami Islam haruslah sampai ke akarnya, ke
hal-hal yang sejati atau hakiki dengan mengerahkan seluruh kekuatan
akal piran dan ijtihad (usaha yg b’sungguh unt mncapai tujuan yg benar).
Kelahiran Muhammadiyah
dengan gagasan-gagasan cerdas dan pembaruan dari pendirinya, Kyai Haji
Ahmad Dahlan, didorong oleh dan atas pergumulannya dalam menghadapi
kenyataan hidup umat Islam dan masyarakat Indonesia kala itu, yang juga
menjadi tantangan untuk dihadapi dan dipecahkan. Adapun faktor-faktor
yang menjadi pendorong lahirnya Muhammadiyah ialah antara lain:
Umat Islam tidak
memegang teguh tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi, sehingga menyebabkan
merajalelanya syirik, bid’ah, dan khurafat, yang mengakibatkan umat
Islam tidak merupakan golongan yang terhormat dalam masyarakat, demikian
pula agama Islam tidak memancarkan sinar kemurniannya lagi;
Ketiadaan persatuan dan
kesatuan di antara umat Islam, akibat dari tidak tegaknya ukhuwah
Islamiyah serta ketiadaan suatu organisasi yang kuat;
Kegagalan dari sebagian
lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam memprodusir kader-kader Islam,
karena tidak lagi dapat memenuhi tuntutan zaman;
Umat Islam kebanyakan
hidup dalam alam fanatisme yang sempit, bertaklid buta serta berpikir
secara dogmatis, berada dalam konservatisme, formalisme, dan
tradisionalisme;
dan Karena keinsyafan
akan bahaya yang mengancam kehidupan dan pengaruh agama Islam, serta
berhubung dengan kegiatan misi dan zending Kristen di Indonesia yang
semakin menanamkan pengaruhnya di kalangan rakyat.
Karena itu, jika disimpulkan, bahwa berdirinya Muhammadiyah adalah karena alasan-alasan dan tujuan-tujuan sebagai berikut:
- Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam. Cntohnya: mengadakan pesta minuman keras, main judi, panco apabila ad raja2 yg meninggal di istana. Lalu memotong kerbau.
- Reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern
- Reformulasi ajaran dan pendidikan Islam; dan
- Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan luar
C. Gagasan Pemikiran KH. Ahmad Dahlan Pembaruan & Pemurnian Islam
Formalitas beragama
adalah fokus utama yang ingin didekonstruksi oleh Kyai Dahlan. Ide
pembaharuannya menyangkut akidah dan syariat, misalnya tentang upacara
ritual kematian, upacara perkawinan, kehamilan, sunatan, berziarah ke
kuburan keramat, memberikan sesajen kepada hal yang dianggap keramat dan
sebagainya. Menurut Kyai Dahlan, hal-hal tersebut bertentangan dengan
Islam dan dapat menimbulkan perbuatan syirik dan musyrik. Kyai Dahlan
juga berupaya menegakkan ajaran Islam sesuai dengan Al-Qur’an dan
Hadist, berusaha mengedepankan ijtihad jika ada hal yang tidak dapat
dalam Al-Qur’an maupun Hadist serta berusaha menghilangkan taqlid
(pendapat ulama terdahulu tanpa ada dasarnya) dalam fiqih dan menegakkan
amar ma’ruf nahi munkar.
- Pembaharuan Lewat Politik
Sebelum Muhammadiyah
berdiri, Kiai Ahmad Dahlan telah melakukan berbagai kegiatan keagamaan
dan dakwah. Tahun 1906, Kiai diangkat sebagai khatib Masjid Besar
Yogyakarta dengan gelar Katib Amin oleh Kerajaan Ngayogyakarta
Hadiningrat dalam usianya yang relatif muda sekitar 28 tahun, ketika
ayahanda Kyai mulai uzur dari jabatan serupa. Satu tahun kemudian (1907)
Kiai memelopori Musyawarah Alim Ulama. Dalam rapat pertama beliau
menyampaikan arah kiblat Masjid Besar kurang tepat.
Tahun 1922 Kiai
membentuk Badan Musyawarah Ulama. Tujuan badan itu ialah mempersatukan
ulama di seluruh Hindia Belanda dan merumuskan berbagai kaidah hukum
Islam sebagai pedoman pengamalan Islam khususnya bagi warga
Muhammadiyah. Badan Musyawarah ini diketuai RH Moehammad
Kamaludiningrat, penghulu Kraton. Meskipun pernah berbeda pendapat,
Moehammad Kamaludiningrat ini yang mendorong para pimpinan Muhammadiyah
kemudian membentuk Majelis Tarjih (1927). Majelis ini diketuai Kiai Mas
Mansur. Dengan tujuan dakwah agar manusia berfikir dan tertarik pada
kebagusan Islam melalui pembuktian jalan kepandaian dan ilmu.
Tahun 1909, Kiai Ahmad
Dahlan bergabung dengan Boedi Oetomo. Tujuannya selain sebagai wadah
semangat kebangsaan, juga untuk memperlancar aktivitas dakwah dan
pendidikan Islam yang dilakukannya. Ketika Muhammadiyah terbentuk,
bahkan 7 orang pengurusnya menyusul bergabung dengan Boedi Oetomo.
Hubungan Muhammadiyah dengan Boedi Oetomo sangat erat, sehingga Kongres
Boedi Oetomo tahun 1917 diselenggarakan di rumah Kiai Ahmad Dahlan.
Di sisi lain Dr. Soetomo
pendiri Boedi Oetomo juga banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan
Muhammadiyah dan menjadi Penasehat (Adviseur Besar) Muhammadiyah. Dalam
Kongres Muhammadiyah ke-26 (Surabaya), Dr.Soetomo memberikan ceramah
(khutbah) dengan tema Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Khutbah ini
yang mendorong lahirnya PKO dengan rumah sakit dan panti asuhannya
kemudian. Dr.Soetomo pun membantu memperlancar pengesahan berdirinya
Muhammadiyah, tiga tahun setelah berdirinya.
Untuk mengetahui
informasi perkembangan pemikiran di Timur Tengah Ahmad Dahlan menjalin
hubungan intensif melalui Jami’at Khair dan masuk menjadi anggotanya
pada tahun 1910. Ketika Syarikat Islam berdiri, Ahmad Dahlan pun ikut
serta menjadi anggota.
Rupannya dengan masuknya
Ahmad Dahlan pada semua organisasi tersebut di atas dakwahnya semakin
meluas dan mendapat respon positif dan di dukung oleh kalangan modernis
dan perkotaan. Dari sinilah Ahmad Dahlan mendapat masukan dari berbagai
pihak, yang akhirnya pada tanggal 18 November 1912 Ahmad Dahlan
mendirikan wadah gerakan bagi pikirannya yaitu “Muhammadiyah”
- Pembaharuan Lewat Pendidikan
Tak kalah penting dalam
pembicaraan kita tentang Kyai Dahlan adalah semangatnya sebagai seorang
pendidik. Beliau begitu intens mengkritik dualisme pendidikan pada
masanya. Pandangan muslim tradisional terhadap pendidikan terlalu
menitikberatkan pada aspek spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Hal
ini terlihat dari lembaga pendidikannya yaitu pesantren. Pesantren lebih
mengembangkan ilmu agama dibanding ilmu pengetahuan sehingga
menyebabkan kemunduran pada dunia Islam karena umat Islam hanya
memikirkan masalah akhirat dan menimbulkan sikap pasrah.
Begitu pun dengan sistem
pendidikan kolonial. Dilihat dari metode pengajaran dan alat-alat
pendidikannya, memang terbilang banyak sekali manfaat dan kemajuan yang
bisa diraih siswa dari pendidikan kolonial ini. hanya saja, dalam
sekolah kolonial tidak terdapat pelajaran tentang agama, khususnya
Islam. Hal ini menyebabkan siswa cakap secara intelektual namun lemah
karakter dan moralitasnya. Karena itulah Kyai Dahlan memandang penting
persoalan sinergi antara ilmu umum dan agama. Karena itulah institusi
pendidikan Muhammadiyah tidak memberlakukan pemisahan antara ilmu umum
dan agama.
Sekolah Muhammadiyah
yang pertama telah berdiri satu tahun sebelum Muhammadiyah sebagai
organisasi berdiri. Pada tahun 1911 Kyai Dahlan mendirikan sebuah
madrasah di rumahnya yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan kaum muslim
terhadap pendidikan agama dan pada saat yang sama memberikan mata
pelajaran umum. Di sekolah itu, pendidikan agama diberikan oleh Kyai
Dahlan sendiri dan pelajaran umum diajarkan oleh seorang anggota Budi
Utomo yang juga guru di sekolah pemerintah.
Ketika sekolah ini
dibuka hanya ada 9 murid yang mendaftar. Hal itu membuktikan bahwa umat
Islam belum memandang pentingnya ilmu pengetahuan umum dan agama. Respon
tersebut tidak mematahkan semangat Kyai Dahlan. Ia tidak segan-segan
mendatangi anak-anak sampai ke rumahnya untuk mengajak mereka masuk
sekolah. Kyai Dahlan juga memberikan perhatian khusus pada pendidikan
anak-anak perempuan. Karena bila anak laki-laki maju, anak perempuan
terbelakang maka terjadi kepincangan. Pada tahun 1918 didirikan sekolah
Aisyiyah. Suatu pertanda bahwa pemikiran emansipasi pendidikan juga
menjadi perhatian Kyai Dahlan.
Sinergi antara ilmu umum
dan agama juga merupakan tanda bahwa Kyai Dahlan sangat menyadari
pentingnya pembangunan kepribadian sebagai salah satu tujuan pendidikan.
Entah disadari atau tidak, upaya Kyai Dahlan menyinergikan antara ilmu
umum dan agama ini merupakan sebuah antitesis terhadap Prof. Snouck
Hurgronje. Inilah sebab mengapa pemikiran Kyai Dahlan di bidang
pendidikan merupakan sebuah terobosan yang membawa dampak besar bagi
umat. Lebih jauh kedepan, dapat kita lihat hasilnya dengan munculnya
kader-kader Muhammadiyah yang turut mewarnai dunia politik dengan
membawa identitas ke-Islamannya.
KEPUSTAKAAN
Anshoriy, Nasruddin. 2010. Matahari Pembaruan; Rekam Jejak KH Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher.
Damimi, Mohammad. 2000. Akar Gerakan Muhammadiyah. Yogyakarta: Penerbit Fajar Pustaka Baru.
Hitti, Philip K. 2006. History of the Arabs (terj. R. Cecep Lukman Yasin & Dedi Slamet Riyadi). Jakarta: Penerbit Serambi.
Mulkhan, Abdul Munir. 2000. Islam Murni dalam Masyarakat Petani. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Bentang Budaya.
Nata, Abuddin. 2005. Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
Noer, Deliar. 1996. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: Penerbit Pustaka LP3ES.
Syuja’. 2009. Islam Berkemajuan; Kisah Perjuangan KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal. Tangerang: Penerbit Al-Wasath.
Taufik, Akhmad dkk. 2005. Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam. Jakarta: Rajawali Press.
No comments:
Post a Comment